Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pentingnya Meluangkan Waktu untuk Refleksi Diri

22 November 2022   19:38 Diperbarui: 23 November 2022   00:06 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kita tidak belajar dari pengalaman, melainkan dari merefleksikan pengalaman | Ilustrasi oleh Carmen Camacho via Pixabay

Manusia akan terus-menerus dihadapkan pada rentetan pilihan. Demikianlah, manusia adalah pengambil keputusan dalam eksistensinya. Apa pun keputusan yang diambil, tak pernah kita mantap dan sempurna.

Melalui pilihan dan keputusan itu, kita merangkai nasib kita sendiri. Sebagai manusia yang meresapkan diri ke dalam pengalaman, kita sesekali bertanya kepada diri sendiri dengan heran dan bingung, "Apakah kita benar-benar telah berpengalaman?"

Atau bahkan, "Siapa kita sebenarnya?"

Proses memikirkan, jika bukan menentukan, hal-hal seperti itu merupakan inti dari refleksi diri. Refleksi menurut definisinya berarti "menekuk atau memantulkan kembali". Semisal, pantulan kita di cermin adalah gelombang cahaya yang memantulkan bayangan kita kembali ke arah kita.

Dalam hal refleksi diri, itu berarti kita memantulkan pengalaman dan fokus ke dalam, berhenti sejenak di tengah kekacauan untuk menguraikannya, dan menarik diri guna mempertimbangkan berbagai kemungkinan interpretasi dan makna.

Dari makna itu kita dikabari tentang pola pikir dan tindakan ke depan. Dengan kata lain, kita tak hanya memiliki pemahaman soal asumsi yang mengatur tindakan kita, tapi terutama kita mempertanyakan maknanya dan mengembangkan cara bertindak alternatif.

Singkat kata, kita belajar. "Kita tidak belajar dari pengalaman," ungkap John Dewey. "Kita belajar dari merefleksikan pengalaman."

Refleksi kemudian jadi proses kontemplatif yang dilakukan untuk mengungkap pengetahuan dan penuh dengan potensi transformasi. Ini melibatkan pertimbangan sadar dan analisis keyakinan dan tindakan untuk tujuan pembelajaran.

Orang, dalam ketaksengajaannya, senantiasa melakukan refleksi diri. Apa yang jarang dan terasa semakin diperlukan adalah refleksi diri yang disadari dan disengaja. Dalam hal ini, kita perlu menjadikannya sebagai suatu rutinitas.

Itu membuka kepenuhan hidup. Itu mengubah apa yang kita miliki menjadi cukup, dan banyak lagi. Itu mengubah penyangkalan yang tak perlu menjadi penerimaan, kekacauan menjadi keteraturan, kebingungan menjadi kejelasan.

Itu membuat masa lalu kita masuk akal, membawa kedamaian untuk hari ini dan menciptakan visi untuk hari esok.

Merefleksikan refleksi diri

Sementara orang cukup sepakat tentang apa itu refleksi diri (self-reflection), tampaknya tak semua orang sepaham tentang mengapa itu terjadi, tentang apa yang mendorongnya. Di sini saya hanya akan menguraikan dua perspektif berbeda.

Perspektif pertama melihat refleksi diri sebagai konsekuensi dari "keterpecahan diri". Mudahnya, ini terjadi ketika kita menghadapi semacam keputusan dan dihadapkan pada dua atau lebih respons terhadap sesuatu.

Misal, seorang anak tertarik pada nyala api karena terlihat seperti sesuatu untuk dimainkan; tapi anak itu juga takut dengan nyala api karena ia pernah mengalami luka bakar. Di sini ada dua respons kontradiktif dalam dirinya: mendekati nyala api dan menjauhkan diri darinya.

Dalam kondisi itu, gambar-gambar (yang disebut "pengalaman") melintas dengan cepat melalui kesadaran sang anak, yang satu tak henti-hentinya melebur ke yang lain, sampai akhirnya, ketika semuanya selesai, ia menemukan dirinya memutuskan bagaimana caranya harus bertindak.

Perspektif kedua agak kontras: ini dicirikan dengan adanya yang lain. Perspektif ini berasumsi bahwa pihak lain lebih mempersepsikan diri kita daripada yang mampu dipersepsikan diri kita sendiri. Atau ringkasnya, orang lain adalah "cermin".

Ketika kita berinteraksi dengan orang lain, mereka dengan sendirinya membentuk suatu penilaian tentang kita. Penilaian ini dapat diumpankan kembali ke diri kita oleh mereka, sehingga kita bisa belajar melihat diri sendiri dari sudut pandang mereka.

Dalam pengertian itu, orang lain memberikan umpan balik kepada diri kita sendiri dengan cara yang sama seperti cermin memberikan umpan balik (baca: pantulan) tentang penampilan yang tak bisa kita persepsikan tanpa bantuan.

Pandangan demikian dapat ditemukan dalam tulisan Adam Smith. Tulisnya:

"Seandainya mungkin seseorang bisa tumbuh dewasa di suatu tempat terpencil, tanpa komunikasi apa pun dengan spesiesnya sendiri, dia tak bisa lagi memikirkan karakternya sendiri, tentang kelebihan atau kekurangan dari perasaan dan tingkah lakunya sendiri, tentang keindahan atau cacat pikirannya sendiri..."

Lanjutnya: "Bawa dia ke masyarakat, (maka) dia segera diberikan cermin yang dia inginkan sebelumnya. (Cermin) itu ditempatkan di wajah dan perilaku orang-orang yang tinggal bersamanya."

Demikianlah, menurut Adam Smith, sesama manusialah yang mengajari kita nilai tindakan diri kita sendiri, yang merupakan "cermin" yang mengarahkan perhatian kita pada makna tindakan diri kita sendiri.

Kita menginternalisasi atau menyerap perspektif orang lain terhadap diri sendiri, lalu melakukan dialog internal antara perspektif yang terserap.

Tanpa ada sesuatu yang terserap, menurut perspektif ini, refleksi diri hanyalah kekosongan. Tumbuh dewasa sendiri, terlepas dari semua orang, tanpa "cermin" itu, tak ada yang bisa membuat seseorang merenungkan dirinya sendiri.

Mengapa harus refleksi diri?

Terlepas dari banyak sebab, orang biasanya enggan melakukan refleksi diri karena mereka merasa tak mengerti dan/atau tak suka prosesnya. Sementara persoalan pertama tampak lebih mudah dijawab, persoalan kedua mungkin tak akan mempan dengan jawaban belaka.

Persoalan pertama, bahwa orang tak mengerti dengan proses refleksi diri, bisa dijawab melalui pengalaman mereka sendiri. Seperti yang sudah disinggung, orang sebenarnya senantiasa melakukan refleksi diri; hanya saja, mereka tak menyadari itu sebagai proses refleksi diri.

Jika mereka diingatkan dan dibuat sadar tentang proses itu, bahwa suatu ketika mereka juga melakukannya, bahwa mungkin setiap waktu mereka mengalaminya, mereka akan mudah mengerti. Dalam konteks ini, mereka tinggal mengorganisir diri saat pengalaman itu terulang.

Persoalan kedua lebih sukar: orang sering mengira proses refleksi diri itu menyakitkan dan memperlambat. Mereka tak tahan untuk mendaopsi pola pikir "ketidaktahuan" dan sekaligus "keingintahuan", menoleransi kekacauan, serta memikul tanggung jawab pribadi.

Saya menyebutnya sukar karena itu melibatkan perasaan seseorang. Dan dalam banyak kasus, perasaan tak bisa ditawar-tawar oleh argumen. Seseorang yang benci sayur, tak peduli alasan apa pun yang kita kemukakan, mereka (biasanya) tetap tak menyukainya.

Seseorang yang suka merokok, tak peduli seberapa seringnya kita memberitahu itu berbahaya (dan bahkan produsen rokok sendiri sudah memperingatkannya), mereka tetap merokok. 

Ada istilah begini, "Ketika saya membaca bahwa rokok itu mematikan, saya berhenti membaca."

Tapi, terus terang, saya tak peduli. Saya hanya akan pergi jika sudah meninggalkan argumen.

Peradaban teknologi modern tampaknya telah mengubah persepsi dan penghayatan kita soal waktu. Kita menatap ke depan, sebab kita percaya pada saat itulah kita akan lebih berhasil. Dari proses ke proses itu, sedikit demi sedikit, kita telah berpengalaman.

Akan tetapi, kita jarang sempat merenungi pengalaman itu. Kita terus menjalani rutinitas, memikirkan ini-itu secara tak tentu. Kita telah mengubah irama hidup. Jam berapa, ya, sekarang? Kita jarang tahu; apa yang penting, kita punya persoalan untuk dipikirkan.

Kita pun lantas jadi individu-individu yang memecahkan lebih banyak masalah, bahkan kadang pula lebih cepat. Kendati begitu, kita tak lagi efektif. Irama kehidupan seolah-olah telah membuat waktu sebagai suatu ukuran matematis belaka.

Kita hanyut ditelan waktu. Kita lupa mengambil jeda dan menghayati waktu (untuk diri kita sendiri).

Dalam hal ini, refleksi diri adalah keterampilan penting untuk pertumbuhan pribadi. Tanpanya, kita berjalan tanpa sadar dan sering reaktif terhadap orang lain, bahkan pada diri sendiri.

Kita mengeluh tentang banyak hal, lelah dan emosional, tapi kita jarang tahu apa sebabnya. Kadang-kadang, kita hanya lupa mengambil jeda dan kesunyian, menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan diri sendiri, dan menjernihkan segala "pengalaman".

Namun, ada peringatan di sini: jika refleksi diri jadi obsesif, itu bisa berubah jadi self-judgment. Dalam kondisi ini, kita tak lagi percaya pada diri sendiri dan lebih membenarkan rupa-rupa pencapaian orang lain.

Kita hanya memperkuat gagasan yang salah tentang diri kita sendiri. Jadi, penting diingat, refleksi diri terletak pada kemampuannya untuk membantu kita menciptakan perubahan positif, bukan membantu menjatuhkan kita.

Bagaimana cara berefleksi diri?

Suatu malam tahun 170 M, dalam sebuah tenda di tengah perang, Marcus Aurelius, kaisar terkemuka dari Kekaisaran Romawi, duduk tenang untuk menulis. Atau mungkin ini sebelum fajar di Roma. Atau dia mencuri waktu beberapa menit di tengah carut-marut konflik.

Lokasi tepatnya tidaklah penting. Apa yang penting, pria ini duduk tenang dan sunyi untuk menulis.

Dia melakukan itu cukup rutin. Dia agaknya tak pernah membayangkan audiens atau pembaca; dia menulis "ke dalam", bercerita untuk dirinya sendiri. Dia juga jarang menulis banyak. Kadang beberapa paragraf, dan kadang hanya beberapa kalimat pendek.

Yang jelas adalah, pria ini resah dan sadar akan kebutuhannya untuk berefleksi.

Apa yang dilakukan Marcus Aurelius merupakan salah satu bentuk refleksi diri. Setelah komitmen dibuat untuk berefleksi, proses aktual dapat mengambil banyak bentuk. Sementara pendekatan apa pun bisa efektif, buku harian reflektif agaknya adalah yang paling umum.

Itu karena saat kita menulis, seperti yang sedang saya lakukan, kita bukan hanya menuangkan kata-kata, tapi terutama memperjelas apa yang kita pikirkan. Ringkasnya, menulis adalah proses berpikir itu sendiri.

Dengan kata lain, menulis jurnal (atau apa pun sebutannya) memungkinkan kita untuk mengeksplorasi, mengklarifikasi, dan memahami masalah secara mendalam. Ini adalah proses "mengalami ulang" pengalaman. Berkatnya, kita melihat itu dengan mata baru.

Selama proses menulis, kita sebaiknya membiarkan tulisan mengalir tanpa sensor, tanpa mengkhawatirkan gaya atau sintaksis, tanpa jeda atau tekanan.

Selepas itu, setidaknya berdasar apa yang saya lakukan, sering kali membantu untuk meninggalkan dan kembali lagi nanti, membaca ulang situasinya dengan perspektif baru dan merenungkannya dari posisi yang berbeda.

Ketika situasinya dipertimbangkan kembali, masalah emosional dan konflik dapat diidentifikasi dan, jika cukup beruntung, wawasan baru dapat ditemukan. Perlu diakui, sebagaimana kedengarannya, semua proses itu memanglah membosankan.

Saya bahkan tak melakukan itu setiap hari. Ini karena inti dari refleksi diri bukan terletak pada menulis jurnal, melainkan perenungan pengalaman. Orang punya cara berbeda-beda untuk melakukan itu. Dan jika itu selalu terasa membosankan, saya pikir tak ada jalan lain kecuali memeluk rasa bosan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun