Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebebasan (Mutlak) Hanyalah Kehampaan

21 September 2021   07:40 Diperbarui: 21 September 2021   07:44 2007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita cinta kebebasan. Demokrasi adalah tentang kebebasan. Tidak seorang pun dari kita ingin hidup terkungkung seperti wayang yang dikendalikan oleh seorang dalang. Tetapi apakah kebebasan (mutlak) itu benar-benar bekerja pada pemaknaan hidup kita?

Sekitar 3 bulan yang lalu, saya merasa sampai di ujung jalan hingga dipertemukan dengan beban-beban yang demikian banyak dan itu mendorong saya untuk secara tegas menolaknya. Saya pikir, kebebasan tanpa gangguan adalah hal yang saya butuhkan seumur hidup.

Hari demi hari berjalan, saya punya setumpuk agenda yang mengasyikkan untuk mengisi waktu senggang saya. Pada mulanya tidak masalah, namun rasa jenuh perlahan mencekik penuh kesengsaraan hingga akhirnya saya mengajukan pemberontakan.

Saya kira kebebasan itu memberi saya ruang lebih untuk berkembang dan berinovasi. Kenyataannya tidak begitu. Saya hanya bertatapan dengan jalan tol yang tanpa akhir, dan saya masih tidak tahu apa yang bisa saya lakukan terhadapnya.

Pada dasarnya, saya mandek dan nyaris "mati" dalam arti lain.

"Manusia dikutuk untuk bebas," kata Sartre. Tetapi jika kebebasan tersebut Anda tafsirkan sebagai ketiadaan rintangan atau hambatan, mungkin Anda akan berakhir seperti saya dalam kehampaan yang menyesakkan, bahkan terkadang amat menjengkelkan.

Ketakterbatasan itu mengerikan. Barangkali kita mengira bahwa nihil-rintangan itu adalah kesenangan, tetapi bagaimana kita dapat menemukan mutiara-mutiara berkilauan di seluruh samudra jika padanya para kerang tidak punya dasar untuk hidup?

Bayangkan bahwa Anda dan saya pergi bermain badminton bersama tanpa adanya net yang menjadi rintangan. Bahkan kita sepakat untuk menghilangkan garis-garis batasan dan mengusir wasit agar pertandingan menjadi sebebas mungkin.

Kemudian kita memulai permainan, dan kita tidak perlu berharap bahwa di sana ada kemenangan yang kita perebutkan. Tanpa peraturan, menang atau kalah adalah tiada.

Kita bisa saja bermain secara demikian, tetapi apa yang membuat kita berpikir bahwa hidup akan sama menyenangkannya jika bebas mutlak seperti itu? Kita ingin menang, tetapi kita begitu enggan untuk masuk ke medan pertempuran.

Apa yang kemudian saya sadari adalah, kebahagiaan sejati tidak bisa saya temukan dalam ketakterbatasan. Kebebasan yang pada mulanya saya kira sebagai bentuk ideal dari hidup bahagia, ternyata hanyalah kekosongan makna yang pada wujudnya tampak berkilau.

Hidup yang tanpa hambatan, risiko, rintangan, masalah, termasuk beban adalah persepsi yang datang pada kita sebagai malaikat pelarut dahaga, tetapi sebenarnya kita sedang dijebak dalam kengerian padang Sahara yang hakikatnya selalu membuat kita kehausan.

Tentu saya tidak bermaksud untuk berkata bahwa kebebasan itu mengerikan dan tidak sepatutnya kita memuja kebebasan. Inti dari apa yang saya uraikan sejauh ini adalah kebebasan mutlak yang kita pikir membahagiakan, nyatanya tidaklah demikian.

Kita harus memandang kebebasan sebagai kemerdekaan dalam memilih dan bertindak sesuai keinginan, dan bukannya kebebasan untuk tidak menanggung beban sedikit pun atau tidak ingin berkomitmen terhadap apa pun.

Hidup yang bermakna tidak datang dari kebebasan mutlak, melainkan dari komitmen yang kita perjuangkan sepanjang waktu dan menjadikannya sebagai panggilan hidup kita. Dengan kata lain, kita butuh hambatan, rintangan, masalah, risiko, serta beban untuk kebermaknaan.

Kita butuh ngarai yang dalam untuk mengajari kita tentang cara melompat memetik bintang-bintang di suatu malam yang jernih. Kita butuh batu karang yang tajam untuk menyimpan mutiara kita di dalam kerang yang berhimpit di antaranya.

Kita butuh lumpur yang menjijikkan untuk mengajari kita tentang cara berenang dalam kepekatan tanpa harus melihat apa yang menunggu di depan kita dan memberontak dalam ketidakpastian yang begitu absurd sepanjang waktu.

Hidup tanpa komitmen hanyalah kelesuan yang kita undang dengan sukarela, dan apa yang kita sebut kebebasan mutlak adalah pintu terbuka yang mengizinkan segala hal tentang dunia ini datang menerpa kita.

Justru dengan pembatasan secara tepat, kita hanya mengizinkan masalah tertentu untuk menimpa kita dan mengabaikan hal-hal di luar komitmen kita yang pada dasarnya tidak berarti apa-apa.

Orang akan lebih termotivasi jika dia merasa membutuhkan. Dan untuk menjadi demikian, dia harus menggantungkan dirinya pada sesuatu di luar dirinya sampai saling-ketergantungan dapat terbentuk secara harmonis.

Cintai kebebasan, tetapi jangan menjadi apatis yang secara tegas menolak rintangan atau risiko, sebab nilai kita menjadi manusia tidak diukur dari seberapa banyaknya kita berhasil, justru dari seberapa banyaknya kita gagal dan tetap mampu untuk berjalan kembali.

Kita mesti belajar untuk hidup berdampingan dengan kontradiksi, karena segala sesuatu di dunia ini bisa saja hitam dan putih secara bersamaan, pun kita harus tahu bahwa hitam berarti putih serta demikian pula sebaliknya pada momen atau konteks tertentu.

Kehidupan memang demikian adanya, tetapi bukan berarti hidup selalu tentang kekacauan. Justru itulah keharmonisan kehidupan. Jika Anda merasa itu janggal, saya khawatir Anda tidak pernah memeriksa bagaimana selama ini Anda bertahan dalam "kekacauan" itu.

Menancapkan pagar pada batas tertentu bukanlah cara untuk mengekang kebebasan kita sebagai manusia. Justru yang demikian adalah cara kita untuk meningkatkan kepedulian terhadap anugerah kebebasan kita sebagai manusia.

Anda berkomitmen hingga batas tertentu pada suatu hal, kemudian Anda menyelesaikannya dengan "sempurna" selama beberapa waktu, tapi toh ujung-ujungnya Anda tetaplah bebas untuk menetapkan komitmen Anda terhadap sesuatu yang berbeda dari sebelumnya.

Hidup kita selalu dipenuhi langkah-langkah kecil daripada lompatan besar yang sering membuat kita tergelincir. Menetapkan batasan medan pertempuran bukan berarti menyangkal kebebasan, melainkan menghargai kebebasan dengan cara yang lebih efektif.

Ada banyak hal di dunia ini yang bisa kita pedulikan, mulai dari iklim, pendidikan, perpolitikan, dan sebagainya. Tapi kita bukanlah Tuhan yang bisa mengendalikan segalanya.

Anugerah kebebasan mesti kita pandang sebagai kemerdekaan untuk memilih nilai-nilai kita dan berkomitmen terhadapnya sampai kita benar-benar selesai terhadapnya. Kita adalah pilihan kita.

Saya berkomitmen untuk filsafat sejak dua tahun yang lalu dan bukan berarti saya menutup diri dari ilmu pengetahuan lain, khususnya ranah eksakta.

Jika saya sudah mendapatkan apa yang menjadi garis besar dan kedalaman dari filsafat, entah seberapa lama itu, saya akan memperluas "pagar" saya pada yang lain. Begitulah kehidupan. Ini adalah tentang menggeser batasan secara perlahan, tetapi begitu bermakna.

Bayangkan bahwa hidup ini menuntut kita untuk mencentang daftar pencapaian. Dan saya pikir, lebih baik mencentang satu hal dengan sempurna daripada mencentang banyak hal dalam taraf biasa saja.

Setiap individu adalah satu keping puzzle dari kesempurnaan alam semesta. Dia tidak bisa menempati posisi lain sebelum dirinya sendiri sudah melaksanakan bagiannya. Jika sudah, dia bisa menjadi kepingan lain dengan cara yang sama sepanjang waktu.

Kita mesti menetapkan rintangan kita sendiri. Lantas bagaimana agar rintangan itu tidak menghancurkan kita pada akhirnya? Dalam kata-kata Nietzsche, "Become who you are. Do what only you can do. Be the master and the sculptor of yourself."

Ingat bahwa kita punya kebebasan untuk bereaksi ataupun bertindak terlepas dari keadaan apa pun yang menekan kita. Jika rintangan itu kemudian malah menghambat kita untuk berkembang, maka ada yang keliru dalam cara kita menanggapi realitas.

Itu tidak apa-apa. Hidup memanglah petualangan yang mengayun-ayunkan kita dalam keberhasilan dan kegagalan; cinta dan kebencian; kebahagiaan dan penderitaan. Sejauh kita mampu bereksperimen, sejauh itu pula kita menemukan makna kehidupan.

Syaratnya adalah kita mesti tahu apa yang kita sukai dan apa yang kita benci; sampai mana batasan kita dan sejauh mana potensi kita; seberapa berbahayanya sesuatu dan seberapa menguntungkannya sesuatu.

Kita tidak bisa benar-benar tahu apa yang baik untuk kita kecuali kita menguji kebalikan dari apa yang kita lakukan sekarang ini dalam kehidupan, dan itu bukan berarti kita mesti menjadi jahat jika selama ini kita baik.

Apa yang saya maksud adalah kita hanya bisa tahu bahwa keberanian itu baik untuk kita andaikata kita sudah merasakan betapa ruginya menjadi penakut. Kita hanya bisa tahu makna kebijaksanaan seandainya kita sudah merasakan betapa gilanya menjadi ceroboh.

Jadi tidak apa-apa untuk terjatuh ke dalam lumpur. Dengan begitu kita tahu bahwa pantai itu mengasyikkan dan menghangatkan.

Pada akhirnya, kebebasan yang kita puja selama ini hanyalah kehampaan jika kita tidak benar-benar memahami kedudukannya dalam kehidupan kita.

Seperti yang pernah dikatakan oleh Gandhi, "Kebebasan tidaklah berharga jika tidak termasuk kebebasan untuk membuat kesalahan." Kita butuh aturan untuk menang. Kita butuh arena pertempuran untuk berjuang. Kita butuh hambatan untuk dikagumi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun