Mataku tiba-tiba terbelalak dan ragaku hampir terlempar dari tempat duduk ketika mendengar kata terakhir itu. Dia memang bukan ayah kandungku. Kedua orangtuaku sudah lama meninggalkanku semenjak aku berumur 4 tahun.
Kendatipun darah-dagingnya tidak mengalir dalam diriku, aku tidak pernah ragu untuk menganggapnya sebagai "ayah keduaku", dan begitu pun dia yang selalu menganggapku sebagai anaknya, meskipun sesungguhnya dia belum pernah menikah.
Beberapa hari belakangan, kuperhatikan dia lebih sering murung dan begitu lesu dalam menjalani kesehariannya. Aku ingin tahu apa  yang menjadi masalahnya, tetapi amatlah berat untuk meminta orang dewasa bercerita kepada seorang anak gadis berumur 16 tahun.
Tetapi kiranya aku tahu harus mulai dari mana.
"Abi tahu, sebenarnya aku punya banyak kata untuk diceritakan, tetapi aku hanya akan melakukannya bila Abi pun banyak bercerita padaku. Aku ingin bersikap adil, sekalipun itu hanya perihal kata-kata."
"Ah, kau tampak seperti menggodaku, Putri Kecil," sahutnya dengan penuh tawa yang menggembirakan. Aku tahu bahwa dia akan dengan mudah memahami maksudku, tetapi semoga dia tetap berkenan menurutiku.
"Ada satu hal yang mungkin belum kau ketahui tentangku."
"Aku tidak sabar untuk mendengarkan," tukasku.
"Putri Kecilku, dulu aku mengenal seorang perempuan yang tanpa celah. Bagiku, dia bukan hanya sempurna, tapi sama berkilaunya sebagaimana rembulan yang menerangiku di kala gelap.
Sama pula seperti bintang-bintang: dia membimbingku dalam labirin kehidupan yang membingungkan, dan dialah penuntunku ketika segalanya mengarahkanku pada kekeliruan.Â
Dia seperti sekuntum mawar yang berduri: membuatku berdarah sekaligus membuatku jatuh cinta.