Katakanlah Anda seorang atlet Olimpiade dan mengalami kekalahan. Apakah Anda akan berpikir itu benar-benar buruk? Ya, kebanyakan orang akan berpikir demikian. Tetapi dalam pengamatan yang lebih dalam, Anda akan menemukan bahwa itu buruk sekaligus berharga.
Jelas bahwa kekalahan akan terasa menyakitkan bagi Anda, pun di sisi lain, Anda menyadari beberapa kelemahan Anda selama bertanding dan menjadi bahan evaluasi bagi pertandingan berikutnya yang harus lebih maksimal. Kabar baik, Anda berkembang.
Apa yang ingin saya tunjukkan di sini adalah, pemikiran hitam-putih acapkali gagal untuk mewakili realitas yang apa adanya. Kita lebih senang mengatakan sesuatu secara mudah tanpa perlu kita menyelidikinya lagi dan berkubang dalam kebingungan yang rumit.
Coba bayangkan bahwa Anda bertemu saya pada suatu malam di sebuah kafe, dan saya bertanya pada Anda, "Bagaimana hari ini?" Lantas Anda menjawab, "Buruk sekali! Saya terjebak macet hampir satu jam ketika perjalanan ke sini."
Sungguh? Barangkali Tuhan akan menegur Anda bahwa pada pagi hari, Anda menghabiskan waktu yang bahagia bersama keluarga, kemudian siang hari dipenuhi tawa ceria, hingga menjelang malam Anda berkencan dengan kekasih tercinta.
Sekarang hanya karena satu kemacetan, Anda mengatakan hari tersebut benar-benar buruk? Jika kita bertukar peran, saya akan lebih suka untuk berkata, "Ya, hari ini indah dan menyenangkan. Tapi perasaanku sedikit jengkel karena barusan terjebak macet cukup lama."
Pada hakikatnya, pemikiran hitam-putih merupakan kegagalan dalam pemikiran seseorang untuk menyatukan dikotomi kualitas positif dan negatif pada diri sendiri serta orang lain menjadi satu kesatuan yang kohesif nan realistis.
Mengapa kita sering berpikir hitam-putih?
Ada beberapa hal yang mungkin menjadi penyebab kebiasaan kita dalam berpikir hitam-putih. Sekurang-kurangnya, saya menemukan 3 penyebab utama sebagai berikut.
1. Malas memperdalam suatu gagasan
Kita begitu suka untuk membulatkan suatu ide atau gagasan. Mengapa? Karena itu sederhana dan praktis. Ada begitu banyak kerumitan tentang bagaimana kita hidup hari ini: bagaimana kita memandang orang lain, niat baik dengan hasil mengecewakan, norma sosial ...
Menentukan apakah sesuatu itu "benar" atau "salah" bisa sangat melelahkan ketika mengevaluasi serangkaian nuansa dan kerumitan. Pilihannya jelas kompleks bahwa sesuatu itu bisa benar sekaligus salah, atau seperempat benar, atau sepertiga keliru.
Demi kesederhanaan yang anti-rumit (atau alasan sebenarnya adalah kemalasan kita untuk memperdalam suatu gagasan), kita cenderung memudahkannya dengan menyingkirkan minoritas dan mengatakan apa yang mungkin tidak bohong.