Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mari Belajar Merasa Vuja De, Bukan Deja Vu

16 Oktober 2022   12:15 Diperbarui: 18 Oktober 2022   11:37 1219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Vuja de membantu kita untuk memikirkan ulang sesuatu yang diyakini begitu saja | Gambar oleh Debowscyfoto via Pixabay

Orang barangkali terkejut bahwa sebenarnya Teori Evolusi tidak pernah mengklaim manusia berasal dari kera, bahwa self-healing tidak sama dengan self-reward, dan bahwa arti kata "acuh" sama sekali bukan cuek, melainkan "peduli".

Perasaan vuja de, karenanya, dapat menjadi (salah satu) tahap permulaan menuju pemikiran kritis.

Kita tiba-tiba menjadi asing terhadap sesuatu yang familier, tapi toh melalui rasa asing itulah kita dapat menjernihkan pemahaman kita sendiri dari kepastian-kepastian semu, meluruskan apa yang selama ini diiyakan begitu saja.

Hal itu karena seni berpikir kritis bukanlah tentang mengubah kodrat manusia, atau berpura-pura bahwa kita bisa (dan harus) bertindak rasional sepenuhnya sepanjang waktu. Ini adalah tentang mengenali batasan kita sendiri, dan orang lain.

Ini adalah soal mengetahui kapan harus mengambil jeda, memikirkan ulang, dan mencapai pertanyaan-pertanyaan yang akurat agar kita mampu mengerti kedalaman sesuatu. Kita secara sadar ingin memahami suatu hal, dan rasa asing terhadapnya merupakan awalan yang bagus.

Mengapa Harus Vuja De?

Kemudahan dan kelimpahan informasi yang kita nikmati hari ini tampaknya tidak berbanding lurus dengan keterampilan kita dalam berpikir kritis. Orang biasanya merasa cukup puas dengan sekadar tahu tanpa mengerti.

Akibatnya, meskipun kita dibuat familier terhadap banyak hal, kita sekaligus menjadi orang-orang yang dangkal dalam memahami sesuatu. Anehnya lagi, kita juga merupakan generasi yang suka berkomentar, kendati kedangkalan pemahaman begitu lestari.

Kedangkalan pemahaman itu, dalam bentuk terburuknya, sering membuat orang menjadi sangat fanatik terhadap keyakinannya sendiri. Mereka mengingkari segala kemungkinan lain, dan karenanya menindas orang lain yang keyakinannya berbeda.

Dengan vuja de, alih-alih menolak ketidaktahuan dan ketidakpastian diri sendiri, semua itu justru dijadikan sebagai sumber kekuatan. Proses memahami bukan lagi tindakan pasif, tetapi sebentuk perjalanan dari satu pertanyaan ke pertanyaan lain.

Seperti diungkapkan Levi-Strauss, "Ilmuwan bukanlah orang yang memberikan jawaban yang benar; mereka adalah orang yang mengajukan pertanyaan dengan tepat."

Itu tidak berarti kita terus-menerus bertanya tanpa berupaya menjawabnya; itu hanya berarti kita memberikan perhatian yang mendalam terhadap satu pertanyaan sebelum menjawabnya, lalu setelah itu kita mencetuskan pertanyaan lain untuk memperkaya pertanyaan sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun