Banyak pengamat yang cenderung setuju bahwa kesetaraan (equality) membutuhkan kesamaan, sedangkan pemerataan (equity) mengharuskan perlakuan yang sesuai dan memadai untuk kebutuhan mereka yang bersangkutan (Gordon, 1999).Â
Prinsip tersebut terbukti sukses besar di negara-negara seperti Finlandia, Korea Selatan, dan Singapura. Sebuah studi perbandingan menunjukkan bahwa mereka mendanai lembaga pendidikan secara proporsional dan berkeadilan, sehingga semua pelajar memulai proses pembelajaran dari garis start yang sama (Gause, 2011).Â
Hal ini didukung oleh bukti empiris lainnya bahwa anak-anak dari keluarga termiskin cenderung memiliki hasil sekolah yang lebih buruk---bahkan kerap putus sekolah---daripada mereka yang berasal dari keluarga kaya (OECD, 2010).Â
Penelitian tersebut juga menemukan bahwa sistem pendidikan yang proporsional, dalam artian merengkuh prinsip pemerataan sebagai keadilan, mencetak pelajar yang relatif setara perkara hasil belajar.
Kendati demikian, berkenaan mengejar hasil yang adil dan merata, bangsa kita tampaknya lebih menjurus pada perlakuan yang sama sebagai kriterianya (Rohaeni & Saryono, 2018).Â
Bahkan sejauh ini, signifikansi perbaikan yang dilakukan kerap sebatas aspek teknokratik dan administratif, sementara dimensi substansial (misalnya, praktik pedadogi dan pola belajar di lapangan) masih belum banyak disentuh---atau setidaknya belum berubah.Â
Kita boleh melihat realitas tersebut sebagai keniscayaan dari tindakan trade-off, tetapi bukan berarti sikap pesimisme dapat dilontarkan begitu saja tanpa menilainya secara komprehensif serta objektif.
Sumber daya material jelas diperlukan, tetapi bahkan pada tahap awal ini, kita menyadari bahwa itu tidaklah cukup. Penyisipan pembelajaran jarak jauh darurat yang didukung oleh penyediaan akses digital nyatanya tidak menjamin kelancaran pembelajaran secara langsung.Â
Prospek kefasihan digital, baik untuk pengajar maupun pelajar, tanpa kecukupan pengalaman penggunaan kiranya merupakan penghalang tambahan dalam ihwal pemerataan.Â
Bahkan mengejutkannya, sebuah penelitian yang memeriksa 594 studi perihal pembelajaran campuran (blended learning) mengungkapkan bahwa mayoritas studi yang ada lebih terfokus pada tantangan pelajar dalam beradaptasi dengan sistem daring, padahal secara keseluruhan, justru pengajarlah yang lebih besar terdampak (Rasheed dkk., 2020).Â
Hasil ini memicu sebuah benang merah yang cukup provokatif, bahwa perhatian kita dalam menghadapi revolusi digital dan pemerataan terhadapnya masih tendensius kepada salah satu pihak, di samping permasalahan seputar digital juga dialami pihak lainnya.