Sejak ditunjuknya Indonesia sebagai Presidensi G20 2022, manajemen politik dalam negeri terjadi segera. Jika Presidensi Arab Saudi (2020) dan Italia (2021) sama-sama diuji oleh persoalan pandemi, Presidensi Indonesia tahun ini kiranya memikul beban yang (jauh) lebih berat.
Fakta bahwa pandemi Covid-19 mereda, bukan berarti persoalan tentangnya selesai begitu saja. Tata global baru yang merupakan efek berantai dari pandemi justru menuntut lebih banyak jerih payah untuk dihadapi, mengingat betapa samarnya masa depan.
Ditambah lagi dengan situasi global yang terus memanas akibat invasi Rusia ke Ukraina, serta tidak stabilnya hubungan Barat dengan Cina, posisi Indonesia sebagai Presidensi G20 2022 menjadi semakin sulit dan rentan.
Kendati begitu, sebagaimana pegas yang semakin ditekan, lentingannya semakin tinggi, semua tantangan tersebut dapat menjadi sarana untuk memperkuat diri, sekaligus membuktikan kekuatan sejati Indonesia kepada dunia.
Bukankah seabrek krisis yang mengiringi Presidensi Indonesia malah semakin membuktikan betapa krusialnya peranan Indonesia? Semisal, melalui Bank Indonesia bersama dengan pemangku kepentingan lainnya, kredibilitas epistemik G20 2022 di Indonesia dapat dijaga.
Peranan tersebut tentunya tidak hanya berpengaruh terhadap taraf kehidupan jutaan orang secara internasional, tetapi terutama secara domestik. Ini adalah momentum langka untuk menyegarkan iklim perekonomian dan keuangan Indonesia, khususnya tentang inklusivitas.
Inklusivitas, bukan Utilitarianisme
Pada 1973, penulis Amerika Ursula K. Le Guin menulis sebuah cerpen berjudul "The Ones Who Walk Away from Omelas". Cerpen tersebut menceritakan kota Omelas yang begitu indah dan tenteram, nyaris terdengar utopia.
Ringkasnya, segala sesuatu yang lazimnya diidealkan, Omelas memilikinya. Namun di balik itu, ada satu rahasia gelap yang melatarbelakangi kemakmuran Omelas.
Ketenangan dan kemegahan Omelas ternyata mengharuskan seorang anak malang dikurung dalam kekotoran, kegelapan, dan kesengsaraan abadi. Melalui semacam sihir, dengan menyiksa anak itulah kota Omelas menjadi indah.
Pada akhirnya, dari waktu ke waktu, semua warga Omelas mengetahui keberadaan anak itu. Le Guin menutup ceritanya dengan mengisahkan bagaimana setiap malam, satu per satu warga pergi meninggalkan Omelas, berjalan menuju kegelapan dan tidak pernah kembali lagi.
Omelas tampaknya merupakan contoh buruk bagi teori keadilan yang disebut utilitarianisme. Dalam bentuknya yang paling kasar, paham ini berpendapat bahwa kita harus melakukan apa saja demi memaksimalkan agregat bersih kebahagiaan.
Dengan kata lain, utilitarianisme menghendaki tindakan yang menghasilkan secara maksimal manfaat yang diharapkan.
Jika diperhatikan sepintas, utilitarianisme terasa sangat memikat dan masuk akal: kita harus memaksimalkan kebahagiaan total masyarakat dan meminimalkan rasa sakit secara keseluruhan. Namun, utilitarianisme mempunyai cacat serius.
Sebagaimana yang terjadi pada Omelas, utilitarianisme secara mentah tidak keberatan, malah dengan senang hati, untuk membenarkan seseorang disakiti, asalkan mayoritas orang lainnya mendapat manfaat lebih dari penderitaan dia.
Itulah masalah mendasar dari utilitarianisme: kita masing-masing dianggap sebagai wadah untuk kesenangan dan kesakitan belaka. Selama kita memaksimalkan kesejahteraan agregat keseluruhan, tidak masalah jika sebagian orang sangat menderita dan dirugikan.
Lantas apa hubungan antara Omelas (mewakili utilitarianisme) dan ekonomi inklusif?
Pertama-tama perlu diakui bahwa pandemi Covid-19 telah menuntut adanya trade-off yang tidak terhindarkan. Misalnya, dalam upaya melindungi kesehatan publik, beberapa aktivitas bisnis terpaksa membekukan diri, dan itu berarti mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
Pada situasi semacam itu, prinsip utilitarianisme terasa kental.
Namun, kini situasinya semakin membaik; utilitarianisme harus cepat digantikan dengan inklusivitas. Jika tidak, maka ekonomi inklusif yang menjadi ciri utama keadilan sosial akan selamanya berupa angan-angan kosong.
Ekonomi inklusif secara inheren adil karena berangkat dari asumsi bahwa semua orang berhak diberi peluang untuk mencapai kesejahteraan, terutama bagi mereka yang menghadapi hambatan terbesar untuk memajukan kesejahteraan mereka, seperti penyandang disabilitas.
Dengan begitu, nilai ekonomi tidak lagi diciptakan berdasarkan kepentingan saja, tetapi juga oleh ketegangan yang tiada henti antara sumber daya yang terbatas dan keinginan yang tidak terbatas untuk kebaikan.
Ekonomi inklusif dirancang untuk menjadi masyarakat-sentris, sehingga landasan kelembagaannya adalah mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, sementara pada saat yang sama juga memberikan tingkat keadilan dan pemerataan yang lebih besar.
Gambaran tersebut tidak utopis, sebab titik tolaknya berfokus pada perluasan peluang daripada mematok hasil yang spesifik. Selama ini orang beranggapan bahwa keadilan sosial adalah kepemilikan materi yang setara, tidak boleh ada yang lebih kaya daripada yang lain.
Itu mustahil, dan justru tidak adil. Rasanya sangat curang untuk memberikan nilai yang sama kepada semua murid jika beberapa di antara mereka ada yang lebih ulet belajar dan jujur, sedangkan sisanya hanya menyontek.
Rangkaian kepemilikan saat ini, bersandar pada pemikiran Robert Nozick, adalah adil jika (dan hanya jika) semua orang memperoleh kepemilikan mereka dengan cara yang benar. Itulah ekonomi inklusif, menurut hemat saya.
Tetapi penjabaran demikian masih belum mencukupi. Saya menghendaki ekonomi inklusif yang lebih kontekstual dan fleksibel. Karenanya, saya menimbang orang-orang yang kurang beruntung dalam arti sesungguhnya: para penyandang disabilitas.
Menciptakan kesetaraan peluang yang saya maksud tidak sama dengan membiarkan segala sesuatunya terjadi tanpa intervensi khusus. Seolah-olah jika kita melepaskan kontrol terhadap realitas, maka setiap orang memiliki peluang yang sama.
Tentunya tidak demikian. Dalam konteks ekonomi, ada sebagian dari kita yang jika diberi peluang yang sama, kejadiannya tetap tidak adil. Bagi para penyandang disabilitas, sekalipun kita menempatkan mereka pada garis start yang sama, itu masih belum bisa dikatakan adil.
Dan pastinya pula, bukan itu yang saya maksudkan dengan ekonomi inklusif.
Bayangkan terdapat tiga orang yang ingin memandang pohon apel di seberang mereka, tetapi pandangan mereka terhalangi sebuah pagar. Bagi orang pertama, itu bukan masalah; dia memiliki postur badan tinggi sehingga mampu menjangkau tepi atas pagar dengan mudah.
Bagi orang kedua, dia harus melompat-lompat agar pandangannya mampu melewati tepi atas pagar. Sedangkan bagi orang ketiga, dia tidak mampu melihat pohon apel sama sekali karena terlalu pendek.
Sebelum lebih jauh, kita perlu sepakat bahwa tinggi-pendeknya badan mereka sepenuhnya di luar kendali mereka sendiri. Sama seperti penyandang disabilitas, mereka tidak menghendaki dan tidak bisa menolak kemalangannya sendiri.
Bagaimana supaya masing-masing dari mereka mampu melihat pohon apel? Jawaban saya, orang kedua diberi satu tingkat tangga dan orang ketiga diberi dua tingkat tangga. Inilah yang saya maknai sebagai penciptaan kesetaraan peluang, bukan hasil.
Dengan memberikan bantuan lebih kepada orang kedua dan ketiga, tidak serta-merta mereka kemudian melihat pohon apel. Mungkin setelah diberi bantuan pun, kedua orang itu tetap memilih untuk mengabaikannya, dan itu berarti tidak ada kesetaraan hasil.
Di sini saya hendak mengatakan bahwa, ekonomi inklusif tidak berfokus pada kesamaan hasil, melainkan kesetaraan peluang. Merujuk pada perumpamaan pemberian nilai yang sama kepada semua murid tanpa memerhatikan prosesnya, (pemaksaan) kesamaan hasil adalah tidak adil.
Ekonomi inklusif tidak lain daripada sebuah sistem yang ramah terhadap setiap orang, dan semakin besar jerih payah seseorang, semakin bertambah pula peluang yang dimilikinya
Kendati begitu, toh kalaupun kesetaraan peluang bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh semua subjek, maka kesamaan hasil adalah keniscayaan, bukan sesuatu yang dipaksakan. Masalah dari pemaksaan kesamaan hasil, sederhananya, bisa kita lihat pada cara rezim komunis (klasik) dalam mengatur warganya, dan kita tidak menginginkan itu.
Ekonomi Inklusif dalam Momentum Presidensi G20
Betapa pun kerap gagal, kerja sama internasional masih akan terus diperlukan. Tantangan global saat ini dan juga di masa depan menuntut kerja sama internasional dan tindakan yang jauh lebih baik untuk menghindari skenario terburuk.
Meskipun persaingan antara kekuatan besar cenderung tetap menjadi fitur dinamika global sampai jauh hari, minimal kita dapat mengurangi risiko disfungsi, yang diwujudkan dan diperkuat melalui performa kerja sama internasional saat ini terhadap ketidakstabilan global.
Selaku Presidensi G20, sekaligus melalui prestise tuan rumah, Indonesia tidak diragukan lagi memiliki manfaat ekonomi dan hal lainnya, seperti sarana showcasing berbagai pencapaian dan kearifan Indonesia kepada dunia, serta mendukung peningkatan konsumsi domestik.
Pada dasarnya, itulah keuntungan dari domestic political management, meminjam istilah John Kirton.
Dengan demikian, dalam perspektif kacamata kuda, momentum Presidensi Indonesia secara otomatis akan membuka lebih banyak lahan ekonomi untuk digarap, dan itu berarti mendorong ekonomi inklusif pula.
Akan tetapi, saya tidak ingin terburu-buru menyimpulkan begitu.
Fakta bahwa peluang ekonomi semakin meluas tidak berarti inklusivitas dapat tercipta begitu saja. Sama seperti sebuah negeri yang tiba-tiba diberkahi dataran subur, bukan berarti penduduknya secara ajaib menjadi makmur.
Ini adalah soal probabilitas yang perlu ditindaklanjuti, bukan suatu keniscayaan. Berkah tersebut, bila hendak dikatakan begitu, baru berubah menjadi kemakmuran apabila dataran subur itu diolah secara tepat dan produktif.
Bahkan kalaupun sudah demikian, untuk menciptakan inklusivitas, hasilnya mesti dikelola secara adil. Dengan kata lain, meskipun (statistik) ekonomi tumbuh signifikan, ekonomi inklusif belum tentu terwujud.
Saya ingin kembali mengingatkan bahwa pada situasi semacam itu, mungkin kita tengah mempraktikkan prinsip utilitarianisme, dan utilitarianisme tidak mengandaikan inklusivitas. Pertumbuhan ekonomi hanya merupakan (salah satu) jalan menuju ekonomi inklusif.
Pada titik ini, muncul suatu kekosongan yang mesti diisi, yaitu berupa ruang untuk partisipasi semua masyarakat Indonesia dalam menyukseskan Presidensi Indonesia di G20 2022. Karena untuk menciptakan ekonomi inklusif, diperlukan pula peran aktif dan proaktif dari masyarakat.
Hanya dengan antusiasme semacam itulah, momentum Presidensi Indonesia dapat turut mendorong ekonomi inklusif, terutama bagi perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas. Model keadilan utilitarianisme mesti dihindari; no one left behind!
Sebagaimana diserukan Immanuel Kant, kita harus bertindak dengan mendudukkan kemanusiaan, baik berlaku untuk diri sendiri maupun orang lain, senantiasa sebagai tujuan, bukan hanya sebagai sarana. Manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri.
Mereka bukanlah alat untuk dieksploitasi demi memaksimalkan utilitas atau kepuasan keseluruhan. Kita tidak bisa memaksa orang menderita demi yang lain. Oleh sebabnya, ekonomi inklusif wajib diwujudkan.
Betapa pun G20 adalah forum eksklusif, implikasi ekonominya tetap harus inklusif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H