Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Catatan Kucing Merah yang Basah

17 Juli 2021   16:06 Diperbarui: 17 Juli 2021   17:03 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia manja, dan menjengkelkan. Dia menumpahkan seperempat gelas kopi pada papan ketik laptopku. Dia menularkan virus yang membuat kedua tanganku punya bercak luka yang kini mulai menghilang. 

Dia mengganggu tidurku di tengah mimpi yang sangat indah. Dia mencakarku dan menimbulkan rasa perih saat bersentuhan dengan air. Itu semua keindahan kisah kami. 

Di balik beberapa keruwetannya padaku, dia adalah pendengar yang baik. Dia tidak akan memberimu tanggapan atau jawaban, dia hanya akan meng-ngeong layaknya seekor kucing biasa. 

Tetapi jika kau punya kedekatan dengannya, perlahan kau akan mengerti tentang apa yang dikatakannya. Sungguh!

Keadaan memaksaku untuk merelakan kepergian dan menabahkan diri pada perpisahan. Tetapi atas rasa hormatku, aku menundukkan kepala dan mengiyakan apa yang hidup timpakan padaku. Itu mudah. 

Dalam pengamatanku sendiri, aku adalah orang gila yang merasakan kesedihan beberapa menit lalu, dan menghibur dirinya sendiri di waktu sekarang. Mujurnya, hiburan itu selalu berhasil! Kau benar, hanya orang gila yang selalu berhasil menghibur dirinya sendiri.

Pelajaran terpenting yang kupetik sore ini justru datang dari keluargaku. Ketika aku masih memangku kucing mungilku di lokasi kejadian, aku melihat Ibu dan saudara perempuanku menangis sendu yang tidak terjelaskan apa alasannya. 

Secara gamblang, air mata mereka menandakan keprihatinan yang tak terperi. Tapi di kedalaman penjelasan, aku tidak tahu: entah karena takut melihat darah atau berempati, menurutku tidak di keduanya.

Di sini dapat kumengerti bahwa keluargaku sangat membenci perpisahan. Mereka tidak pernah dan tidak akan pernah siap dengan perpisahan! 

Mereka tidak memikirkan itu, sebab kehidupan yang bercokol di kepala mereka adalah kehidupan yang diwarnai dengan pertemuan dan lalu hiasan tawa menggelegar lewat kerendahan hati serta kegembiraan. 

Mereka kerap kali menangis histeris ketika seorang sanak saudara meninggal dunia. Aku tidak tahu apa-apa soal perasaan lembut mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun