"Nah, bagaimana kau bisa yakin bahwa bintang yang kaupilih bukanlah hantu?" tanyanya.
Tentu aku sama sekali tidak tahu perihal itu. Apa yang kupikirkan dengan kata "hantu" pastilah sangat berbeda dengan apa yang dipikirkannya. "Bagaimana cara mengetahuinya?" tanyaku spontan.
"Langit itu penuh dengan hantu, Hanna. Meskipun kemungkinannya kecil, bintang-bintang yang kita lihat sinarnya di Bumi mungkin hanyalah bintang yang sudah mati, entah ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan tahun yang lalu."
"Itu aneh," heranku. "Jadi mengapa kita masih melihat mereka sekarang?"
"Satu titik cahaya mungil yang kita lihat di langit malam mungkin ukuran sebenarnya jauh melebihi matahari kita. Tetapi karena jaraknya yang begitu jauh dari Bumi, penampakan mereka begitu kecil di mata kita.
Jika ada bintang yang jaraknya bermiliar-miliar tahun cahaya dari Bumi, kemudian kita melihatnya di langit malam, mungkin saja bintang itu sudah meledak dalam keindahannya sendiri. Apa yang kita lihat hanyalah bekas cahayanya yang masih terbang bebas di angkasa sana.
Tapi cukup disayangkan juga karena mungkin kita harus melihatnya dengan teleskop: cahayanya begitu redup bila dilihat dengan mata telanjang. Tetapi orang sepertiku pasti akan rela melakukan itu demi menikmati keindahan teater jagat raya dari masa lampau."
"Mohon lanjutkan," kataku sambil merangkul kedua kakiku sendiri. "Aku terlalu gemetar untuk berkata-kata."
Dia tertawa kecil dan melanjutkan, "Sebenarnya bukan hanya bintang, tetapi juga asteroid, komet, hingga planet: mereka seperti hidup, tetapi tidak punya ruh seperti kita. Dalam definisi kita, mereka juga hantu. Kalaupun itu tidak benar, bagiku itu pemikiran yang mengagumkan.
Tetapi sejauh ini, hanya bintanglah yang banyak kita amati dengan mata telanjang. Dengan melihat bintang, berarti kita sedang menatap masa lalu, Hanna. Selama ini kita tidak perlu mesin waktu untuk melihat ke masa lalu! Itu pemikiran yang indah, sekaligus mengerikan."
"Mengapa mengerikan?" tanyaku.