Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Langit Berhantu

16 Desember 2021   19:00 Diperbarui: 16 Desember 2021   19:03 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Langit itu dipenuhi oleh hantu | Ilustrasi oleh Broesis via Pixabay

Terkadang aku bingung: mengapa hanya sedikit orang yang menikmati keindahan pantai di malam hari? Langit gelapnya yang berkilauan, desiran ombak yang tenang, jalanan berpasir yang lembut, kicauan burung yang gaduh; aku pikir itulah yang disebut kesempurnaan.

Tetapi mungkin saja aku tidak akan pernah berpikir demikian jika pria ringkih ini tidak mengajakku ke sini setiap Minggu malam. Dia adalah seseorang yang pada akhirnya, dengan penuh ketulusan, aku panggil Abi.

"Apakah Abi percaya dengan hantu?" tanyaku padanya yang sedari tadi penuh tatapan kosong.

"Ya, aku percaya," jawabnya sembari mengangkat pandangannya ke langit dengan penuh tatapan biru.

Aku benar-benar heran dengan jawaban itu, jadi kupikirkan sejenak sebelum kembali bertanya. Entah mengapa tanganku tiba-tiba menggenggam tangan kirinya, dan dia seperti tidak peduli dengan hanya melanjutkan langkahnya yang menyapu beberapa gundukan pasir.

"Aku kira Abi tidak percaya dengan hal-hal semacam itu."

"Apa? Bukan, bukan," sergahnya seraya tertawa dan menatapku. "Hantu yang kumaksud bukanlah hantu yang banyak dibicarakan orang. Lihatlah apa yang ada di atasmu, Hanna! Langit dipenuhi dengan hantu."

Dia jelas membuatku semakin bingung, dan tampaknya dia pun tahu itu. "Mari kita duduk sejenak," ajaknya.

Lantas kami duduk di hamparan pasir yang dingin, sesekali merasakan percikan ombak yang membawa beberapa kerang kecil yang malang. Dia melanjutkan, "Pilih satu bintang yang kausukai."

Dengan spontan, aku menunjuk satu titik cahaya mungil di sebelah timur. Bintang itu seperti kesepian karena rentang jaraknya dari bintang-bintang lain yang begitu jauh. Tetapi menariknya, bintang itu tampak tidak berkedip seolah cukup tangguh untuk menahan tangisnya.

"Nah, bagaimana kau bisa yakin bahwa bintang yang kaupilih bukanlah hantu?" tanyanya.

Tentu aku sama sekali tidak tahu perihal itu. Apa yang kupikirkan dengan kata "hantu" pastilah sangat berbeda dengan apa yang dipikirkannya. "Bagaimana cara mengetahuinya?" tanyaku spontan.

"Langit itu penuh dengan hantu, Hanna. Meskipun kemungkinannya kecil, bintang-bintang yang kita lihat sinarnya di Bumi mungkin hanyalah bintang yang sudah mati, entah ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan tahun yang lalu."

"Itu aneh," heranku. "Jadi mengapa kita masih melihat mereka sekarang?"

"Satu titik cahaya mungil yang kita lihat di langit malam mungkin ukuran sebenarnya jauh melebihi matahari kita. Tetapi karena jaraknya yang begitu jauh dari Bumi, penampakan mereka begitu kecil di mata kita.

Jika ada bintang yang jaraknya bermiliar-miliar tahun cahaya dari Bumi, kemudian kita melihatnya di langit malam, mungkin saja bintang itu sudah meledak dalam keindahannya sendiri. Apa yang kita lihat hanyalah bekas cahayanya yang masih terbang bebas di angkasa sana.

Tapi cukup disayangkan juga karena mungkin kita harus melihatnya dengan teleskop: cahayanya begitu redup bila dilihat dengan mata telanjang. Tetapi orang sepertiku pasti akan rela melakukan itu demi menikmati keindahan teater jagat raya dari masa lampau."

"Mohon lanjutkan," kataku sambil merangkul kedua kakiku sendiri. "Aku terlalu gemetar untuk berkata-kata."

Dia tertawa kecil dan melanjutkan, "Sebenarnya bukan hanya bintang, tetapi juga asteroid, komet, hingga planet: mereka seperti hidup, tetapi tidak punya ruh seperti kita. Dalam definisi kita, mereka juga hantu. Kalaupun itu tidak benar, bagiku itu pemikiran yang mengagumkan.

Tetapi sejauh ini, hanya bintanglah yang banyak kita amati dengan mata telanjang. Dengan melihat bintang, berarti kita sedang menatap masa lalu, Hanna. Selama ini kita tidak perlu mesin waktu untuk melihat ke masa lalu! Itu pemikiran yang indah, sekaligus mengerikan."

"Mengapa mengerikan?" tanyaku.

"Karena itu berarti kita hanyalah setitik debu yang melayang-layang di luasnya bentang alam semesta. Kita dilahirkan ke dalam suatu misteri akbar di bawah selimut bintang-bintang. Kita bukan hanya kecil, tapi juga rapuh dan fana."

Sejenak aku membisu dan ketakutan. Aku kembali bertanya untuk mengurangi rasa tegangku, "Maaf bertanya soal ini, tapi untuk apa semua ini diciptakan, Abi? Tidakkah semuanya begitu berlebihan?

Jika ada titik ruang yang tidak bisa diamati oleh manusia, lalu siapa yang akan menikmati keindahannya?"

Dia tidak menjawab dan hanya melamun dalam kekosongan laut yang memesona. Meskipun dialah orang yang mengadopsiku sejak aku berumur 9 tahun, kadang-kadang aku masih merasa kasihan betapa hidupnya dipenuhi rasa sepi.

"Mungkin di sana ada makhluk yang melebihi peradaban kita dan karenanya bisa menikmati semua keindahan yang tidak terjangkau oleh kita, atau semua itu memang diciptakan supaya manusia terus mengembangkan kemampuannya dalam menjelajah keluasan kosmos.

Manusia ditakdirkan untuk mempertanyakan dirinya sendiri, semestanya, dan penciptanya. Sungguh mengagumkan betapa jagat raya memberikan banyak pertanyaan untuk kita seolah manusia sedang ditantang untuk mengenali semestanya sendiri."

"Mengapa kita harus melakukannya?" tanyaku. "Tidakkah semua itu begitu melelahkan dan mungkin tidak berguna?"

"Kita berhadapan dengan pencarian yang tak terbatas. Kita dilemparkan ke dalam sebuah lorong gelap yang entah di mana ujungnya dan terus dicekik oleh keragu-raguan atas usaha kita sendiri.

Tetapi, kosmos adalah kita, dan kita adalah kosmos. Mempertanyakan misteri alam semesta sama halnya dengan mempertanyakan diri kita sendiri," tukasnya.

"Berarti kita adalah kepingan kecil yang juga misterius dari teka-teki akbar jagat raya?" tanyaku sedikit gemetar.

"Kau sangat cepat belajar, Anakku," singkatnya.

Mataku tiba-tiba terbelalak dan ragaku hampir terlempar dari tempat duduk ketika mendengar kata terakhir itu. Dia memang bukan ayah kandungku. Kedua orangtuaku sudah lama meninggalkanku semenjak aku berumur 4 tahun.

Kendatipun darah-dagingnya tidak mengalir dalam diriku, aku tidak pernah ragu untuk menganggapnya sebagai "ayah keduaku", dan begitu pun dia yang selalu menganggapku sebagai anaknya, meskipun sesungguhnya dia belum pernah menikah.

Beberapa hari belakangan, kuperhatikan dia lebih sering murung dan begitu lesu dalam menjalani kesehariannya. Aku ingin tahu apa  yang menjadi masalahnya, tetapi amatlah berat untuk meminta orang dewasa bercerita kepada seorang anak gadis berumur 16 tahun.

Tetapi kiranya aku tahu harus mulai dari mana.

"Abi tahu, sebenarnya aku punya banyak kata untuk diceritakan, tetapi aku hanya akan melakukannya bila Abi pun banyak bercerita padaku. Aku ingin bersikap adil, sekalipun itu hanya perihal kata-kata."

"Ah, kau tampak seperti menggodaku, Putri Kecil," sahutnya dengan penuh tawa yang menggembirakan. Aku tahu bahwa dia akan dengan mudah memahami maksudku, tetapi semoga dia tetap berkenan menurutiku.

"Ada satu hal yang mungkin belum kau ketahui tentangku."

"Aku tidak sabar untuk mendengarkan," tukasku.

"Putri Kecilku, dulu aku mengenal seorang perempuan yang tanpa celah. Bagiku, dia bukan hanya sempurna, tapi sama berkilaunya sebagaimana rembulan yang menerangiku di kala gelap.

Sama pula seperti bintang-bintang: dia membimbingku dalam labirin kehidupan yang membingungkan, dan dialah penuntunku ketika segalanya mengarahkanku pada kekeliruan. 

Dia seperti sekuntum mawar yang berduri: membuatku berdarah sekaligus membuatku jatuh cinta.

Aku ingin meledak bak dinamit akibat rasa cintaku yang menggebu-gebu terhadapnya. Bukan karena aku tengah mabuk kebahagiaan, tetapi karena aku tidak bisa memilikinya. Ketika kami berpisah selama berbulan-bulan, aku datang ke rumahnya hendak melamar.

Hanya saja yang kutemukan adalah, dia bukan milikku lagi. Sungguh lucu tentang bagaimana takdir mempermainkanku. Aku masih ingat tentang rasa betapa jengkelnya diriku dan betapa aku membenci seluruh kisah dunia ini."

Aku melihat kedua matanya melemah dan perlahan-lahan mulai basah. Aku sama sekali tidak takut untuk melihat mata itu. Justru karena permukaannya tergenang air mata, aku melihat pantulan sinar bintang di kedalaman mata indahnya.

Pria ini memang malang, pikirku, tapi toh dia pun begitu gagah-berani menatap kehidupannya yang menyedihkan dan berhasil menemukan dirinya sendiri yang sejati. Tidak semua orang di dunia ini bisa melakukannya. Suatu hari, aku ingin sekuat itu.

"Putri Kecilku," katanya, "dulu aku berpikir bahwa lebih baik mencintai dan disakiti daripada tidak memiliki cinta sama sekali. Kini aku tahu bahwa aku tidak setangguh itu, sebab aku hampir mati dalam genangan air mataku sendiri setiap malam.

Ketika akhirnya kutemukan dirimu di sore itu, segera kulimpahkan seluruh cintaku padamu, dan aku selamanya merasa lega. Jika datang waktunya aku harus pergi meninggalkanmu, aku tidak akan cemas karena aku tahu kau sudah tumbuh begitu cepat.

Bisa kurasakan bahwa beberapa detik menjelang kematianku, aku akan melihat ke belakang betapa hari-hariku begitu indah atas kehadiranmu dalam hidupku.

Aku memang bukan pria yang bisa merasakan kebahagiaan setiap detiknya, tetapi berkat kehadiranmu, aku seperti dianugerahkan semacam sihir untuk bisa menikmati keindahan dalam hampir segala hal yang kulihat.

Jadi lihatlah baik-baik sekitarmu, Hanna. Segala sesuatu yang indah sering kali amatlah kecil sehingga kau harus menggosokkan matamu beberapa kali. Jangan pernah abaikan semestamu. Melalui kosmos, manusia mengenal dirinya sendiri. Melalui manusia, kosmos pun mengenal dirinya sendiri."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun