Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Masalah dari Berpikir Hitam-putih

5 Agustus 2021   06:06 Diperbarui: 5 Agustus 2021   06:09 2084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menemui beberapa orang dan bertanya, "Tampankah aku?" Jawabannya tidak diragukan lagi, bahwa mereka semua menjawabnya dengan "tampan atau tidak sama sekali". Jelas saya tidak merasa puas dengan satu jawaban pun dari mereka.

Maksud saya, apakah mereka tidak punya pemikiran lain? Mengapa tidak ada sama sekali dari mereka yang berpikir bahwa saya cukup tampan dengan beberapa kejelekan? Atau mengapa juga tidak ada yang mengatakan saya cukup jelek dengan sedikit ketampanan?

Itulah cara berpikir yang bermasalah dan sering dilakukan oleh banyak orang tanpa pernah disadari. Dalam psikologi, istilah resminya disebut "splitting". Ada juga yang menyebutnya "pemikiran dikotomis", atau "pemikiran terpolarisasi", atau "pemikiran dualistik".

Dan bisa Anda tebak, saya lebih suka menyebutnya "berpikir hitam-putih".

Berpikir hitam-putih adalah sebuah pola pikir yang membuat orang berpikir secara absolut. Pemikiran semacam ini akan membagi segala hal di dunia ke dalam dua posisi (kutub) yang berlawanan. Contohnya, saya sukses cemerlang, atau saya gagal total.

Mereka biasanya akan menganggap satu kutub sebagai hal yang benar-benar baik dan menolak kutub lainnya sebagai hal yang benar-benar buruk, kemudian mereka menjadi terpaku pada satu sudut pandang ekstrem dengan mengesampingkan semua perspektif lainnya.

Pemikiran hitam-putih menghasilkan pemahaman yang terlalu disederhanakan tentang segala hal, termasuk diri sendiri. Mereka merasa berkewajiban untuk memutuskan salah satu dari dua pilihan ketika sebenarnya mereka punya banyak pilihan.

Misalnya, seorang teman pernah bertanya kepada saya, "Apakah merokok itu halal atau haram?" Jelas saya tidak menjawabnya dan balik bertanya, "Mengapa kau tidak berpikir bahwa merokok itu mungkin mubah, sunah, atau makruh?"

Mungkin pernah juga di suatu momen, Anda berpikir bahwa Anda selalu benar atau seorang pengecut terbesar di dunia. Ketika Anda melihat pasangan Anda sedang bersama pria lain, Anda berpikir bahwa dia adalah penjelmaan dari iblis.

Padahal Anda sendiri belum memastikan siapa pria itu. Di kesempatan lain, dia memberi kejutan ulang tahun yang amat romantis untuk Anda, lalu Anda berpikir bahwa dia benar-benar perempuan termanis yang pernah ada.

Pemikiran hitam-putih mencegah Anda untuk menyadari berbagai kemungkinan yang tersedia bagi Anda. Pola pikir semacam ini praktis membuat Anda tidak melihat kehidupan sebagaimana adanya: kompleks, tidak pasti, dan terus berubah.

Orang-orang yang terjebak dalam gaya berpikir demikian akan selalu menganggap kehidupan seperti sedang pemilihan umum: mereka merasa dipaksa untuk memberikan suara pada salah satu pilihan di antara dua opsi yang tersedia.

Tidak, kehidupan adalah harmoni dari berbagai kemungkinan yang dirajut pada jalinan takdir dan tidak seorang pun yang benar-benar tahu tentang apa yang terbaik bagi diri mereka sendiri.

Pemikiran hitam-putih tidak memungkinkan Anda untuk menemukan jalan tengah, yang mungkin begitu sulit untuk dipertahankan dalam hidup pada kondisi ekstrem tersebut. Tapi tentu saja, dunia tidak selalu tentang hitam atau putih: hidup kita penuh dengan nuansa abu-abu.

Menyadari akan keabu-abuan dari sesuatu berarti membentuk diri kita untuk berpikir "elastis". Pemikiran yang elastis memungkinkan kita untuk berhenti mengatakan "semua atau tidak sama sekali" yang menekan diri kita sendiri tanpa memeriksa apakah itu benar atau tidak.

Teknik kognitif tersebut dapat membantu kita untuk mengenali apa yang kita lakukan dan menantang kesan palsu kita terhadap segala hal. Tetapi seperti yang dikatakan pepatah lama, "Mengucapkan jauh lebih mudah daripada melakukan."

Dengan melihat dunia dalam warna hitam dan putih (daripada pelangi yang sebenarnya rumit) pada awalnya dapat membuat diri kita lebih mudah untuk memisahkan yang baik dari yang buruk, yang benar dari yang salah, dan yang indah dari yang jelek.

Dalam kondisi khusus, pemikiran hitam-putih diperlukan. Lagi pula, jika tulisan ini sepenuhnya mengutuk pemikiran hitam-putih, maka saya sendiri telah melakukannya dengan cara yang konyol.

Tetapi pemikiran seperti itu bisa sangat melelahkan, mengirim kita pada pasang-surut kehidupan yang konstan. Dan pada tingkat yang lebih dalam, pemikiran dualistik dapat merampas banyak kerumitan yang membuat hidup dan hubungan menjadi begitu kaya.

Benar bahwa segala sesuatu di dunia ini diciptakan secara berpasangan: tanpa penderitaan, tidak ada kebahagiaan; tanpa kemiskinan, tidak ada kekayaan; tanpa kejelekan, tidak ada keindahan; tanpa kekalahan, tidak ada kemenangan.

Namun dalam menilai sesuatu, kita tidak bisa membulatkannya secara ekstrem dan selalu dikotomis. Ketika kita bertanya "apakah sesuatu itu baik atau buruk", kenyataannya bisa saja sesuatu itu baik sekaligus buruk.

Katakanlah Anda seorang atlet Olimpiade dan mengalami kekalahan. Apakah Anda akan berpikir itu benar-benar buruk? Ya, kebanyakan orang akan berpikir demikian. Tetapi dalam pengamatan yang lebih dalam, Anda akan menemukan bahwa itu buruk sekaligus berharga.

Jelas bahwa kekalahan akan terasa menyakitkan bagi Anda, pun di sisi lain, Anda menyadari beberapa kelemahan Anda selama bertanding dan menjadi bahan evaluasi bagi pertandingan berikutnya yang harus lebih maksimal. Kabar baik, Anda berkembang.

Apa yang ingin saya tunjukkan di sini adalah, pemikiran hitam-putih acapkali gagal untuk mewakili realitas yang apa adanya. Kita lebih senang mengatakan sesuatu secara mudah tanpa perlu kita menyelidikinya lagi dan berkubang dalam kebingungan yang rumit.

Coba bayangkan bahwa Anda bertemu saya pada suatu malam di sebuah kafe, dan saya bertanya pada Anda, "Bagaimana hari ini?" Lantas Anda menjawab, "Buruk sekali! Saya terjebak macet hampir satu jam ketika perjalanan ke sini."

Sungguh? Barangkali Tuhan akan menegur Anda bahwa pada pagi hari, Anda menghabiskan waktu yang bahagia bersama keluarga, kemudian siang hari dipenuhi tawa ceria, hingga menjelang malam Anda berkencan dengan kekasih tercinta.

Sekarang hanya karena satu kemacetan, Anda mengatakan hari tersebut benar-benar buruk? Jika kita bertukar peran, saya akan lebih suka untuk berkata, "Ya, hari ini indah dan menyenangkan. Tapi perasaanku sedikit jengkel karena barusan terjebak macet cukup lama."

Pada hakikatnya, pemikiran hitam-putih merupakan kegagalan dalam pemikiran seseorang untuk menyatukan dikotomi kualitas positif dan negatif pada diri sendiri serta orang lain menjadi satu kesatuan yang kohesif nan realistis.

Mengapa kita sering berpikir hitam-putih?

Ada beberapa hal yang mungkin menjadi penyebab kebiasaan kita dalam berpikir hitam-putih. Sekurang-kurangnya, saya menemukan 3 penyebab utama sebagai berikut.

1. Malas memperdalam suatu gagasan

Kita begitu suka untuk membulatkan suatu ide atau gagasan. Mengapa? Karena itu sederhana dan praktis. Ada begitu banyak kerumitan tentang bagaimana kita hidup hari ini: bagaimana kita memandang orang lain, niat baik dengan hasil mengecewakan, norma sosial ...

Menentukan apakah sesuatu itu "benar" atau "salah" bisa sangat melelahkan ketika mengevaluasi serangkaian nuansa dan kerumitan. Pilihannya jelas kompleks bahwa sesuatu itu bisa benar sekaligus salah, atau seperempat benar, atau sepertiga keliru.

Demi kesederhanaan yang anti-rumit (atau alasan sebenarnya adalah kemalasan kita untuk memperdalam suatu gagasan), kita cenderung memudahkannya dengan menyingkirkan minoritas dan mengatakan apa yang mungkin tidak bohong.

Dalam kebutuhan kita untuk memahami atau mengategorikan benda, seseorang, atau keadaan, kita mungkin secara otomatis untuk berpikir secara hitam-putih, berusaha untuk memecahkan pertanyaan apa pun yang kita terima dengan mudah.

Dan faktanya memang begitu: Hitam vs. Putih jauh lebih mudah dikenali daripada warna abu-abu.

2. Tidak memerhatikan konteks

Saya selalu berusaha untuk menjawab pertanyaan atau menilai sesuatu dengan memerhatikan konteks terlebih dahulu. Terkadang beberapa teman merasa jengkel dengan kebiasaan saya yang katanya tidak bisa diajak praktis, tapi saya senang atas penilaian mereka.

Ketika seorang teman pecinta burung menilai tentang betapa jahatnya mereka yang mengurung burung di dalam sangkar, dia pun bertanya, "Bagaimana menurutmu?"

"Ya," ujar saya, "berikan aku konteksnya!"

Jika ternyata burung yang dilihatnya terkurung itu adalah burung yang sebelumnya sakit dan diselamatkan oleh pemilik sangkar, saya pikir itu tidak jahat dan malah mulia. Tetapi jika memang pengurungan itu hanya untuk kesenangan semata ... saya tetap tidak bisa menilainya.

Di satu sisi, burung tersebut hidup mudah karena semua kebutuhan makannya sudah disediakan oleh majikan. Itu berarti, dia tidak harus terlibat pertengkaran dengan burung lain dalam memperebutkan makanan. Di sisi lain, dia tidak punya kebebasan; hak alamiahnya.

Sekarang bayangkan bahwa pada suatu ketika, Anda melihat saya sedang duduk berlutut di hadapan seorang pria lain seraya memasangkan cincin pada jari manisnya. Apa yang akan Anda pikirkan? Apakah Anda pikir saya seorang homoseksual?

Tidak, sebenarnya saya hanya sedang berlatih untuk melamar kekasih saya dan dibantu oleh pria yang Anda lihat bersama saya. Itulah konteksnya, itulah kenyataannya. Jika Anda menyingkirkan konteks itu, Anda akan menilai segalanya dengan hitam atau putih.

3. Gagal menyadari bahwa kehidupan senantiasa berubah

Satu hal yang konstan terjadi dalam kehidupan adalah perubahan.

Dulu, membawa ponsel ke sekolah merupakan suatu tindakan yang dianggap tabu, atau jelasnya dilarang. Sekarang, pelajar diperbolehkan membawa ponsel ke sekolah dengan catatan penggunaan yang secukupnya dan sebagai media untuk belajar.

Jika Anda tidak menyadari bahwa dunia senantiasa berubah, mungkin Anda akan memaki teman Anda yang sedang menatap ponselnya di kelas. Kemudian Anda memberi penilaian bahwa dia benar-benar tolol dan tidak bisa dimaafkan.

Barangkali kasus itu terlalu ekstrem, tapi saya membuatnya jelas. Ketika Anda memandang hidup ini selalu sama, Anda jauh lebih berpotensi untuk menilai segala hal sebagai hitam atau putih. 

Hidup selalu dipenuhi ketidakpastian.

Dan implikasi dari adanya ketidakpastian adalah, segala sesuatu menjadi mungkin dan saling beradu. Ketika hitam dan putih bercampur menjadi satu, kini Anda mesti menerimanya sebagai abu-abu, dan bahwa hidup ini dipenuhi nuansa semacam itu.

Bagaimana dampaknya?

Dampak dari pemikiran hitam-putih akan sangat terasa dalam kualitas hubungan kita dengan orang lain. Ketika kita punya pola pikir demikian, kita akan lebih suka untuk menilai orang lain sebagai "baik atau jahat", "cantik atau jelek", "rapi atau jorok".

Misalnya Anda punya janji dengan seorang teman di rumah makan. Anda datang lebih awal dan memesan makanan sesuai kesepakatan sebelumnya. Anda menunggu dan menunggu hingga makanan yang sedari tadi sudah tersaji mulai dingin.

Setelah satu jam melamun, Anda mendapat pesan bahwa dia tidak bisa datang karena urusan mendadak. Mungkin Anda akan sangat marah dan berang terhadap dia, lalu menilainya sebagai teman munafik, dan Anda sama sekali tidak mempertimbangkan alasannya.

Sebenarnya tidak apa-apa kalau Anda ingin marah terhadapnya, toh itu alamiah dan wajar, tapi Anda harus mencoba untuk mengerti terhadap keadaannya. Bagaimana jika Anda berada di posisinya pada situasi yang sama?

Seandainya Anda mau mempertimbangkan alasan itu, Anda tidak akan lagi menghakiminya sebagai hitam atau putih. Anda akan menemukan bahwa pada momen tertentu mungkin hitam dan di kesempatan lain adalah putih. 

Teman Anda bernuansa abu, begitu pula dengan Anda.

Namun apabila pemikiran hitam-putih tetap bercokol di kepala Anda, barangkali sekarang Anda akan mulai menjauhinya dan memutuskan semua komunikasi terhadapnya. Padahal jika dipertimbangkan secara mendalam, Anda akan tetap membutuhkannya di lain waktu.

Pemikiran hitam-putih juga membentuk mental yang kaku seperti kayu: sekalinya diserang, Anda langsung "patah". Satu kegagalan yang Anda alami, entah sekecil apa pun, jika Anda punya pola pikir yang hitam-putih, Anda akan percaya bahwa Anda adalah pengecut.

Anda mengategorikan diri pada kutub yang ekstrem, sebab itulah esensi dari pemikiran hitam-putih. Akibatnya, mental Anda mudah "patah" dan teramat rapuh, sehingga tidak pernah berkeinginan untuk memperbaiki diri.

Dengan demikian, pemikiran dikotomis juga menghambat pembelajaran yang sangat mungkin untuk Anda terima. Ketika Anda merasa "saya payah" atau "saya sukses", kedua-duanya pun tidak ada yang lebih baik.

Yang benar adalah "kadang-kadang saya sukses dan kadang-kadang juga saya gagal". Maka perspektif itu akan membuka kebesaran hati Anda untuk mendeteksi kelemahan diri sendiri, dan kemudian memperbaikinya. Pengembangan diri pun menjadi sangat mungkin.

Pada tingkat yang lebih lanjut, pemikiran hitam-putih dapat menjadikan Anda seorang perfeksionis, bahwa yang ada di dunia ini hanyalah kesempurnaan dan kegagalan.

Tingkat keegoisan juga turut terpengaruh. Ketika Anda sedang menjalin kerja sama dengan orang lain, pemikiran hitam-putih akan menekan Anda untuk memutuskan "apa yang menjadi bagian saya dan apa yang menjadi bagian mereka".

Padahal, hakikat dari kerja sama adalah saling menyokong satu sama lain.

Pada akhirnya, saya tidak benar-benar mengatakan bahwa pemikiran hitam-putih itu buruk. Dalam kesempatan khusus, memang lebih baik untuk berpikir demikian sesuai apa yang kita hadapi saat itu juga.

Jika saya sedang mengangkut beras satu karung, saya tidak akan ragu-ragu untuk mengatakan pada Anda bahwa itu sangat berat. Saya tidak akan berkata, "Ya, ini cukup berat karena semalam saya begadang menonton Barcelona. Tapi jika keadaan saya bugar, ini ringan."

Apa yang kemudian Aristoteles ajarkan adalah, bahwa kunci kebajikan terdapat pada moderasi atau jalan tengah. Terlalu takut itu buruk karena berarti Anda pengecut. Tidak takut sama sekali juga buruk karena berarti Anda akan sembrono.

Apa yang baik (menurut Aristoteles) adalah sintesis dari keduanya, yaitu keberanian. Kikir itu buruk, begitu pula sifat boros. Kualitas terbaik yang berada di antara keduanya adalah hemat (bersifat adaptif).

Dalam kata-kata Christopher Hitchens, "Inti dari pikiran yang mandiri tidak terletak pada apa yang dipikirkannya, melainkan pada cara berpikirnya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun