Itu membuat masa lalu kita masuk akal, membawa kedamaian untuk hari ini dan menciptakan visi untuk hari esok.
Merefleksikan refleksi diri
Sementara orang cukup sepakat tentang apa itu refleksi diri (self-reflection), tampaknya tak semua orang sepaham tentang mengapa itu terjadi, tentang apa yang mendorongnya. Di sini saya hanya akan menguraikan dua perspektif berbeda.
Perspektif pertama melihat refleksi diri sebagai konsekuensi dari "keterpecahan diri". Mudahnya, ini terjadi ketika kita menghadapi semacam keputusan dan dihadapkan pada dua atau lebih respons terhadap sesuatu.
Misal, seorang anak tertarik pada nyala api karena terlihat seperti sesuatu untuk dimainkan; tapi anak itu juga takut dengan nyala api karena ia pernah mengalami luka bakar. Di sini ada dua respons kontradiktif dalam dirinya: mendekati nyala api dan menjauhkan diri darinya.
Dalam kondisi itu, gambar-gambar (yang disebut "pengalaman") melintas dengan cepat melalui kesadaran sang anak, yang satu tak henti-hentinya melebur ke yang lain, sampai akhirnya, ketika semuanya selesai, ia menemukan dirinya memutuskan bagaimana caranya harus bertindak.
Perspektif kedua agak kontras: ini dicirikan dengan adanya yang lain. Perspektif ini berasumsi bahwa pihak lain lebih mempersepsikan diri kita daripada yang mampu dipersepsikan diri kita sendiri. Atau ringkasnya, orang lain adalah "cermin".
Ketika kita berinteraksi dengan orang lain, mereka dengan sendirinya membentuk suatu penilaian tentang kita. Penilaian ini dapat diumpankan kembali ke diri kita oleh mereka, sehingga kita bisa belajar melihat diri sendiri dari sudut pandang mereka.
Dalam pengertian itu, orang lain memberikan umpan balik kepada diri kita sendiri dengan cara yang sama seperti cermin memberikan umpan balik (baca: pantulan) tentang penampilan yang tak bisa kita persepsikan tanpa bantuan.
Pandangan demikian dapat ditemukan dalam tulisan Adam Smith. Tulisnya:
"Seandainya mungkin seseorang bisa tumbuh dewasa di suatu tempat terpencil, tanpa komunikasi apa pun dengan spesiesnya sendiri, dia tak bisa lagi memikirkan karakternya sendiri, tentang kelebihan atau kekurangan dari perasaan dan tingkah lakunya sendiri, tentang keindahan atau cacat pikirannya sendiri..."
Lanjutnya: "Bawa dia ke masyarakat, (maka) dia segera diberikan cermin yang dia inginkan sebelumnya. (Cermin) itu ditempatkan di wajah dan perilaku orang-orang yang tinggal bersamanya."