William James pernah mengisahkan pengalaman seseorang yang menghirup gas pembius; ketika masih dalam pengaruh biusnya, ia mengetahui rahasia alam semesta, tetapi ketika ia mulai tersadar, pengalaman itu tidak bisa diingat (Russell, 2010, hlm. 124).
Pada kesempatan berikutnya, ia bertekad untuk menuliskan rahasia itu sebelum "ilham" yang didapatkannya benar-benar lenyap. Lantas suatu waktu, manakala ia telah sadar sepenuhnya, ia cepat-cepat memeriksa apa yang telah ditulisnya.
Terbaca di situ: "Bau gas menyebar ke mana-mana."
Kepastian subjektif, sebagaimana ditunjukkan anekdot itu, bisa sangat menyesatkan. Apa yang tampak sebagai pengalaman atau pemahaman yang benar, jika diterima begitu saja, dapat membawa kita pada labirin kekeliruan; kita terus memercayai ilusi kita sendiri.
Kesembronoan semacam itu sebenarnya tidak terlalu asing bagi saya. Sebagai mahasiswa, yang didorong untuk aktif berpendapat (saat kelas), saya kerap berhasrat untuk mengatakan macam-macam hal yang kiranya bisa membuat orang lain terpukau.
Namun, selepas berbicara dengan penuh gairah dan retorika, saya tidak tahu lagi tentang apa yang telah saya bicarakan. Pada dasarnya, niat saya memang sudah kurang ajar. Saya, bila diingat-ingat, sudah menjadikan orang lain sebagai alat perekam: saya ingin mereka (hanya) menerima dan mengulangi pendapat saya.
Kalaulah intuisi saya benar, atau setidaknya cukup jernih untuk menilai diri sendiri, perlahan saya mulai menjauh dari kesembronoan itu. Tentu saya tidak yakin bisa menghindarinya secara penuh, tetapi saya yakin bisa lebih berhati-hati terhadapnya.
Justru, dan ini agak ironis, belakangan saya sering berhadapan dengan orang-orang yang begitu percaya diri saat berbicara, tetapi kemudian, setelah saya tanya ini-itu, mereka mendapati kontradiksi dan cacat serius dalam argumen mereka sendiri.
Dalam beberapa kasus, mereka tampil tanpa ragu untuk mengatakan sesuatu yang amat canggih, yang saya ketahui sangat keliru, dan saya percaya bahwa mereka juga tahu tentang kekeliruannya sendiri.
Semua itu tidak saya maksudkan untuk menuduh siapa pun sebagai bejat atau sok tahu, bahwa mereka berusaha memanipulasi orang atas ketidaktahuannya; lebih-lebih, saya ingin menggambarkan bagaimana kita semua acapkali melakukan kesembronoan itu tanpa sadar.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!