Ketika saya gagal meraih sesuatu, saya jarang sekali membicarakan kegagalan itu pada orang lain. Bukan karena saya merasa malu, tapi saya sudah tahu jawaban mereka:Â jangan menyerah. Dan bagi saya, tidak ada nasihat yang lebih memuakkan daripada nasihat itu.
Selama ini kita didoktrin dengan kisah orang-orang hebat yang mengalami ribuan kegagalan dan mereka tidak menyerah. "Ingatlah Thomas A. Edison yang mencoba ribuan bahan berbeda sebelum akhirnya menemukan formula yang tepat untuk menciptakan bola lampu.
Atau Einstein yang gagal mendapatkan pekerjaan di bidang fisika dan terus berjuang memimpikan ide-ide revolusionernya untuk fisika di kantor paten Swiss. Atau J.K. Rowling yang ditolak belasan penerbit hingga akhirnya berhasil mempopulerkan kisah Harry Potter."
Saya tahu itu. Kita tahu. Dan itu berlebihan.
Kenyataannya, mereka juga menyerah ... dengan waktu dan cara yang tepat. Orang-orang besar di dunia ini selalu tahu kapan momen yang tepat untuk menyerah dan tidak berkeras kepala melanjutkan perjalanan yang hanya merusak diri mereka sendiri.
Budaya kita meromantisasi ketekunan, dan untuk alasan yang manis: ketekunan adalah kualitas orang-orang hebat. Banyak hal menakjubkan di dunia yang tidak akan pernah kita kenali, jika mereka tidak terus bangkit setiap kali mereka jatuh.
Itu benar, tapi setengah berbohong. Pernyataan semacam itu hanyalah sebuah proyeksi yang menampilkan gambar di monitor dan menyembunyikan sesuatu yang lain di balik layar. Bahkan kemungkinannya, sesuatu yang di balik layar itulah yang paling berharga.
Nah, sebuah artikel yang menyarankan Anda untuk menyerah mungkin tidak akan menginspirasi Anda sama sekali. Tetapi itulah tujuan saya: artikel ini harus bersifat realistis. Dan ironisnya, sesuatu yang realistis punya kemungkinan yang lebih besar untuk menginspirasi.
Hidup adalah labirin raksasa
Kita adalah kepulan debu kosmik yang terbang seperti daun gugur dan berlabuh di sebuah labirin raksasa yang mereka sebut sebagai kehidupan. Jalan hidup manusia lebih mirip seperti sebuah labirin ketimbang garis lurus.
Dalam perjalanannya menuju garis akhir, kita dihadapkan pada jalan berkelok-kelok, dan tidak jarang malah menemui kebuntuan.
Adalah sangat mungkin untuk mengambil belokan yang salah, menemui jalan buntu, kehilangan banyak waktu, berputar-putar di arena yang sama, berkelok-kelok ke arah yang keliru, dan memutar hingga berbelok di tempat yang tidak terduga.
Setiap orang menemui jalan buntu dan itu hanyalah satu risiko kepastian dari permainan labirin. Maka hanya ada dua cara untuk memajukan hidup kita: bergerak maju ketika kita bisa, atau melangkah mundur untuk mencoba sesuatu yang pada mulanya dikira mustahil.
Itulah mengapa bahwa adagium kuno "jangan menyerah" tidak bisa diterapkan dalam segala hal. Itu membuat orang-orang memaksakan diri untuk terus maju ketika di hadapan mereka adalah jalan buntu yang dipenuhi semak berduri.
Mungkin mereka bisa menembusnya, tapi apalah arti semua itu jika mereka berhasil ketika mereka terluka dan mungkin mati?
Cara kerja labirin tidak demikian. Ada kalanya kita harus mundur kembali dan menemukan jalan baru, sebab sesuatu yang kita anggap buruk bisa jadi merupakan sesuatu yang sangat berharga untuk kita.
Formula perjuangan
Menurut saya, ada dua kombinasi yang kuat jika Anda ingin terus berjuang dan tidak menyerah, yaitu potensi internal dan potensi eksternal.
Potensi internal adalah suatu kemungkinan yang kita miliki dalam diri sendiri untuk mewujudkan apa yang kita inginkan. Sedangkan potensi eksternal adalah suatu kemungkinan yang berada di luar diri sendiri dan punya peranan menentukan dalam keberhasilan sesuatu.
Saya tahu bahwa definisi itu hanya semakin mempersulit keadaan, jadi abaikan saja keduanya dan perhatikan contoh berikut.
Mengapa seorang dokter tetap berusaha menyelamatkan pasiennya? Sebab pasien tersebut masih punya kesempatan untuk hidup (potensi eksternal) dan dokter bisa menanganinya (potensi internal).
Tapi ketika dokter tersebut tidak bisa melakukan apa pun dan peluang pasien untuk bertahan hidup sudah tidak ada, untuk apa berjuang lebih keras lagi?
Mungkin itu contoh yang ekstrem, namun saya membuatnya jelas. Perjuangan yang tepat adalah kombinasi dari adanya kemampuan kita untuk mengeksekusi (potensi internal) dan peluang keberhasilan dari sesuatu yang kita kejar (potensi eksternal).
Tanpa potensi internal dan potensi eksternal, perjuangan kita hanyalah jerih payah yang tiada guna dan cucuran keringat yang sia-sia. Dan pada titik inilah kita mesti sadar bahwa, kita harus menyerah.
Sekarang bayangkan skenario jika salah satu potensi sudah musnah. Agar lebih mudah, saya ambil kasus dokter lagi.
Bagaimana kalau seorang pasien sudah kehilangan nyawanya sebelum dokter tersebut memeriksa? Apakah dokter tersebut harus terus berjuang untuk memulihkan si pasien? Tidak, kita tahu bahwa dokter bukanlah Tuhan.
Premis pertama: ketiadaan potensi eksternal hanya akan menyia-nyiakan jerih payah kita. Ini seperti sesuatu yang kita sebut "nasi sudah menjadi bubur".
Bagaimana kalau seorang pasien masih mungkin untuk disembuhkan, tetapi dokter tersebut tidak bisa menanganinya karena alasan tertentu? Katakanlah pasien mengalami tumor otak, sedangkan dokter tersebut adalah seorang dokter gigi.
Dengan kata lain, potensi eksternalnya masih hidup dan punya peluang untuk terwujud, tapi potensi internalnya sudah mati. Apakah dokter tersebut harus terus berjuang? Kita tahu itu; kita tahu apa risikonya jika dokter tersebut memaksakan diri untuk menangani si pasien.
Premis kedua: ketiadaan potensi internal bukan hanya menyia-nyiakan usaha kita, tapi juga menyiksa diri sendiri dalam keterasingan. Ini seperti seorang difabel yang terlahir tanpa dua kaki tetap memaksakan diri untuk bermain sepak bola (di level normal).
Ketika saya mengatakan itu pada seorang teman, dia menyanggah, "Dokter tersebut bisa saja mempelajari tumor otak, itu artinya dia tidak boleh menyerah!"
Saya tahu, tapi jika keadaannya demikian, berarti potensi internal dari dokter tersebut belum mati! Saya menyarankan seseorang untuk menyerah ketika potensi internalnya sudah benar-benar mati, seperti kasus orang difabel tadi.
Potensi internal yang terhambat masih memungkinkan kita untuk berjuang, tetapi syaratnya, kita mesti mundur terlebih dahulu dengan risiko potensi eksternal mungkin akan terkubur sebelum kita mulai maju kembali.
Dokter tersebut bisa saja menyembuhkan pasien tadi, tapi syarat mutlaknya, dia harus mundur dari pertempuran dan menghabiskan waktu selama bertahun-tahun untuk mempelajari tumor otak.
Hanya saja risikonya, pasien tersebut mungkin meninggal sebelum dokter tersebut berhasil mempelajari tumor otak.
Ini seperti Anda yang gemar bermain sepak bola, kemudian berhadapan dengan dunia musik yang tidak Anda kuasai. Apakah Anda harus menyerah? Jika Anda berkenan untuk mundur dan mempelajari seni musik, Anda bisa terus berjuang di sana.Â
Itu berarti, potensi internal masih hidup.
Tetapi jika Anda tidak ingin mundur dan hanya memaksakan diri untuk berada di tempat yang asing bagi Anda, kemungkinannya tidak berbeda dengan menyiksa diri sendiri. Dalam jangka panjang, Anda hancur.
Mungkin Anda beranggapan bahwa teman saya benar dan menunjukkan betapa buruknya contoh yang saya berikan. Memang demikianlah adanya: saya sengaja memberikan contoh tentang dokter agar kita bisa membedakan potensi yang masih hidup dengan yang sudah mati.
Saya suka ironinya: menyerahlah ketika Anda tidak punya peluang dan Anda tidak bisa melakukannya lagi. Bahkan ketika peluang itu masih ada dan Anda tidak bisa melakukan apa-apa lagi, keputusan untuk memaksakan diri hanya akan menjadikan hasilnya lebih kacau.
Atau seperti yang dikatakan Sigmund Freud, "Jika Anda tidak bisa melakukannya, menyerahlah!"
Kesimpulan dari dua premis yang saya ambil tidak akan punya nada-nada heroisme bahwa:
Pincangnya salah satu potensi (internal atau eksternal) akan sangat berpengaruh dalam menyalakan alarm kita untuk segera menyerah. Ini tidak membuktikan betapa payahnya kita, dan justru membuktikan betapa bijaksananya kita.
Seorang sopir yang andal selalu tahu kapan waktunya menginjak pedal gas dan kapan waktunya menginjak pedal rem. Kita adalah sopir kehidupan kita sendiri. Dan orang-orang bijaksana adalah sopir yang paling andal.
Menyerah bukan berarti sebuah akhir
Dulu, saya berkecimpung lama di tempat yang tidak saya sukai. Satu-satunya alasan saya belum berhenti adalah karena saya begitu khawatir tentang apa yang akan dipikirkan orang lain jika saya menyerah.
Namun segera setelah itu, saya menyadari bahwa ketekunan buta dapat berubah menjadi pencarian yang melelahkan dan tidak berguna.
Dengan cepat saya memutuskan untuk menyerah dan terjun ke tempat berseberangan yang cukup asing bagi saya. Hasilnya, di sinilah saya sekarang; di tempat yang membuat kebahagiaan saya amat sederhana dan murah.
Ada beberapa makna yang saya pelajari dari pengalaman tersebut.
Pertama, berhenti bukan berarti akhir dari sebuah impian, justru berhenti bisa menjadi bagian dari impian itu sendiri. Menyerah juga bukan berarti kita harus mencoba hal lain. Tidak, tapi kita bisa saja mencoba hal yang sama dengan menyerah sejenak.
Ini seperti sebuah anak panah yang mundur di tali busurnya supaya bisa melesat lebih kencang lagi dan mencoba sebanyak mungkin tembakan agar sasaran tercapai.
Dalam artian lain, menyerah adalah cara kita untuk bercermin sejenak sebelum memutuskan apa yang pantas kita perjuangkan selama napas masih mengalir.Â
Ingatlah bahwa dunia ini adalah kehidupan, bukan rajutan mimpi yang melekat pada dongeng-dongeng keajaiban.
Kisah-kisah kesuksesan orang besar mungkin akan sangat menggoda kita, bahwa mereka tidak menyerah, bahwa mereka terus bangkit, bahwa mereka tidak kenal lelah. Omong kosong!
Mereka berhenti sejenak, mereka menyerah sejenak, mereka menarik diri sejenak ... untuk bisa mengevaluasi diri.Â
Seorang kaisar yang sedang terlibat dalam pertempuran tidak akan bisa memikirkan strategi terbaik, kecuali dia berhenti bertarung dan mencari tempat aman sejenak.
Menyerah bukan berarti kisah penutup dongeng, melainkan lembaran baru untuk membuka bab baru yang lebih segar dan menarik. Namun selalu ingat juga bahwa menyerah seperti ini diperlukan kemampuan khusus untuk mengevaluasi diri.
Kelemahan terbesar dari menyerah terletak pada pengabadian siklus deja vu, di mana kita tidak benar-benar memahami diri kita dengan lebih baik setelah apa yang kita korbankan. Di sisi lain, gagal untuk berhenti adalah kegagalan untuk belajar.
Terkadang, ide dan visi kita tidak sesuai dengan kenyataan. Pada momen kesadaran inilah kita mesti menyerah sejenak untuk menyusun ide dan visi yang lebih realistis.
Jika kita tidak mengamini kesadaran tersebut, tetap keras kepala di arah yang sama dapat sangat merugikan kita lebih dari sekadar kebanggaan.
"Hal yang sangat sulit sekaligus menakjubkan, adalah menyerah untuk menjadi sempurna dan memulai pekerjaan besar untuk menjadi diri sendiri." (Anna Quindlen)
Kedua, kita punya opportunity cost bahwa kita mungkin melewatkan sesuatu yang jauh lebih baik bagi kita. Fakta kehidupan yang selalu terabaikan dalam masyarakat adalah selalu ada harga yang harus kita bayar untuk apa pun.
Konsep opportunity cost dapat membantu kita untuk mempertimbangkan sesuatu yang kita korbankan, sebab kemungkinannya cukup ironis, bahwa yang terabaikan itulah yang ternyata sangat menyehatkan bagi kita.
Ketiga, sukses secara instan adalah mitos. Itu benar. Jadi jika saya beranggapan bahwa tidak ada kesuksesan yang instan, maka saya pun harus percaya bahwa menyerah ... merupakan bagian dari kesuksesan itu sendiri.
Perjalanan yang berhasil adalah perjalanan yang diwarnai dengan pedal gas dan pedal rem. Ketika salah satunya tidak digunakan, maka perjalanan yang berantakan sudah menjadi kepastian di dunia yang dipenuhi ketidakpastian. Nah, itu.
Keempat, tidaklah sehat untuk berjuang di jalan yang sama sekali tidak membuat kita bahagia. Jika kita sendiri tidak mencintai prosesnya, berarti kita kehilangan kenikmatan hidup dan tidak siap untuk sukses di sana. Pada titik inilah, kita perlu untuk menyerah.
Ketika saya tidak merasa bahagia dengan jalan itu, saya tahu betapa buruknya saya. Proses itu sendiri tidak saya nikmati, dan orang-orang yang tidak mencintai proses adalah mereka yang tidak siap untuk sukses. Maka saya menyerah dan beralih ke jalan lain.
Sekarang saya tahu bahwa pilihan itu adalah hal terbaik yang pernah saya putuskan sepanjang hidup saya.
Kelima, menyerah menjadi buruk saat kita percaya bahwa itu mungkin. Jelas bahwa di sini, saya tidak memberi penekanan yang keras agar Anda menyerah. Lebih dari itu, saya ingin Anda tahu waktu yang tepat untuk menyerah dan bagaimana menanggapinya.
Kini saya ingin menggambarkan betapa buruknya mereka yang menyerah ketika keberhasilan di jalan itu masih mungkin. Kembali ke cerita Edison, Einstein, dan J.K. Rowling. Mereka tidak menyerah sebab mereka tahu bahwa peluangnya masih mungkin.
Mereka tahu bahwa potensi internal dan potensi eksternalnya masih hidup.
Tetapi penggambaran semacam itu tidaklah adil, sebab tidak semua orang mengalami kejadian serupa di mana potensi internal dan potensi eksternalnya masih menyala. Ingat kisah dokter gigi yang malang tadi.
Jika orang-orang seperti dia menuruti kisah besar Edison, Einstein atau J.K. Rowling ... kacau!
Tidak semua kisah inspiratif dapat menginspirasi kita. Kadang-kadang mereka hanya memberitahu kita betapa beruntungnya mereka dan tidak ada pelajaran lebih untuk kita. Itu tidak apa-apa. Hidup kita tidak ditentukan oleh kisah mereka.
Kenyataannya, kisah besar orang hebat selalu diwarnai dengan momen menyerah. Hanya saja, bagian itu sering tersamarkan oleh kehebatan mereka. Itu seperti museum yang hanya menampilkan mahakarya seseorang dan tidak memajang karya sampahnya.
Sebagai contoh, tidaklah sedikit kisah-kisah orang hebat yang diwarnai dengan pengalaman putus sekolah. Artinya mereka menyerah dalam bidang akademis! Tapi apakah mereka menyerah selamanya? Tidak, mereka menyerah untuk mencari kisah hidup sejatinya!
Keenam, menyerahlah ketika pencarian kita untuk memecahkan sebuah masalah telah mengambil seluruh aspek lain dari kehidupan kita. Kecuali ... kalau Anda yakin bahwa memang itulah alasan Anda diciptakan.
Pada akhirnya, saya tidak menyarankan Anda untuk sepenuhnya menyerah.Â
Tapi lihatlah bahwa hidup ini seimbang: ada waktunya berjuang dan ada waktunya menyerah. Di sini saya menguraikan momen yang tepat untuk menyerah, tinggal bagaimana Anda tahu kapan sebaiknya terus berjuang.
Mereka bilang "menyerah bukanlah pilihan", tapi saya pikir, menyerah adalah pilihan. Tinggal bagaimana kita mengetahui waktu, cara, dan tanggapan yang tepat untuknya.
Apa itu hidup, jika bukan jumlah dari ribuan pertempuran setiap hari dan keputusan kecil untuk membuangnya atau menyerah?
Meskipun cerita Anda tentang keinginan untuk berhenti pasti berbeda dengan kisah saya, apa yang ingin saya bagikan adalah, hanya karena Anda berhenti melakukan sesuatu tidak berarti Anda benar-benar berhenti.
Dalam banyak hal, kita perlu tahu kapan waktunya untuk berani berhenti atau pergi. Mengalami kegagalan tidak sama dengan gagal. Melepaskan bukan berarti menyerah. Menyerah bukanlah berhenti sepenuhnya.
Menyerah hanyalah jeda yang memungkinkan kita untuk memilah ke mana kita akan berbelok selanjutnya. Apa yang tidak dapat kita hentikan adalah berjuang untuk tujuan kita, dan hidup, dan menemukan cara baru yang lebih efektif untuk memunculkan hasrat kita di dunia.
Kita bisa berhenti, tapi yang tidak bisa kita hentikan adalah berjuang untuk impian sejati kita; impian yang menuntun kita pada tujuan hakiki dari terciptanya kita sebagai manusia. Oh, saya berbicara terlalu banyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H