16 Juli 2021
Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada perpisahan dengan seseorang atau sesuatu yang kita sayangi. Itu juga berlaku untuk kucing, jika engkau benar-benar mencintainya.Â
Lagi pula, daya macam apa yang menggerakkan kucing hingga ia melakukan sesuatu yang tidak pernah dimengertinya? Kekuatan macam apa yang mendorongnya untuk menghampiri sebuah tempat yang sangat asing baginya?Â
Cappucino-ku sedikit menjelaskan bahwa lunturnya krim di permukaan gelas lambat laun mulai menyatu dengan cairan kopi yang menjadi asal-usulnya. Atau dengan sentuhan ironikal: segala sesuatu selalu menuju tempat asalnya.
Sore ini begitu cerah hingga aku benar-benar lupa bahwa pagi tadi amatlah dingin. Kecerahan awan-awan lembut di atasku telah banyak melukiskan kebahagiaanku yang amat sederhana, bahkan jika kehangatan ini tiba-tiba dilanda badai, kebahagiaanku tidak tergugah.Â
Perlahan kuresapi bau-bau asap kendaraan yang acapkali mengingatkanku pada wewangian remah tanah kala hendak hujan.
Baiklah, aku menganggukkan kepala pada Si Kecil yang sekonyong-konyong berteriak saat kakiku melangkah di depannya. Ajaknya, "Mari menghitung burung-burung!"
Aku senang, dia mulai menghargai gerombolan pesawat hidup dan mungil itu. Dan tentu saja, dengan senang hati aku akan menggendongnya di punggungku dan kedua tangan kerdilnya berpegang erat melingkari leherku.Â
Dia tahu betul soal keamanan "berkendara". Dan aku pikir, dia cerdik.
Kami berdiam diri di pinggir jalan, tepat di mana cahaya matahari Barat jatuh di tanah yang mengasyikkan. Sinar yang terang namun lemah memperlihatkanku keberadaan burung-burung yang bersembunyi di ranting pohon yang rindang.Â
Aku masih tidak tahu apa jenis mereka, tidak peduli seberapa kerasnya aku ingin mengenal mereka. Aku pikir mereka licik! Kemarin menampilkan bulu-bulu gelap yang dibalut cerahnya putih. Tapi kini yang kulihat adalah cokelat dengan sedikit hijau muda. Burung apa itu?
Si Kecil mulai menghitung sembari menunjuk satu per satu burung yang dilihatnya nun jauh di sana. Deru-deru kendaraan tidak memburamkan konsentrasinya. Dia layak menjadi seorang akuntan yang andal di masa depan.Â
Lagi pula, aku lebih suka suaranya yang khas seorang balita daripada memerhatikan cara menghitungnya yang kacau. Pertama dia bilang "satu", kemudian "dua, tiga, empat", dan tiba-tiba saja menyebut angka "dua belas".Â
Mengapa dua belas, pikirku? Ada apa dengan dua belas?
Aku hampir tenggelam dalam kenikmatan seorang paman yang menggendong keponakannya di sore yang ceria. Tetapi pada detik itu pula, aku melihat seekor tikus raksasa penuh bulu berlari dari arah belakangku dan hendak menyeberang ke seberang jalan.Â
Aku tidak memedulikannya, atau lebih tepatnya, tidak sempat memedulikannya. Dia bergerak cepat sampai-sampai mataku belum mencapai satu kedipan.
Adalah pemandangan biasa jika engkau tinggal di lingkunganku dan melihat hewan-hewan berusaha menyeberangi jalanan yang sibuk. Terkadang kau akan melihat seekor kadal yang sesampainya di seberang jalan, dia tidak lagi mempunyai ekor.Â
Terkadang kau akan melihat seekor landak hijau yang ketika sampai di seberang jalan, berubah menjadi cokelat. Terkadang kau akan melihat seekor anjing, atau ular, bahkan seekor kupu-kupu kuning.
Tapi kali ini berbeda. Hewan itu tidak berhasil mencapai tujuannya. Tepat di samping depanku, dia terlindas pengendara motor hitam yang kebetulan sedang terjebak di jalanan yang sibuk dan dituntut waktu.Â
Tentu aku mengatakan demikian karena menilai dari kecepatan motornya yang di atas kecepatan rata-rata. Dan sesungguhnya, itu hanyalah pemandangan biasa di sini.
Dia terkapar pasrah melambangkan kesakitan yang tak terperi dengan cairan merah kental di sekelilingnya. Perhatianku belum terarah sepenuhnya pada hewan itu, yang sebelumnya kukira sebagai seekor tikus raksasa berbulu yang amat langka.Â
Aku masih begitu asyik mendengarkan hitungan bodoh dari Si Kecil.
Ketika orang-orang mulai berteriak histeris, aku mendapatkan tamparan keras yang segera menyadarkanku tentang apa yang terjadi.
Jalanan macet seketika, beberapa pengendara motor yang kebetulan lewat berhenti untuk menolong hewan itu. Yang pertama kali kulihat di jalan itu adalah cairan merah kental yang mengalir dengan lembut.Â
Dan seperti yang kau duga, aku memang menebak itu sebagai darah. Tapi bagaimana mungkin seekor tikus bisa mengeluarkan darah sebanyak itu? Ah, iya, dia tikus raksasa!
Aku menghampiri seorang pria yang tampaknya menggendong korban tabrak lari itu. Dalam beberapa langkah itu aku sudah bisa menduga bahwa aku akan melihat banyak darah; banyak sekali! Bau-bau asap kendaraan mulai tergantikan oleh bau amis darah yang memuakkan.Â
Jadi sebelum sampai ke pria itu, aku menurunkan Si Kecil dan menuntunnya untuk ke rumah.
Pandanganku tidak terarah ke mana pun selain pada sesuatu yang digendong pria itu. Dengan tergesa-gesa, pria itu meminta air yang tidak kumengerti untuk apa. Tapi segera saja kumengerti bahwa air itu untuk menenangkan si korban tabrak lari.
Sepersekian detik baru kusadari bahwa korban itu adalah ... Mozil, kucing kesayanganku. Hewan yang kukira sebagai tikus raksasa karena menilik dari kecepatan larinya, ternyata adalah kucing yang selama ini menjadi teman kesepianku.Â
Seandainya aku tahu lebih awal, lebih baik aku tendang dia saat berlari melintasiku. Meskipun menyakitkan dan menggambarkanku sebagai Hitler muda, setidaknya aku menyelamatkan dia dari kecelakaan yang lebih serius.
Perlu kugambarkan betapa malangnya dia.Â
Mulut tiada hentinya memuntahkan darah pekat, mata terbelalak seakan-akan ingin menatap dunia ini dengan jelas untuk terakhir kalinya, hidungnya berusaha keras menghirup udara dengan cara yang paling menyakitkan di dunia.
Sekujur badannya gemetar, atau jika kau ingin mendengar yang lebih buruk dari itu, dia sekarat; mengingatkanku pada seorang nenek tua yang mengalami stroke di hadapanku bertahun-tahun lalu.Â
Dia sekarat untuk waktu yang lama hingga aku merasa percaya bahwa kesempatan hidup masih ada dalam jiwanya.
Segera aku menggendong kucing mungilku. Aku bisa merasakan debu-debu kasar di bulu abu-abunya yang lembut bak kumpulan kutu yang menggigiti seluruh badannya. Mata hijaunya ... basah.Â
Aku tahu bahwa dia menjerit meminta tolong padaku, dan satu-satunya cara yang kutahu adalah, membawanya ke dokter hewan secepat mungkin.Â
Aku tidak terlatih untuk memberikan pertolongan pertama pada hewan yang terlindas motor, itu pun jika metode semacam itu benar-benar ada. Bahkan anggota keluargaku juga tidak terlatih; mereka tidak tahu apa-apa.Â
Yang mereka tahu hanyalah, betapa menggemaskannya kucing mungilku ini. Mereka membisu, hanya saudara perempuan tertuaku yang mampu mengeluarkan kata-kata; itu pun kata-kata yang memaki dan mengutuk si pelaku tabrak lari.Â
Tidak terdengar doa yang baik, setidaknya tidak dalam keramaian. Aku tidak tahu apa yang diucapkan oleh masing-masing benak yang menyaksikan. Apa peduliku untuk itu? Kucingku sedang sekarat dan dia membutuhkan pertolongan segera!
Seorang pria yang tak kukenal dengan sukarela mengantarku ke dokter hewan terdekat. Sepanjang perjalanan, aku menatap wajah malang itu dengan penuh empati.Â
Aku tahu betapa berangnya dia ketika harus tercerabut dari waktu yang sedang dia nikmati. Aku tahu betapa menjijikkannya kehidupan ketika dia harus pergi meninggalkannya di tengah-tengah kebahagiaan yang memabukkan.Â
Tetapi, tahu apa dia soal takdir?
Apakah dia mengerti bahwa yang membuat kakinya berlari gesit menyeberangi jalan adalah keputusan takdir? Maksudku bagaimana mungkin tiba-tiba dia menyentuh jalan raya sibuk yang selama ini begitu asing baginya?Â
Itu bukan hanya kebetulan yang menyedihkan, tapi juga ironi takdir.
Darah itu menembus kaosku yang tipis hingga aku bisa merasakan kehangatannya. Kau tahu, kehangatan ini mengingatkanku pada saat berendam di kolam hangat yang mengasyikkan. Hanya bedanya, yang sekarang terkesan memilukan. Sangat pilu hingga aku tidak tahu lagi caranya menangis.Â
Aku ingin, terutama karena mataku sudah teramat perih. Tapi tidak ada air mata! Aku tidak tahu mengapa. Tapi aku rasa, itulah bentuk keprihatinanku yang tertinggi. Air mata itu tidak lagi tampak di permukaan, melainkan menggenangi seluruh samudra kecil dalam hatiku.
Kami terlambat, kau tahu.Â
Pada dasarnya, perlu 15 menit untuk sampai ke dokter hewan terdekat. Tetapi karena aku sendiri adalah seorang majikan bodoh yang terlambat menanggapi tragedi itu, aku kehilangan satu lagi teman setiaku dalam mengobrol.Â
Kini tidak akan ada lagi makhluk yang mendengarkan ocehanku setulus dia. Sejauh kedekatan kami, dia amat rendah hati, bahkan ketika aku lupa memberinya makan.
Tapi sekali lagi, kami terlambat. Atau lebih tepatnya, aku terlambat.Â
Di bawah kehangatan mentari yang hampir tenggelam ini, aku merasakan kekecewaan yang amat mendalam tentang betapa khianatnya keindahan langit yang cerah. Mereka menipu!Â
Mereka tidak mengungkapkan kegelapan sehingga aku tidak mempersiapkan diri untuk apa pun yang berbau semacam tragedi mengenaskan! Mereka licik! Mereka pesulap yang keji!
Ada satu hal yang lebih buruk bagi akalku: mengapa dia harus mengalami sekarat yang lama? Jika pada akhirnya harus mati, mengapa rasa sakitnya berlangsung lama? Jika pada akhirnya tidak ada yang bisa diperjuangkan, mengapa penderitaannya begitu panjang?Â
Maksudku, sungguh? Apa yang kau bisa katakan tentang itu?
Aku mengerti bahwa perkara seperti ini tampak sepele bagi beberapa orang. Tetapi yang tidak mereka mengerti adalah, kedalaman hubunganku dengan seekor kucing.Â
Dia manja, dan menjengkelkan. Dia menumpahkan seperempat gelas kopi pada papan ketik laptopku. Dia menularkan virus yang membuat kedua tanganku punya bercak luka yang kini mulai menghilang.Â
Dia mengganggu tidurku di tengah mimpi yang sangat indah. Dia mencakarku dan menimbulkan rasa perih saat bersentuhan dengan air. Itu semua keindahan kisah kami.Â
Di balik beberapa keruwetannya padaku, dia adalah pendengar yang baik. Dia tidak akan memberimu tanggapan atau jawaban, dia hanya akan meng-ngeong layaknya seekor kucing biasa.Â
Tetapi jika kau punya kedekatan dengannya, perlahan kau akan mengerti tentang apa yang dikatakannya. Sungguh!
Keadaan memaksaku untuk merelakan kepergian dan menabahkan diri pada perpisahan. Tetapi atas rasa hormatku, aku menundukkan kepala dan mengiyakan apa yang hidup timpakan padaku. Itu mudah.Â
Dalam pengamatanku sendiri, aku adalah orang gila yang merasakan kesedihan beberapa menit lalu, dan menghibur dirinya sendiri di waktu sekarang. Mujurnya, hiburan itu selalu berhasil! Kau benar, hanya orang gila yang selalu berhasil menghibur dirinya sendiri.
Pelajaran terpenting yang kupetik sore ini justru datang dari keluargaku. Ketika aku masih memangku kucing mungilku di lokasi kejadian, aku melihat Ibu dan saudara perempuanku menangis sendu yang tidak terjelaskan apa alasannya.Â
Secara gamblang, air mata mereka menandakan keprihatinan yang tak terperi. Tapi di kedalaman penjelasan, aku tidak tahu: entah karena takut melihat darah atau berempati, menurutku tidak di keduanya.
Di sini dapat kumengerti bahwa keluargaku sangat membenci perpisahan. Mereka tidak pernah dan tidak akan pernah siap dengan perpisahan!Â
Mereka tidak memikirkan itu, sebab kehidupan yang bercokol di kepala mereka adalah kehidupan yang diwarnai dengan pertemuan dan lalu hiasan tawa menggelegar lewat kerendahan hati serta kegembiraan.Â
Mereka kerap kali menangis histeris ketika seorang sanak saudara meninggal dunia. Aku tidak tahu apa-apa soal perasaan lembut mereka.Â
Tapi yang kukhawatirkan adalah, apa yang lebih buruk ketika salah satu dari kami (keluargaku) pergi untuk selama-lamanya tanpa pernah mengucapkan selamat tinggal?
Tidak terbayangkan bagaimana lanskap daratan akan dipenuhi air mata kala nanti kekhawatiran itu terjadi. Tapi bagaimana pun juga, tetap bisa digambarkan.Â
Bahwa salah satu dari kami akan pergi mendahului yang lain. Bahwa tragedi itu pasti akan terjadi dan hanya tinggal menghitung waktu.
Sejujurnya, aku tidak pernah menangis di hadapan keluargaku sejak terakhir kali saat anak-anak. Atau pernah satu kali ketika Kakek juga meninggal karena tabrak lari. Selain dari itu, tidak ada tangisan. Terkadang mereka heran: apa yang membuat hatiku beku?
Tidak, yang kupahami, tragedi semacam itu hanyalah siklus kehidupan yang abadi. Aku tidak mau menunjukkan kelemahanku yang terdalam hanya karena ditantang oleh kehidupan lewat hukum alamiahnya. Aku seorang kaisar kehidupan, kau tahu!Â
Dan lagi pula, aku lebih cengeng dari yang disangka siapa pun. Yang membedakannya, air mataku balik ke dalam dan menyatu dengan seluruh aliran darahku yang bergejolak.
Cinta tidak mengenal objek. Kau bisa mencintai sebongkah batu yang dicaci-caci oleh seorang anak di taman kota. Kau bisa mencintai sebilah pisau yang pernah digunakan seorang pembunuh bayaran.
Kau bisa mencintai seekor kucing yang tidak pernah menanggapi semua ocehanmu.
Tetapi pada intinya, cinta yang tidak tepat justru akan menyerangmu layaknya sebuah bumerang yang kau lemparkan. Itulah mengapa luka terdalam yang pernah kau rasakan (selalu) datang dari yang engkau cintai.
Bahkan lebih dari itu, cinta yang membuat kita ketergantungan hanya bersifat merusak! Sumber cinta dari seluruh alam semesta adalah Pencipta itu sendiri. Maka cinta yang tepat selalu berasal dan menuju dari/ke Sang Pencipta.
Jika alam semesta mengujimu dengan menggoyahkan rasa cintamu, percayalah padaku bahwa itu berarti ... Tuhan ingin cintamu berada pada tempat yang tepat dan menguatkannya lewat akar terdalam yang tidak bisa dicabut oleh apa pun atau siapa pun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H