Si Kecil mulai menghitung sembari menunjuk satu per satu burung yang dilihatnya nun jauh di sana. Deru-deru kendaraan tidak memburamkan konsentrasinya. Dia layak menjadi seorang akuntan yang andal di masa depan.Â
Lagi pula, aku lebih suka suaranya yang khas seorang balita daripada memerhatikan cara menghitungnya yang kacau. Pertama dia bilang "satu", kemudian "dua, tiga, empat", dan tiba-tiba saja menyebut angka "dua belas".Â
Mengapa dua belas, pikirku? Ada apa dengan dua belas?
Aku hampir tenggelam dalam kenikmatan seorang paman yang menggendong keponakannya di sore yang ceria. Tetapi pada detik itu pula, aku melihat seekor tikus raksasa penuh bulu berlari dari arah belakangku dan hendak menyeberang ke seberang jalan.Â
Aku tidak memedulikannya, atau lebih tepatnya, tidak sempat memedulikannya. Dia bergerak cepat sampai-sampai mataku belum mencapai satu kedipan.
Adalah pemandangan biasa jika engkau tinggal di lingkunganku dan melihat hewan-hewan berusaha menyeberangi jalanan yang sibuk. Terkadang kau akan melihat seekor kadal yang sesampainya di seberang jalan, dia tidak lagi mempunyai ekor.Â
Terkadang kau akan melihat seekor landak hijau yang ketika sampai di seberang jalan, berubah menjadi cokelat. Terkadang kau akan melihat seekor anjing, atau ular, bahkan seekor kupu-kupu kuning.
Tapi kali ini berbeda. Hewan itu tidak berhasil mencapai tujuannya. Tepat di samping depanku, dia terlindas pengendara motor hitam yang kebetulan sedang terjebak di jalanan yang sibuk dan dituntut waktu.Â
Tentu aku mengatakan demikian karena menilai dari kecepatan motornya yang di atas kecepatan rata-rata. Dan sesungguhnya, itu hanyalah pemandangan biasa di sini.
Dia terkapar pasrah melambangkan kesakitan yang tak terperi dengan cairan merah kental di sekelilingnya. Perhatianku belum terarah sepenuhnya pada hewan itu, yang sebelumnya kukira sebagai seekor tikus raksasa berbulu yang amat langka.Â
Aku masih begitu asyik mendengarkan hitungan bodoh dari Si Kecil.