Memang perlu diakui, implementasi digitalisasi dalam ranah pendidikan mulanya malah menimbulkan simtom tertentu yang menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi, kelemahan ikatan sosial, dan penyusutan kohesi budaya.Â
Adapun kebalikannya juga benar: kesenjangan sosial-ekonomi semakin menyulitkan digitalisasi pendidikan dan malah rentan menjadi bumerang bagi dimensi lainnya, seperti konflik antar kelas.Â
Tetapi dalam jangka panjang, apalagi bila mempertimbangkan tren peradaban, pendidikan berbasis teknologi akan memberdayakan pengajar dan pelajar untuk bereksperimen dengan metodologi dan paradigma baru yang pada gilirannya membuat proses pembelajaran lebih demokratis.Â
Dengan begitu, keseimbangan dinamis antara pengenalan ide-ide dan inovasi baru serta kemampuan sistem sosial untuk mengatasinya amatlah diperlukan sebagai cara menghadapi dampak kesenjangan sosial-ekonomi terhadap digitalisasi (Anthony & Padmanabhan, 2010).Â
Keseimbangan tersebut tentunya bukanlah hasil dari revolusi mendadak, tetapi lebih merupakan proses metamorfosis yang berjalan dari satu tahapan ke tahapan berikutnya.
Metamorfosis yang dimaksud mengejawantahkan proses pembentukan iklim pendidikan secara manusiawi dan bertahap, yang sejalan dengan kebutuhan zaman.Â
Pendekatan ini mengandaikan adanya proses pemecahan masalah yang demokratis: bukan berarti mengambil keputusan dengan sistem voting, tetapi turut melibatkan seluruh aktor dalam kodifikasi realitas total menjadi simbol-simbol yang dapat menggugah kesadaran kritis serta mendorong mereka untuk mengubah hubungan satu sama lain ke arah yang lebih menghangatkan.Â
Melalui proses dialog yang akurat inilah, aktivitas reflektif dapat menjauhkan kita dari segala macam bentuk narsisme dan psikologisme yang berlebihan. Dengan begitu, manusia tidak menjadi objek belaka, melainkan sebagai subjek dari sejarahnya sendiri (Freire, 2000, Bab 2).
Bingkai demikianlah yang Penulis istilahkan dengan "demokratisasi pendidikan". Istilah ini merujuk pada operasi kebijakan yang merangkul nilai keragaman dan inklusivitas.Â
Dengan kata lain, demokratisasi pendidikan berarti mempersiapkan transformasi yang kritis melalui pemerataan sekaligus kontra-normatif, sebab demokrasi itu sendiri menghendaki adanya penghormatan terhadap hak-hak esensial dan otonomi keputusan (Dahl & Shapiro, 2015, Bab 5).Â
Jika kita sangat percaya bahwa lembaga pendidikan adalah lingkungan mikro demokrasi masyarakat kita, bahwa di dalamnya kita akan terus membangun demokrasi yang lebih besar, kita perlu bergerak ke wilayah pinggiran sebagai imbas dari tidak bekerjanya trickle-down effect.[2]
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!