Di pengujung semester seperti sekarang, saya senantiasa disibukkan oleh banyak tugas dan ujian. Sebagai mahasiswa Ilmu Politik, yang bentuk ujiannya adalah menulis makalah atau esai, saya tak bisa menyelesaikan semuanya dalam seminggu.
Mungkin saya perlu menghabiskan waktu sampai natal atau hari-hari terakhir Desember, dan sebenarnya saya tak keberatan dengan itu. Tuhan tahu saya tak suka dengan deadline yang terlalu mepet. Tapi mari dengar sebuah cerita yang lebih lucu.
Ironisnya, selama tiga hari (atau lebih, saya lupa), saya menunda-nunda menulis artikel tentang penundaan (procrastination). Saya sudah melakukan semuanya. Saya mengalihkan perhatian saya dengan mengerjakan hal lain yang kurang penting.
Saya telah "beristirahat" tiga jam lebih lama dari yang seharusnya. Alih-alih memberi nasihat kehidupan yang bakal mengubah nasib seseorang, saya duduk menulis artikel ini untuk menganalisis kemalasan saya sendiri.Â
Pembelaan pertama saya tentang ini adalah: (mungkin) saya, atau kita semua, telah diwariskan "gen penundaan".
Pada 44 SM, Cicero, seorang konsul Roma dan orator terkemuka, mencela lawan politiknya dalam salah satu rangkaian pidato: "Di hampir setiap urusan, kelambanan dan penundaan adalah sesuatu yang sangat dibenci."
Pemimpin Babilonia kuno, Hammurabi, menyadari kerugian prokrastinasi sehingga memasukkannya sebagai salah satu pelanggaran hukum dari 283 kodenya. Marcus Aurelius memperingatkan dan menasihati dirinya supaya tidak menunda-nunda kewajiban.
Pychyl (1998) menemukan salinan cetak sebuah khotbah tahun 1682 yang menyamakan penundaan dengan dosa. (Jika itu benar, rasanya kecil harapan saya untuk masuk surga.) Benjamin Franklin mewanti-wanti, "Putuskan tentang apa yang seharusnya Anda lakukan."
Mungkin saya salah soal "gen penundaan", tapi sulit disangkal bahwa dalam setiap zaman, manusia mengalami masalah yang kurang-lebih sama: kita tampaknya bermasalah mengenai harapan siapa kita seharusnya dan apa yang kita lakukan sebenarnya.
Kita semua senantiasa menghadapi tubrukan semacam itu. Perbedaannya, sebagian orang lebih mampu mengendalikan diri mereka sendiri, dan tentunya lebih beruntung dalam sekian hal penting.
Mengapa kita suka menunda-nunda?
Ada banyak sebab dan penjelasan mengapa orang suka menunda-nunda. Saking banyaknya, saya jadi terlalu malas untuk menyebutkannya satu per satu. Dan lucunya lagi, bagian inilah yang membuat saya menunda penulisan artikel ini selama berhari-hari.
Di sini saya hanya akan menguraikan tiga poin penting yang memang pada dasarnya relevan bagi diri saya sendiri.
Pertama, kita menunda-nunda karena takut identitas kita terancam. Semakin banyak sesuatu yang mengancam identitas kita, semakin kita enggan melakukannya. Kita semua punya seperangkat keyakinan tentang siapa kita, dan kita melindungi keyakinan itu.
Jika saya yakin bahwa saya adalah pria baik-baik, saya akan menghindari situasi yang berpotensi menentang keyakinan itu. Sebagai gantinya, saya akan cari kesempatan untuk berulang kali membuktikan kepada diri saya dan orang lain bahwa saya adalah pria baik-baik.
Seseorang tak menulis novel yang diimpikannya karena itu akan mempertanyakan identitasnya sebagai manajer perusahaan. Seseorang tak memberitahu temannya bahwa dia tak ingin bertemu lagi karena itu akan menentang identitasnya sebagai seorang pemaaf.
Kedua, kita menunda-nunda karena takut gagal. Inilah mengapa orang lebih banyak menunda-nunda dalam mengejar tujuan penting daripada yang kurang penting: meningkatnya nilai sesuatu dapat memperburuk penundaan.
Dalam kasus pribadi, saya telah menunda penulisan novel selama berbulan-bulan. Ketika menanyai diri sendiri, respons otomatis saya adalah bahwa saya sedang mencari momentum. Namun, itu hanyalah cara lain untuk mengatakan "saya takut gagal".
Dengan menunda sebuah tugas penting, kita mempersepsikan diri kita akan bekerja lebih baik di waktu nanti. Mungkin itu benar, tapi lebih mungkin lagi kita hanya beralasan. Kita hanya menyembunyikan suatu ketakutan yang bahkan tak begitu jelas asal-usulnya.
Ketiga, kita menunda-nunda karena dibebani terlalu banyak pilihan. Ini merupakan efek paradoks pilihan: semakin banyak pilihan, semakin besar pula biaya komplikasi yang mesti dicurahkan, dan kita pun jadi tak berdaya untuk memutuskan pilihan.
Misal, seseorang mungkin akan cepat membelanjakan uangnya jika hanya ada satu pilihan produk yang tersedia, tapi mungkin menunda jika dia ditawari menu pilihan dengan merek dan variasi produk yang beragam.Â
Dia terus mencari tahu pilihan yang terbaik, meski ada kemungkinan dia sudah mendapatkan yang terbaik sejak pilihan pertama.
Dalam hal ini, seseorang agaknya tak pernah menyelesaikan tugas secara baik karena dia memiliki keinginan dan aspirasi yang terus-menerus tapi tak terpenuhi untuk melakukan tugas secara lebih baik.
Cara berhenti menunda-nunda
Brian Tracy (2007), dalam bukunya Eat That Frog!, memberikan perumpamaan menarik untuk mengatasi kebiasaan menunda-nunda.
Di sini Tracy mengutip perkataan Mark Twain bahwa jika hal pertama yang Anda lakukan setiap pagi adalah makan katak hidup, Anda dapat menjalani hari dengan kepuasan karena meyakini bahwa itu mungkin hal terburuk yang bisa terjadi pada Anda sepanjang hari.
"Katak" kita adalah tugas terbesar dan terpenting kita, tugas yang kemungkinan besar akan kita tunda bila kita tak punya hal lain untuk dikerjakan. Itu juga satu-satunya tugas yang bisa memberikan dampak positif terbesar pada kehidupan dan hasil kita saat ini.
Tracy kemudian membagi dua aturan.
Aturan pertama: "Jika Anda harus makan dua katak, makanlah yang paling jelek dulu." Ini adalah cara lain untuk mengatakan bahwa jika kita memiliki dua atau lebih tugas penting, mulailah dengan tugas tersulit dan terbesar.
Aturan kedua: "Jika Anda benar-benar harus makan katak hidup, tak ada gunanya duduk dan mempertimbangkannya terlalu lama." Dengan kata lain, saat kita punya tugas yang mau-tak-mau harus dikerjakan dan mungkin kita juga membencinya, eksekusi segera.
Bagi Tracy, kunci mencapai tingkat kinerja dan produktivitas yang tinggi adalah dengan mengembangkan kebiasaan seumur hidup untuk menangani tugas utama terlebih dahulu. Kita harus terbiasa "memakan katak kita", kendati rasanya pahit, sebelum melakukan lain-lain hal.
Dari dua aturan tersebut, terus terang, saya hanya melakukan yang kedua, dan itu pun jauh sebelum mendengarnya dari Tracy. Saya merasa aturan pertama terlalu menekankan saya untuk menyelesaikan ini dulu sebelum itu.
Sedangkan, sebagian besar produktivitas saya muncul dari adanya fleksibilitas dalam proses pengerjaan. Ketika saya mendapati dua tugas yang salah satunya begitu berat namun penting, kadang lebih nyaman bagi saya untuk mengeksekusi yang lain dulu agar nanti ringan pikiran.
Atau kadang, saya memang mengerjakan yang tersulit dulu tanpa benar-benar menyelesaikannya. Jika saya merasa mentok, saya akan beralih ke tugas lain dan di waktu nanti kembali lagi ke tugas pertama.
Apa yang penting, saya bisa tetap produktif dan menyelesaikan kedua tugas itu dengan tepat waktu. Dan ini berarti, produktivitas adalah hal yang sangat pribadi.
Aturan kedua lebih relevan bagi saya. Setiap pagi, saya menyempatkan dua jam pertama saya untuk mengerjakan prioritas pertama saya. Misal, belakangan saya tengah sibuk mempelajari sebuah disiplin yang benar-benar ingin saya kuasai (atau minimal, pahami).
Karenanya, saya senantiasa meluangkan dua jam pertama saya di pagi hari untuk membaca buku-buku atau sumber lain yang berkaitan dengan subjek itu. Awalnya memang kurang nyaman, tapi setelah terbiasa, saya justru merasa bersalah kalau melewatkannya.
Dari situ muncul pertanyaan: Bagaimana agar bisa bertahan dalam fase-fase ketidaknyamanan itu? Maksud saya, tentu orang tahu bahwa sesuatu yang sudah dibiasakan akan dengan sendirinya mudah dilakukan.
Tapi, tepatnya, apa yang bisa membuat orang jadi seperti itu? Apa yang mendorong orang untuk terus melakukan sesuatu yang dianggapnya penting, sekalipun itu sulit dan, dalam banyak kasus, menyusahkan?
Ada "trik psikologis" yang sangat menarik dari William James tentang persoalan ini. Kata James (1884), "If you want a quality, act as if you already have it." Jadi untuk mengatasi penundaan, bertindaklah seolah-olah kita tertarik terhadap apa yang harus kita lakukan.
Habiskan beberapa menit saja untuk melakukan bagian pertama dari apa pun yang kita hindari atau tunda-tunda, dan tiba-tiba kita akan merasakan kebutuhan yang kuat untuk menyelesaikan tugas tersebut.
Lihatlah diri kita sebagai tipe orang yang menyelesaikan tugas penting dengan cepat dan baik secara konstan. Gambaran mental ini akan memberikan efek yang kuat pada perilaku kita. Citra diri kita, cara kita melihat diri kita di dalam, sangat menentukan kinerja kita di luar.
"Trik" ini jelas melawan kemapanan asumsi khalayak. Akal sehat menunjukkan bahwa peristiwa dan pikiran tertentu menyebabkan orang merasa emosional, dan ini pada gilirannya memengaruhi perilaku mereka.
Namun, menurut James, emosi apa pun sepenuhnya merupakan hasil dari pengamatan orang terhadap perilaku mereka sendiri. Dilihat dari perspektif ini, orang tak pernah tersenyum karena bahagia, melainkan merasa bahagia karena mereka tersenyum.
Atau, menggunakan penjelasan James: "Anda lari dari beruang bukan karena Anda takut terhadapnya, tapi menjadi takut pada beruang karena Anda lari darinya." Saya maklum kalau orang merasa keberatan dengan gagasan ini, sebab begitu pula saya pada mulanya.
Tapi ada seabrek penelitian yang mendukung gagasan James. Untuk menyebutkan salah satunya, Strack dkk. (1988) mengatakan kepada peserta bahwa mereka sedang menyelidiki cara baru untuk menulis bagi orang yang lumpuh di bawah leher.
Separuh dari peserta diminta untuk menopang pensil secara horizontal di antara gigi mereka (memaksa wajah mereka menjadi senyuman), dan separuh lainnya diminta untuk memegang pensil di antara bibir mereka (membentuk ekspresi cemberut).
Hasilnya, peserta yang menopang pensil di antara gigi mereka tiba-tiba merasa jauh lebih bahagia.
Gagasan James, bahwa perilakulah yang menyebabkan emosi tertentu, membuat orang harus bisa menciptakan perasaan apa pun yang mereka inginkan hanya dengan bertindak seolah-olah mereka sedang mengalami perasaan atau mood tersebut.
Para aktor agaknya menjalankan "trik" itu. Ketika mereka harus mendalami suatu peran yang, katakanlah, melankolis, mereka pertama-tama bertindak seolah mereka memang melankolis, dan lalu tiba-tiba mereka merasakan suasana hati yang tepat.
Richard Wiseman, dalam bukunya Rip it Up, menyebut "trik" itu sebagai prinsip "Seolah-olah". Prinsip ini bukan hanya tentang memaksa wajah kita untuk tersenyum, tapi berlaku dalam hampir setiap aspek keseharian, termasuk cara kita berkata-kata.
Saya sudah cukup lama menerapkan prinsip itu dalam aktivitas menulis. Jika saya merasa terjebak dan terus menunda-nunda sebuah esai, saya bakal membayangkan diri saya sedang duduk tekun di meja belajar dengan konsentrasi penuh (dan segelas kopi).
Dan entah bagaimana saya mulai berada dalam kondisi itu.
Mark Manson, yang saya kira juga terinspirasi dari James, menyebut prinsip semacam itu sebagai prinsip "Lakukan Sesuatu". Bunyinya: "Tindakan Anda menciptakan reaksi dan inspirasi emosional lebih lanjut dan terus memotivasi tindakan Anda di masa depan."
Jadi, bilamana Anda terus menunda tugas tertentu, bayangkanlah seakan-akan Anda sangat tertarik pada tugas itu, dan mulailah lakukan sesuatu (sungguh, apa pun). Menurut prinsip-prinsip tadi, Anda tiba-tiba bakal merasakan momentum yang tepat dan terus mengalir hingga ke tepiannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H