Yang jelas adalah, pria ini resah dan sadar akan kebutuhannya untuk berefleksi.
Apa yang dilakukan Marcus Aurelius merupakan salah satu bentuk refleksi diri. Setelah komitmen dibuat untuk berefleksi, proses aktual dapat mengambil banyak bentuk. Sementara pendekatan apa pun bisa efektif, buku harian reflektif agaknya adalah yang paling umum.
Itu karena saat kita menulis, seperti yang sedang saya lakukan, kita bukan hanya menuangkan kata-kata, tapi terutama memperjelas apa yang kita pikirkan. Ringkasnya, menulis adalah proses berpikir itu sendiri.
Dengan kata lain, menulis jurnal (atau apa pun sebutannya) memungkinkan kita untuk mengeksplorasi, mengklarifikasi, dan memahami masalah secara mendalam. Ini adalah proses "mengalami ulang" pengalaman. Berkatnya, kita melihat itu dengan mata baru.
Selama proses menulis, kita sebaiknya membiarkan tulisan mengalir tanpa sensor, tanpa mengkhawatirkan gaya atau sintaksis, tanpa jeda atau tekanan.
Selepas itu, setidaknya berdasar apa yang saya lakukan, sering kali membantu untuk meninggalkan dan kembali lagi nanti, membaca ulang situasinya dengan perspektif baru dan merenungkannya dari posisi yang berbeda.
Ketika situasinya dipertimbangkan kembali, masalah emosional dan konflik dapat diidentifikasi dan, jika cukup beruntung, wawasan baru dapat ditemukan. Perlu diakui, sebagaimana kedengarannya, semua proses itu memanglah membosankan.
Saya bahkan tak melakukan itu setiap hari. Ini karena inti dari refleksi diri bukan terletak pada menulis jurnal, melainkan perenungan pengalaman. Orang punya cara berbeda-beda untuk melakukan itu. Dan jika itu selalu terasa membosankan, saya pikir tak ada jalan lain kecuali memeluk rasa bosan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H