Barangkali pertanyaan terkonyol yang pernah saya ajukan kepada orang lain adalah, "Apa yang tidak Anda ketahui tentang ...?" Baru-baru ini saya mendapat kritikan dari seorang "senior" bahwa saya tidak pandai bertanya dan mesti malu pada diri sendiri.
Saya pikir tidak; saya tidak begitu bodoh dalam bertanya. Justru saya mempertanyakan kritik itu dengan bukti bahwa dia tidak pandai menjawab pertanyaan saya dan seharusnya dia merasa malu pada dirinya sendiri.
Ada alasan mendasar mengapa kita begitu takut untuk mengakui ketidaktahuan kita. Secara umum, kita takut dianggap bodoh terutama jika pertanyaan yang kita terima berkaitan dengan status sosial atau identitas kita.
Seorang astronom mungkin akan sangat malu jika dia tidak bisa menjawab pertanyaan seseorang tentang bintang yang tidak diketahuinya, katakanlah bintang Lucy. Alasannya sederhana: dia terikat oleh identitasnya sebagai seorang astronom.
Kasus itu tidak begitu buruk. Tapi bayangkan jika kepura-puraan ini dilakukan oleh seorang dokter atau guru. Yang satu mengancam nyawa pasien, yang lainnya membodohkan muridnya.
Kebanyakan dari kita selalu berpikir bahwa mengakui ketidaktahuan sama dengan mengakui kekalahan. Sepanjang masa kanak-kanak hingga tumbuh remaja, barangkali kita dikelilingi oleh orang-orang yang "jarang tidak tahu" terhadap pertanyaan yang mereka terima.
Itulah mengapa kita tumbuh dengan perilaku yang hampir sama dan pola pikir yang begitu persis. Kita takut ketidaktahuan kita terbongkar sebab kita merasa di titik itulah kelemahan kita bersemayam. Tetapi keyakinan ini benar-benar mengacaukan kita.
Yang sesungguhnya terjadi adalah, kita menjadi benar-benar bodoh seandainya kita membual sesuatu yang sama sekali tidak kita mengerti. Secara paradoksal, mengakui kelemahan diri sendiri berarti mengidentifikasi apa yang menjadi kekuatan kita.
Barangkali karena kita adalah makhluk yang pragmatis, kita cenderung menimbang-nimbang sebelum mengakui ketidaktahuan dan bertanya-tanya, "Apakah pengakuan semacam itu akan menguntungkanku atau sebaliknya?"
Harus saya akui, saya pun berpikir demikian ketika masa-masa SMA. Ketika guru bertanya pada kami, saya selalu berhasrat untuk mengangkat tangan dan menjawabnya dengan penuh keyakinan di samping fakta terbengkalai, bahwa saya tidak benar-benar tahu tentang itu.