Fakta bahwa kita sering terlalu yakin dengan pengetahuan (atau lebih tepatnya, ingatan) kita sendiri, itulah persoalannya. Kita terlalu enggan untuk mengungkapkan ketidaktahuan kita; bahkan pada diri sendiri.
Lantas, adakah cara untuk mengatasi persoalan itu?
Ada segudang cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi, atau setidaknya meminimalkan, kecenderungan semacam itu. Dalam artikel ini, saya hanya akan menjabarkan satu cara yang, selain karena saya memang menerapkannya, saya percaya efektivitasnya.
Cara yang dimaksud adalah dengan senantiasa merasa vuja de, alih-alih dj vu.
Makna Vuja De
Komedian George Carlin, dalam sebuah penampilannya, melontarkan istilah "vuja de" sebagai kebalikan dari istilah Prancis "deja vu".
Sebagaimana diketahui, deja vu secara literal berarti already seen, suatu perasaan akrab yang sulit dijelaskan; terkesan familier pada sesuatu yang asing. Deja vu, dengan demikian, terjadi saat kita menemui sesuatu yang baru, tetapi rasanya kita pernah melihat itu sebelumnya.
Vuja de, sebaliknya, terjadi ketika kita menghadapi sesuatu yang familier, namun kita merasa asing dan tidak pasti. Tidak peduli seberapa seringnya sesuatu itu terjadi, "this is the strange feeling that somehow," ungkap Carlin, "none of this has ever happened before."
Demikianlah, vuja de membuat kita melihat sesuatu dengan sudut pandang baru, yang pada gilirannya membantu kita mendapatkan wawasan baru untuk masalah lama.
Perasaan vuja de, dalam wujud sederhananya, mendorong kita untuk menolak segala bentuk afirmasi yang serta-merta; dan itu artinya turut menjauhkan kita dari kesembronoan yang sebelumnya dibicarakan.
Pengetahuan yang mulanya begitu kita yakini kebenarannya, setelah diberi jarak dan dipertanyakan kembali, ujug-ujug menjadi sesuatu yang disadari ketidakpastiannya. Kita dibuat bingung dan heran oleh sesuatu yang selama ini dianggap paham.