Barangkali pertanyaan terkonyol yang pernah saya ajukan kepada orang lain adalah, "Apa yang tidak Anda ketahui tentang ...?" Baru-baru ini saya mendapat kritikan dari seorang "senior" bahwa saya tidak pandai bertanya dan mesti malu pada diri sendiri.
Saya pikir tidak; saya tidak begitu bodoh dalam bertanya. Justru saya mempertanyakan kritik itu dengan bukti bahwa dia tidak pandai menjawab pertanyaan saya dan seharusnya dia merasa malu pada dirinya sendiri.
Ada alasan mendasar mengapa kita begitu takut untuk mengakui ketidaktahuan kita. Secara umum, kita takut dianggap bodoh terutama jika pertanyaan yang kita terima berkaitan dengan status sosial atau identitas kita.
Seorang astronom mungkin akan sangat malu jika dia tidak bisa menjawab pertanyaan seseorang tentang bintang yang tidak diketahuinya, katakanlah bintang Lucy. Alasannya sederhana: dia terikat oleh identitasnya sebagai seorang astronom.
Kasus itu tidak begitu buruk. Tapi bayangkan jika kepura-puraan ini dilakukan oleh seorang dokter atau guru. Yang satu mengancam nyawa pasien, yang lainnya membodohkan muridnya.
Kebanyakan dari kita selalu berpikir bahwa mengakui ketidaktahuan sama dengan mengakui kekalahan. Sepanjang masa kanak-kanak hingga tumbuh remaja, barangkali kita dikelilingi oleh orang-orang yang "jarang tidak tahu" terhadap pertanyaan yang mereka terima.
Itulah mengapa kita tumbuh dengan perilaku yang hampir sama dan pola pikir yang begitu persis. Kita takut ketidaktahuan kita terbongkar sebab kita merasa di titik itulah kelemahan kita bersemayam. Tetapi keyakinan ini benar-benar mengacaukan kita.
Yang sesungguhnya terjadi adalah, kita menjadi benar-benar bodoh seandainya kita membual sesuatu yang sama sekali tidak kita mengerti. Secara paradoksal, mengakui kelemahan diri sendiri berarti mengidentifikasi apa yang menjadi kekuatan kita.
Barangkali karena kita adalah makhluk yang pragmatis, kita cenderung menimbang-nimbang sebelum mengakui ketidaktahuan dan bertanya-tanya, "Apakah pengakuan semacam itu akan menguntungkanku atau sebaliknya?"
Harus saya akui, saya pun berpikir demikian ketika masa-masa SMA. Ketika guru bertanya pada kami, saya selalu berhasrat untuk mengangkat tangan dan menjawabnya dengan penuh keyakinan di samping fakta terbengkalai, bahwa saya tidak benar-benar tahu tentang itu.
Pada awal kelas 12, saya mulai tertarik dengan buku-buku filsafat dan sangat menikmati pemikiran para filosof yang terkadang seperti tidak ingin dipahami (katakanlah Nietzsche). Saya mengagumi upaya mereka dalam menyingkap apa arti dari semua ketidakjelasan ini.
Tetapi kekaguman itu membuka pertanyaan aneh bagi saya: Apa yang membuat mereka bisa mencapai pemahaman sejauh itu? Apa yang membuat mereka istimewa? Padahal kebanyakan filosof adalah mereka yang sering bergelut dengan penderitaan.
Kini saya tahu jawaban universal yang mencakup semua pemikir di dunia: mereka merangkul ketidaktahuan mereka dan mengeksekusinya menjadi pengetahuan.
Orang-orang besar yang telah mencatatkan namanya dalam sejarah, setidaknya sebagian besar, adalah mereka yang membuka diri sendiri pada ketidaktahuan dan menerimanya dengan suka cita. Barangkali itulah yang membedakan mereka dengan kita.
Selama ini, mayoritas dari kita begitu defensif. Mereka mengubur dalam-dalam ketidaktahuan mereka dan menggantinya dengan ilusi yang mereka yakini sebagai kebenaran. Seperti yang bisa kita lihat, merekalah orang-orang yang terikat secara dogmatis.
Ilusi mereka menyebabkan intimidasi intelektual di mana mereka berhenti bertanya karena takut dinilai bodoh. Tapi sebaliknya adalah benar: mereka bodoh karena memutuskan untuk berhenti bertanya.
Kenyataannya, beberapa penelitian yang dilakukan seorang psikolog penerima hadiah Nobel bidang ekonomi, Daniel Kahneman, menunjukkan bahwa terkadang semakin pintar seseorang berpikir, semakin buruk mereka dalam memahami masalah yang kompleks.
Ini karena mereka mengandalkan pengetahuan mereka sebelumnya untuk asumsi yang tidak dipertimbangkan oleh orang "bodoh". Kesimpulannya jelas: mengatakan ketidaktahuan sebenarnya dapat memberi orang perspektif baru yang amat berharga.
Mengakui ketidaktahuan idealnya tidaklah memalukan. Ini adalah tanda kepercayaan diri dan keinginan otentik untuk belajar. Seperti kata Voltaire, "Dia pasti sangat bodoh karena dia menjawab setiap pertanyaan yang dia terima."
Orang yang memberikan tanggapan cepat dan jelas sering dianggap sebagai pemimpin yang kompeten. Namun, bukan berarti kebalikannya adalah salah. Mengakui ketidaktahuan juga merupakan tanda kerendahan hati dan integritas.
"Saya tidak tahu" bukan berarti "saya tidak peduli", terutama jika dilengkapi dengan kalimat, "Tetapi biarkan saya mencarinya serta mendalaminya, dan saya akan menghubungi Anda kembali."
Kita mesti mengubah makna ketidaktahuan kita dari ketidakpedulian menjadi ketertarikan.
Contoh yang sempurna pernah saya terima dari seorang guru saya. Secara kasar, dulu saya anak IPS dan memang tertarik dengan isu humaniora. Tapi belakangan saya tertarik dengan kosmologi dan ingin mempelajarinya di luar buku.
Saya ingat bahwa salah satu guru yang saya kagumi di sekolah, selain mengajar fisika, beliau juga sering membimbing peserta Olimpiade Astronomi. Suatu waktu, saya menemui beliau dan sedikit mengemis bahwa saya ingin belajar astronomi bersamanya.
Jawaban beliau amat mengesankan, "Saya hanya mendalami astronomi versi fisika. Tapi saya pernah mengincar buku Carl Sagan, Cosmos. Kita bertemu seminggu lagi dan lihatlah seberapa jauh saya memahami itu. Kita akan berbagi pengetahuan, saya janji."
Itulah yang saya maksud: ketika seseorang tidak tahu, mereka dibebaskan dari tanggung jawab sampai pada titik yang mereka ketahui. Seseorang yang mengerti akan merasa lega ketika mereka mengakui ketidaktahuannya, karena berarti mereka tidak wajib menjawab.
Ini dapat memberi mereka waktu untuk menemukan jawaban yang tepat dan memberikan tanggapan yang lebih mendalam kepada penanya mereka.
Tidak ada cara terbaik untuk memberatkan beban tanggung jawab kita selain mengatakan "saya tahu" terhadap hal-hal yang sebenarnya tidak kita ketahui.
Saat ini, dunia begitu sibuk dengan hal-hal tak berguna dan omong kosong. Kemampuan untuk sadar akan hal-hal yang tak diketahui menjadi lebih penting daripada masa-masa sebelumnya.
Dalam kata-kata Thomas Sowell, "Dibutuhkan pengetahuan yang cukup hanya untuk menyadari tentang sejauh mana ketidaktahuan Anda sendiri."
Adalah fakta bahwa semua orang bodoh dalam hal tertentu. Lantas pertanyaannya, apakah kita sudi untuk mengakui ketidaktahuan kita? Jika itu berkaitan dengan "siapa kita seharusnya dikenal", pengakuan itu akan menjadi lebih berat untuk diungkapkan.
Tetapi, bagaimana kita dapat mengingat ketidaktahuan kita, yang diperlukan untuk pertumbuhan, jika kita menggunakan pengetahuan kita sepanjang waktu? Kita tidak akan pernah belajar apa pun apabila kita terus menutup diri dengan keyakinan-keyakinan palsu.
Seperti yang pernah dikatakan Martin Luther King Jr., "Tidak ada di dunia ini yang lebih berbahaya daripada ketidaktahuan yang tulus dan kebodohan yang disengaja." Itu karena musuh terbesar dari pengetahuan bukanlah ketidaktahuan, melainkan ilusi pengetahuan.
Ketidaktahuan adalah tempat tinggal yang menjijikkan, tidak nyaman, dan kamar hotel tanpa sinyal internet. Tapi jika kita tidak mengungkapkannya secara jujur, utamanya pada diri sendiri, kita akan selama-lamanya tinggal di sana.
Apa pun yang kita cekal dan tolak justru akan semakin menguasai kita. Dan sesungguhnya, itulah masalah terbesar yang saya khawatirkan tentang diri saya sendiri: jika saya terlalu takut untuk mengungkapkan ketidaktahuan, saya akan tinggal dalam ketidaktahuan itu selamanya.
Terkadang, beberapa hal dianggap terlalu seram untuk dipertanyakan hingga sebagian dari kita mengasumsikan dirinya tahu dan menghindarinya. Contoh: Apakah Tuhan itu ada? Apakah alam semesta itu tak terbatas?
Salah satu kepercayaan kita atas pertanyaan-pertanyaan semacam itu adalah bahwa kita tidak akan pernah bisa mengetahuinya sehingga lebih baik untuk diam dan membungkam pertanyaan itu, maka kita pun selamanya terjebak dalam "keimanan" yang abu-abu.
Saya setuju bahwa beberapa hal yang kita pertanyakan barangkali hanya bisa berupa jawaban spekulasi. Itu karena pikiran dan akal kita terbatas. Tapi, jika kita tidak tahu di mana batas tersebut, kita tidak akan pernah bisa memperluasnya.
Dunia tidak akan menjadi secanggih ini seandainya orang-orang besar di dunia membungkam keingintahuan mereka. Dulu, keberadaan ponsel hampir dipercaya sebagai takhayul manusia. Tapi dengan kekuatan keingintahuan, takhayul itu menjadi suatu keniscayaan.
Bukanlah lebih baik "percaya dan memahami" daripada sekadar percaya belaka? Itulah prinsip yang seyogyanya kita miliki dalam pembelajaran.
Lagi pula, pura-pura bahwa Anda mengerti tentang sesuatu hanya akan menjadikan Anda repetitif dan berhenti berkembang. Anda berputar-putar dalam lingkaran yang tidak pernah berbeda, merasa nyaman dengan status quo dan tidak menghendaki perubahan.
Bagaimana Anda yang seperti itu bisa bertahan dalam realitas yang senantiasa berubah-ubah?
Kekuatan dari pengakuan akan ketidaktahuan adalah efeknya yang mendorong kita untuk bertanya. Pertanyaan yang benar telah mengantarkan kita pada setengah kebenaran. Pertanyaan adalah pembuka gerbang menuju pengetahuan.
Seperti kata Sokrates, "Teruslah bertanya. Jalan menuju kebijaksanaan disusun dari pertanyaan-pertanyaan yang bagus."
Apa yang kemudian saya sadari belakangan ini adalah, saya belajar banyak hal hanya untuk mengerti tentang sejauh mana saya mampu mempertanyakan sesuatu dan sejauh mana batas pengetahuan serta pikiran saya.
Ketika saya mampu mengakui ketidaktahuan saya dengan tulus, oh Anda harus percaya ini: pada momen itu juga saya merasa bangga dan puas terhadap diri sendiri karena saya melakukannya atas dasar kejujuran intelektual, dan tidak semua orang bisa melakukan itu.
Orang-orang di sekitar saya sering bertanya, "Mengapa kamu tidak menulis tentang politik? Bukankah itu identitasmu?" Tentu selaku mahasiswa Ilmu Politik, saya senang membaca buku-buku perpolitikan, utamanya filsafat politik.
Tetapi, saya tidak begitu yakin bisa mengaitkan apa yang telah saya pelajari dengan kondisi perpolitikan di Indonesia. Informasi perpolitikan yang saya terima dari berbagai media terasa meragukan bagi saya, bahwa semua itu mungkin dilebih-lebihkan atau sebaliknya.
Entah karena perpolitikan di Indonesia terlalu abu-abu untuk dipahami atau batas pengetahuan saya terlalu sempit, saya hampir tidak tahu apa perbedaannya. Saya hanya menulis apa yang saya yakini benar dan membantu, serta mengembangkan pemahaman saya.
Kita tidak begitu pandai dalam mengetahui apa yang tidak kita ketahui. Kita memang selalu merasa nyaman dalam kebohongan daripada sedikit bersusah payah dalam kebenaran. Kecenderungan ini pula yang pada akhirnya kita kenali sebagai kegilaan peradaban kita.
Lihatlah dengan sedikit rasa iba: dunia yang telah sekian majunya ini perlahan digerogoti oleh orang-orang yang tidak tahu tetapi merasa tahu dan banyak berbicara, sedangkan mereka yang tahu terlalu bijaksana hingga akhirnya menutup mulut.
Filsuf Inggris, Bertrand Russell pernah berkata, "Seluruh masalah dengan dunia adalah bahwa orang bodoh dan fanatik selalu begitu yakin akan diri mereka sendiri, dan orang yang lebih bijaksana begitu penuh dengan keraguan."
Mungkin yang lebih menakjubkannya lagi adalah dia mengatakan itu jauh sebelum munculnya internet.
Hari ini, utamanya karena kemeriahan media sosial, kita secara teratur dihadapkan pada banyak orang yang percaya bahwa mereka tahu apa yang mereka bicarakan, padahal sebenarnya tidak.
Situasinya menjadi terbalik: orang-orang yang buruk dalam sesuatu percaya bahwa mereka baik dalam hal itu, dan orang-orang yang baik dalam hal itu percaya bahwa mereka buruk dalam hal itu.
Amatir terlalu percaya diri dan ahli kurang percaya diri. Pemula percaya bahwa mereka telah mengetahui semuanya dan para veteran yang lapuk mengerti bahwa tidak ada yang benar-benar diketahui secara pasti.
Persoalan mereka yang "terlalu bijaksana" dapat kita bicarakan secara khusus. Tapi orang-orang ini (mereka yang merasa dirinya tahu padahal sama sekali tidak tahu) adalah masalah serius yang mesti segera ditangani.
Mereka itulah yang menyebabkan berita hoaks banyak bertebaran. Mereka itulah yang membuat kita terjebak dalam disinformasi. Mereka itulah yang memicu perdebatan tak berbobot di kolom-kolom komentar media sosial.
Lebih mirisnya, itu merujuk dengan jelas ke ranah politik. Dan saya pikir, saya tidak perlu memperpanjangnya lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H