Omelas tampaknya merupakan contoh buruk bagi teori keadilan yang disebut utilitarianisme. Dalam bentuknya yang paling kasar, paham ini berpendapat bahwa kita harus melakukan apa saja demi memaksimalkan agregat bersih kebahagiaan.
Dengan kata lain, utilitarianisme menghendaki tindakan yang menghasilkan secara maksimal manfaat yang diharapkan.
Jika diperhatikan sepintas, utilitarianisme terasa sangat memikat dan masuk akal: kita harus memaksimalkan kebahagiaan total masyarakat dan meminimalkan rasa sakit secara keseluruhan. Namun, utilitarianisme mempunyai cacat serius.
Sebagaimana yang terjadi pada Omelas, utilitarianisme secara mentah tidak keberatan, malah dengan senang hati, untuk membenarkan seseorang disakiti, asalkan mayoritas orang lainnya mendapat manfaat lebih dari penderitaan dia.
Itulah masalah mendasar dari utilitarianisme: kita masing-masing dianggap sebagai wadah untuk kesenangan dan kesakitan belaka. Selama kita memaksimalkan kesejahteraan agregat keseluruhan, tidak masalah jika sebagian orang sangat menderita dan dirugikan.
Lantas apa hubungan antara Omelas (mewakili utilitarianisme) dan ekonomi inklusif?
Pertama-tama perlu diakui bahwa pandemi Covid-19 telah menuntut adanya trade-off yang tidak terhindarkan. Misalnya, dalam upaya melindungi kesehatan publik, beberapa aktivitas bisnis terpaksa membekukan diri, dan itu berarti mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
Pada situasi semacam itu, prinsip utilitarianisme terasa kental.
Namun, kini situasinya semakin membaik; utilitarianisme harus cepat digantikan dengan inklusivitas. Jika tidak, maka ekonomi inklusif yang menjadi ciri utama keadilan sosial akan selamanya berupa angan-angan kosong.
Ekonomi inklusif secara inheren adil karena berangkat dari asumsi bahwa semua orang berhak diberi peluang untuk mencapai kesejahteraan, terutama bagi mereka yang menghadapi hambatan terbesar untuk memajukan kesejahteraan mereka, seperti penyandang disabilitas.
Dengan begitu, nilai ekonomi tidak lagi diciptakan berdasarkan kepentingan saja, tetapi juga oleh ketegangan yang tiada henti antara sumber daya yang terbatas dan keinginan yang tidak terbatas untuk kebaikan.