Sekumpulan sahabat melirik ke belakang untuk mengajak salah seorang dari mereka yang duduk menangis. Dia adalah pria yang menyedihkan hingga siapa pun yang melihatnya merasa simpati dan pilu.
"Pergilah tanpaku," kata pria itu dengan penuh tenaga.
"Mengapa?" sahut sahabatnya.
"Ini mengasyikkan! Tidakkah kalian mengerti bahwa aku sedang menikmati setiap tetesan air mataku? Kasihan malaikat, mereka tidak punya air mata untuk menangis. Kalian melihatku seperti pria menyedihkan yang tengah mandi oleh air matanya sendiri.
"Tetapi biarlah demikian jika kalian menyebutnya begitu. Air mataku akan membersihkan jalanku dari debu yang menyesakkan dan menjernihkan mataku untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi padaku."
Ada satu kecenderungan yang sama dari orang-orang sukses ketika mereka diwawancarai tentang perjalanan kesuksesan mereka. Saya menguji ini secara langsung kepada beberapa orang yang saya kenal, pun kisah serupa yang saya tonton di internet.
Ketika mereka ditanya "apa yang paling mengesankan dalam perjalanan karier Anda?", jawaban mereka cenderung mengarah pada satu hal yang serupa, yaitu kepahitan mereka selama proses mencapai kesuksesan tersebut.
Saya tidak akan mengatakan, "Selalu ada kegagalan di balik kesuksesan." Tidak, semua orang sudah mengatakan itu dan betapa bosannya kita dengan ungkapan demikian. Tapi yang ingin saya soroti adalah, mengapa kesengsaraan itu yang mereka ceritakan?
Ada apa dengan penderitaan? Ada apa dengan "kubangan busuk" itu yang justru terasa menyegarkan bagi mereka yang berhasil melewatinya?
Banyak orang yang membenci angin. Tapi bagi mereka yang hendak bermain layang-layang, angin adalah kekasih mereka. Jika Anda punya sesuatu untuk diterbangkan, angin akan selalu terasa mengasyikkan bagi Anda.