Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Demokratisasi Pendidikan berlandaskan Keadilan Sosial: Sebuah Jalan Menuju Merdeka Belajar

12 Mei 2022   09:33 Diperbarui: 12 Mei 2022   23:29 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerataan pendidikan adalah gerbang awal Merdeka Belajar | Ilustrasi via terasindonesia.id

Pandemi Covid-19 sedikitnya telah membuat kita mengerti tentang betapa pentingnya pemerataan pendidikan. Semua sekolah dan universitas, bahkan yang paling diuntungkan secara historis dan ketersediaan modal, harus mempertimbangkan masalah sumber daya di tingkat individu yang tercakup dalam institusinya, semisal kuantitas perangkat dan kualitas konektivitas untuk mengikuti kegiatan pembelajaran jarak jauh (Czerniewicz dkk., 2020). 

Akan tetapi, sejumlah hambatan yang disebut-sebut sebagai imbas situasi pandemi kiranya tidak dapat dibenarkan sepenuhnya, sebab ketimpangan sosial-ekonomi dan pendidikan nyatanya telah terjadi (jauh) sebelum pandemi. 

Dengan kata lain, hambatan tersebut hanyalah "fenomena gunung es" yang disingkapkan oleh kondisi krisis, termasuk perihal sistem pembelajaran dan praktik pedadogi yang usang (Raharjo, 2013). Pandemi seolah menjadi sinar-X yang menunjukkan sendi-sendi pendidikan yang rapuh. 

Alhasil, pandemi telah membuka kemungkinan untuk perumusan ulang kebijakan serta membudayakan praktik-praktik baru yang mengedepankan prinsip keterbukaan dan fleksibilitas sesuai kurun zaman. 

Pendekatan baru tersebut mestilah berlandaskan keadilan sosial (sila ke-5 Pancasila), sebab dengan jalan itulah, kita dapat melakukan demokratisasi di ranah pendidikan yang pada gilirannya akan menyokong program Kemdikbud, yaitu Merdeka Belajar.

Tantangan pendidikan kita bukan hanya soal peningkatan kualitas, tetapi juga perkara bagaimana pendistribusian kualitas tersebut dapat merata. Kedua hal ini tentunya saling mengandaikan karena kesiapan sarana dan prasarana pembelajaran terbukti sangat memengaruhi hasil belajar pelajar (Joosten & Cusatis, 2020). 

Ketika kita merangkul fakta bahwa lembaga pendidikan turut mencerminkan wajah masyarakat, kita dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan sekolah yang adil bagi semua orang di tengah perangkap hegemoni yang tampaknya menjadi ciri masyarakat kita. 

Ada fiksi tertentu yang ditimpakan ke seluruh masyarakat oleh ketidakadilan; sebuah fiksi di mana kita menemukan diri kita termuat di dalamnya. 

Transformasi lembaga pendidikan untuk abad ke-21 ini membutuhkan pemerataan dan inklusivitas pada semua komunitas yang terlibat dalam struktur (Gause, 2011, hlm. 41--42).

Pemerataan dalam pendidikan perlu diperiksa dengan dua cara yang saling terkait erat sekaligus membantu kita menganalisis implikasi dari kegagalan lembaga pendidikan: pemerataan sebagai inklusivitas dan pemerataan sebagai keadilan (Charalambous, 2018, hlm. 8--10). 

Perspektif pertama berimplikasi pada perancangan reformasi nasional melalui kebijakan yang efektif untuk meminimalkan angka putus sekolah dan memberikan kesempatan belajar bagi semua orang. Dalam hal ini, otoritas harus bersedia menyediakan standar minimum dasar pendidikan bagi masyarakat. 

Sedangkan perspektif kedua menghendaki adanya kepastian bahwa kondisi pribadi dan sosial tidak boleh menjadi hambatan bagi keberhasilan akademik pelajar (Field dkk., 2007). 

Hasilnya, pemerataan efektivitas dalam pendidikan menuntut hasil belajar hanya bergantung pada upaya dan kapasitas mereka sendiri, dan bukan pada aneka hal yang tidak dapat diintervensi (gender, asal etnis, tingkat sosial-ekonomi keluarga).

Oleh karena itu, agenda utama kita bukan lagi semata-mata pemerataan sebagai inklusivitas (equality), melainkan pemerataan sebagai keadilan (equity). Kesetaraan formal tidak lagi dinilai cukup; fokus bergeser ke keseimbangan kinerja yang membuka kesempatan untuk mencapai hasil yang sama. 

Hal ini mengarahkan kita pada pemeriksaan apakah kondisi sekolah menawarkan kesempatan yang sama ketika dihadapkan pada perbedaan latar belakang pelajar untuk mencapai tingkat hasil (output) yang sama. 

Beberapa dekade penelitian sosiologis dalam pendidikan telah menegaskan bahwa hanya menghindari diskriminasi saja tidaklah cukup untuk mendorong pelajar supaya mencapai hasil yang sama, sebab mereka alamiahnya memiliki awal yang tidak sama akibat kesenjangan sosial-ekonomi (Branden dkk., 2011, hlm. 25). 

Temuan tersebut semakin kentara apabila kita mengaitkannya dengan konteks hari ini, di mana wilayah pedalaman (misalnya, Nagari Sisawah Kabupaten Sijunjung) tengah mengalami kesulitan perihal sarana dan prasarana pembelajaran daring (Siska & Rudagi, 2021). 

Diperparah dengan efek domino dari penurunan status ekonomi jutaan keluarga akibat pandemi, disparitas pendidikan antara wilayah-wilayah pinggiran dengan pusat perkotaan tampak semakin mencolok (Santosa, 2020).

Inilah mengapa pemerataan (equity) perlu dibedakan dari kesetaraan (equality): pemerataan menyiratkan adanya kontras antara ketidaksetaraan yang adil dan tidak adil. 

Pemerataan sama dengan memperlakukan aktor dan lembaga pendidikan secara "tidak setara" (baca: proporsional) karena mereka memang tidak setara---terutama karena mereka mengalami kondisi awal yang berbeda. Dengan kata lain, perlakuan yang setara secara formal di sekolah akan menjadi tidak adil selama ada ketidaksetaraan objektif di lingkup sosial. 

Karenanya, dalam sistem pendidikan, "diskriminasi" sampai tingkat tertentu dapat dibenarkan untuk meratakan persaingan yang selama ini berjalan pincang, misalnya dengan mengalokasikan sumber daya yang lebih banyak kepada lembaga atau pelaku pendidikan tertentu berdasarkan rupa-rupa pertimbangan.[1]

Banyak pengamat yang cenderung setuju bahwa kesetaraan (equality) membutuhkan kesamaan, sedangkan pemerataan (equity) mengharuskan perlakuan yang sesuai dan memadai untuk kebutuhan mereka yang bersangkutan (Gordon, 1999). 

Prinsip tersebut terbukti sukses besar di negara-negara seperti Finlandia, Korea Selatan, dan Singapura. Sebuah studi perbandingan menunjukkan bahwa mereka mendanai lembaga pendidikan secara proporsional dan berkeadilan, sehingga semua pelajar memulai proses pembelajaran dari garis start yang sama (Gause, 2011). 

Hal ini didukung oleh bukti empiris lainnya bahwa anak-anak dari keluarga termiskin cenderung memiliki hasil sekolah yang lebih buruk---bahkan kerap putus sekolah---daripada mereka yang berasal dari keluarga kaya (OECD, 2010). 

Penelitian tersebut juga menemukan bahwa sistem pendidikan yang proporsional, dalam artian merengkuh prinsip pemerataan sebagai keadilan, mencetak pelajar yang relatif setara perkara hasil belajar.

Kendati demikian, berkenaan mengejar hasil yang adil dan merata, bangsa kita tampaknya lebih menjurus pada perlakuan yang sama sebagai kriterianya (Rohaeni & Saryono, 2018). 

Bahkan sejauh ini, signifikansi perbaikan yang dilakukan kerap sebatas aspek teknokratik dan administratif, sementara dimensi substansial (misalnya, praktik pedadogi dan pola belajar di lapangan) masih belum banyak disentuh---atau setidaknya belum berubah. 

Kita boleh melihat realitas tersebut sebagai keniscayaan dari tindakan trade-off, tetapi bukan berarti sikap pesimisme dapat dilontarkan begitu saja tanpa menilainya secara komprehensif serta objektif.

Sumber daya material jelas diperlukan, tetapi bahkan pada tahap awal ini, kita menyadari bahwa itu tidaklah cukup. Penyisipan pembelajaran jarak jauh darurat yang didukung oleh penyediaan akses digital nyatanya tidak menjamin kelancaran pembelajaran secara langsung. 

Prospek kefasihan digital, baik untuk pengajar maupun pelajar, tanpa kecukupan pengalaman penggunaan kiranya merupakan penghalang tambahan dalam ihwal pemerataan. 

Bahkan mengejutkannya, sebuah penelitian yang memeriksa 594 studi perihal pembelajaran campuran (blended learning) mengungkapkan bahwa mayoritas studi yang ada lebih terfokus pada tantangan pelajar dalam beradaptasi dengan sistem daring, padahal secara keseluruhan, justru pengajarlah yang lebih besar terdampak (Rasheed dkk., 2020). 

Hasil ini memicu sebuah benang merah yang cukup provokatif, bahwa perhatian kita dalam menghadapi revolusi digital dan pemerataan terhadapnya masih tendensius kepada salah satu pihak, di samping permasalahan seputar digital juga dialami pihak lainnya.

Memang perlu diakui, implementasi digitalisasi dalam ranah pendidikan mulanya malah menimbulkan simtom tertentu yang menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi, kelemahan ikatan sosial, dan penyusutan kohesi budaya. 

Adapun kebalikannya juga benar: kesenjangan sosial-ekonomi semakin menyulitkan digitalisasi pendidikan dan malah rentan menjadi bumerang bagi dimensi lainnya, seperti konflik antar kelas. 

Tetapi dalam jangka panjang, apalagi bila mempertimbangkan tren peradaban, pendidikan berbasis teknologi akan memberdayakan pengajar dan pelajar untuk bereksperimen dengan metodologi dan paradigma baru yang pada gilirannya membuat proses pembelajaran lebih demokratis. 

Dengan begitu, keseimbangan dinamis antara pengenalan ide-ide dan inovasi baru serta kemampuan sistem sosial untuk mengatasinya amatlah diperlukan sebagai cara menghadapi dampak kesenjangan sosial-ekonomi terhadap digitalisasi (Anthony & Padmanabhan, 2010). 

Keseimbangan tersebut tentunya bukanlah hasil dari revolusi mendadak, tetapi lebih merupakan proses metamorfosis yang berjalan dari satu tahapan ke tahapan berikutnya.

Metamorfosis yang dimaksud mengejawantahkan proses pembentukan iklim pendidikan secara manusiawi dan bertahap, yang sejalan dengan kebutuhan zaman. 

Pendekatan ini mengandaikan adanya proses pemecahan masalah yang demokratis: bukan berarti mengambil keputusan dengan sistem voting, tetapi turut melibatkan seluruh aktor dalam kodifikasi realitas total menjadi simbol-simbol yang dapat menggugah kesadaran kritis serta mendorong mereka untuk mengubah hubungan satu sama lain ke arah yang lebih menghangatkan. 

Melalui proses dialog yang akurat inilah, aktivitas reflektif dapat menjauhkan kita dari segala macam bentuk narsisme dan psikologisme yang berlebihan. Dengan begitu, manusia tidak menjadi objek belaka, melainkan sebagai subjek dari sejarahnya sendiri (Freire, 2000, Bab 2).

Bingkai demikianlah yang Penulis istilahkan dengan "demokratisasi pendidikan". Istilah ini merujuk pada operasi kebijakan yang merangkul nilai keragaman dan inklusivitas. 

Dengan kata lain, demokratisasi pendidikan berarti mempersiapkan transformasi yang kritis melalui pemerataan sekaligus kontra-normatif, sebab demokrasi itu sendiri menghendaki adanya penghormatan terhadap hak-hak esensial dan otonomi keputusan (Dahl & Shapiro, 2015, Bab 5). 

Jika kita sangat percaya bahwa lembaga pendidikan adalah lingkungan mikro demokrasi masyarakat kita, bahwa di dalamnya kita akan terus membangun demokrasi yang lebih besar, kita perlu bergerak ke wilayah pinggiran sebagai imbas dari tidak bekerjanya trickle-down effect.[2]

Kita harus menyingkapkan segala hal yang selama ini tersembunyi, termasuk mendengarkan suara-suara mereka yang kerap dibungkam oleh hegemoni sistem (Jenlink, 2009, hlm. 10). 

Kehidupan kontemporer, bagaimanapun juga, sangat berkaitan erat dengan demokrasi, dan demokrasi berarti membebaskan kecerdasan untuk efektivitas kemandirian dalam menentukan pilihan (Dewey, 1903). 

Akan tetapi, nilai-nilai demokratis tersebut hendaknya tidak menyimpang dari dasar kebangsaan, di mana dalam konteks ini adalah keadilan sosial. Landasan keadilan sosial tidak hanya menuntut peranan otoritas untuk menyokong pemerataan pendidikan, tetapi juga mendorong aktor pendidikan supaya mengambil peran aktif dalam karier mereka sendiri. 

Ringkasnya, kita dapat menyaring tujuan demokratisasi pendidikan berlandaskan keadilan sosial menjadi beberapa poin: keakuratan distribusi sumber daya, tanggung jawab sosial yang adil, prosesnya berjalan demokratis, berfokus pada dialog dan interaksi, serta pemberdayaan para aktor yang terlibat (Hackman, 2005).

Dengan begitu, Penulis mengukur demokratisasi pendidikan berlandaskan keadilan sosial dalam dua segi: prosedural dan substansial. 

Aspek prosedural melibatkan hal-hal yang sewajarnya menjadi tanggung jawab otoritas, misalnya, sebagaimana telah Penulis uraikan sebelumnya, berkaitan dengan kesetaraan (equality) dan pemerataan (equity) pendidikan. Lebih spesifiknya, bentuk umum dari aspek ini adalah format teknokratik dan administratif. 

Sedangkan aspek substansial lebih mengarah pada penggunaan prinsip-prinsip demokrasi dalam proses pembelajaran, sehingga konsepnya terkadang lebih abstrak untuk diterjemahkan menjadi praktik. Tetapi lebih rincinya, inilah yang dimaksud "manusia menjadi subjek dari sejarahnya sendiri". 

Dalam sistem pendidikan yang demokratis, hubungan hierarkis antara pelajar dan pengajar dihapuskan sehingga keduanya beriringan menjadi subjek serta disatukan oleh objek yang sama. Pelajar tidak lagi sekadar menelan, demikian pula para pengajar yang tidak lagi menjadi pemikir tunggal.

Pemenuhan dua aspek itulah yang kemudian mengarah ke program utama Kemdikbud hari ini, yaitu Merdeka Belajar. Hemat kata, Merdeka Belajar adalah telos (tujuan) primer dari demokratisasi pendidikan. 

Kemerdekaan belajar berarti lebih banyak kebebasan dan otonomi kepada lembaga pendidikan, merdeka dari birokratisasi yang berbelit-belit, serta keleluasaan pelajar untuk memilih bidang yang mereka kehendaki (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2020). 

Itikad tersebut, meskipun dimaksudkan untuk beradaptasi dengan kebutuhan kontemporer, nyatanya sangat bersinggungan dengan sistem pendidikan ngemong dan Patrap Triloka---khususnya tut wuri handayani---dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara (Pranoto, 2017). 

Oleh karenanya, kita dapat melihat bagaimana Merdeka Belajar ini bukan hanya perwujudan puncak dari demokratisasi pendidikan yang berlandaskan keadilan sosial, tetapi juga sejalan dengan apa yang selama ini menjadi kerangka dasar pendidikan kita, sehingga idealnya akan lebih mudah untuk mengakar dalam jiwa para aktor akademik.

Menilik uraian di atas, Penulis mengajukan proposisi bahwa demokratisasi pendidikan segi prosedural harus terlebih dahulu dipenuhi apabila ingin mewujudkan demokratisasi pendidikan segi substansial. 

Persyaratan ini bukanlah pembatasan semena-mena yang menyepelekan salah satu aspek, melainkan berkaitan dengan apa yang sebelumnya Penulis maksudkan sebagai "metamorfosis". 

Sebagaimana ulat mengalami peralihan dari fase ke fase untuk menjadi kupu-kupu, demokratisasi pendidikan juga mencerminkan adanya alur yang berkembang dari satu tahap ke tahap berikutnya. 

Adapun dimensi prosedural mesti mendahului dimensi substansial, karena tampaknya tidak begitu mungkin untuk membayangkan bagaimana proses pembelajaran di dalam kelas dapat berjalan "demokratis" apabila keadaan secara keseluruhan masih penuh ketimpangan sarana dan prasarana. 

Jika demikian, wajah pendidikan kita tentunya hanyalah manifestasi dari model keadilan utilitarianisme yang cenderung memaksimalkan agregat kesejahteraan, tetapi di balik itu, ada segelintir pihak yang menjadi "tumbal keberhasilan" (Brennan, 2016, hlm. 19--20).

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, untuk mencapai hasil belajar yang sama, pertama-tama harus diupayakan agar pelajar dapat memulainya dari garis start yang sama pula---dalam konteks sarana dan prasarana. Itulah demokratisasi pendidikan yang utuh; itulah sistem pendidikan yang berlandaskan keadilan sosial; itulah realisasi yang sesungguhnya dari Merdeka Belajar.

Ulasan kerangka berpikir | Gambar merupakan hasil olahan pribadi
Ulasan kerangka berpikir | Gambar merupakan hasil olahan pribadi

Pada akhirnya, transformasi pendidikan untuk abad ke-21 ini membutuhkan kesetaraan (equality) dan pemerataan (equity) dengan melibatkan semua komunitas yang tercakup dalam struktur. 

Meskipun kedua-duanya amatlah penting dan saling terkait, tetapi agenda utama kita hari ini, khususnya apabila mempertimbangkan kebutuhan zaman akan digitalisasi, adalah pemerataan (equity). 

Konsep pemerataan mengandaikan adanya perlakuan "tidak setara" terhadap aktor dan lembaga pendidikan yang memang sedari awal sudah tidak setara (misalnya, dengan memberi lebih banyak sumber daya kepada pihak yang kurang beruntung). Upaya itulah yang dimaksud demokratisasi pendidikan aspek prosedural. 

Selepasnya, kita perlu memperbaiki kebobrokan proses pembelajaran yang umumnya masih menerapkan cara-cara usang. Perbaikan inilah yang merujuk pada demokratisasi pendidikan secara substansial, di mana pelajar dan pengajar berjalan beriringan menjadi subjek seraya disatukan oleh objek yang sama. 

Dua aspek tersebut merupakan suatu alur yang bertahap untuk menuju Merdeka Belajar. Harapannya, kita dapat bahu-membahu mewujudkan misi ke-4 SDGs dan kemudian menatap Indonesia yang lebih gemilang melalui generasi emas 2045. Pendidikan adalah paspor masa depan, karena hari esok adalah milik mereka yang mempelajarinya hari ini.

oleh Muhammad Andi Firmansyah, Garut

Catatan Kaki

[1] Salah satu pertimbangannya adalah perbedaan indeks harga di Pulau Jawa dengan wilayah-wilayah yang mendekati perbatasan atau terpencil dari pusat distribusi logistik. Lihat, misalnya, Badan Pusat Statistik. (2022). Statistik Indonesia 2022. Badan Pusat Statistik.

[2] Konsep trickle-down effect menegaskan tentang pentingnya peranan kutub pertumbuhan wilayah sebagai penggerak wilayah utama atau "lokomotif pertumbuhan" yang selanjutnya menyebarkan hasil-hasil pembangunan ke wilayah lain. Namun kenyataannya, strategi ini sering gagal dan malah menimbulkan kesenjangan yang semakin pekat di antara berbagai titik. Lihat, misalnya, Aghion, P. (1997). A Theory of Trickle-Down Growth and Development. Review of Economic Studies, 64, 151--172.

Daftar Pustaka

Anthony, J., & Padmanabhan, S. (2010). Digital Divide And Equity In Education: A Rawlsian Analysis. Journal of Information Technology Case and Application Research, 12(4), 37--62. https://doi.org/10.1080/15228053.2010.10856195

Branden, K. van den, Avermaet, P. van, & Houtte, M. van (Ed.). (2011). Equity and Excellence in Education: Towards Maximal Learning Opportunities for All Students. Routledge.

Brennan, J. (2016). Political Philosophy: An Introduction. Cato Institute.

Charalambous, E. (2018). Equity and Quality Dimensions in Educational Effectiveness. Springer Berlin Heidelberg.

Czerniewicz, L., Agherdien, N., Badenhorst, J., Belluigi, D., Chambers, T., Chili, M., de Villiers, M., Felix, A., Gachago, D., Gokhale, C., Ivala, E., Kramm, N., Madiba, M., Mistri, G., Mgqwashu, E., Pallitt, N., Prinsloo, P., Solomon, K., Strydom, S., ... Wissing, G. (2020). A Wake-Up Call: Equity, Inequality and Covid-19 Emergency Remote Teaching and Learning. Postdigital Science and Education, 2(3), 946--967. https://doi.org/10.1007/s42438-020-00187-4

Dahl, R. A., & Shapiro, I. (2015). On Democracy (2nd edition). Yale University Press.

Dewey, J. (1903). Democracy in Education. The Elementary School Teacher, 4, 193--204.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. (2020). Buku Panduan Merdeka Belajar---Kampus Merdeka. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdikbud RI.

Field, S., Kuczera, M., & Pont, B. (2007). No More Failures: Ten Steps to Equity in Education. OECD.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the Oppressed (30th anniversary ed). Continuum.

Gause, C. P. (2011). Diversity, Equity, and Inclusive Education: A Voice from the Margins. Sense Publishers.

Gordon, E. W. (1999). Education and justice: A view from the back of the bus. Teachers College Press.

Hackman, H. W. (2005). Five Essential Components for Social Justice Education. Equity & Excellence in Education, 38(2), 103--109. https://doi.org/10.1080/10665680590935034

Jenlink, P. M. (Ed.). (2009). Equity Issues for Today's Educational Leaders: Meeting the Challenge of Creating Equitable Schools for All. Rowman & Littlefield Education.

Joosten, T., & Cusatis, R. (2020). Online Learning Readiness. American Journal of Distance Education, 34(3), 180--193. https://doi.org/10.1080/08923647.2020.1726167

OECD. (2010). Overcoming School Failure: Policies that Work. Organisation for Economic Co-operation and Development. https://www.oecd.org/education/school/45171670.pdf

Pranoto, S. W. (2017). Ki Hajar Dewantara, Pemikiran dan Perjuangannya. Museum Kebangkitan Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Raharjo, S. B. (2013). Evaluasi Trend Kualitas Pendidikan di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 16(2), 511--532. https://doi.org/10.21831/pep.v16i2.1129

Rasheed, R. A., Kamsin, A., & Abdullah, N. A. (2020). Challenges in the Online Component of Blended Learning: A Systematic Review. Computers & Education, 144, 103701. https://doi.org/10.1016/j.compedu.2019.103701

Rohaeni, N. E., & Saryono, O. (2018). Implementasi Kebijakan Program Indonesia Pintar (PIP) Melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) dalam Upaya Pemerataan Pendidikan. Indonesian Journal of Education Management and Administration Review, 2, 193--204.

Santosa, A. B. (2020). Potret Pendidikan di Tahun Pandemi: Dampak COVID-19 Terhadap Disparitas Pendidikan di Indonesia. CSIS Commentaries, 1--5.

Siska, F., & Rudagi, R. (2021). Analisis Ketimpangan Pendidikan pada Masa Covid-19 di Nagari Sisawah Kabupaten Sijunjung. AL MA'ARIEF: Jurnal Pendidikan Sosial dan Budaya, 3(1), 1--11. https://doi.org/10.35905/almaarief.v3i1.2032

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun