Darah itu menembus kaosku yang tipis hingga aku bisa merasakan kehangatannya. Kau tahu, kehangatan ini mengingatkanku pada saat berendam di kolam hangat yang mengasyikkan. Hanya bedanya, yang sekarang terkesan memilukan. Sangat pilu hingga aku tidak tahu lagi caranya menangis.Â
Aku ingin, terutama karena mataku sudah teramat perih. Tapi tidak ada air mata! Aku tidak tahu mengapa. Tapi aku rasa, itulah bentuk keprihatinanku yang tertinggi. Air mata itu tidak lagi tampak di permukaan, melainkan menggenangi seluruh samudra kecil dalam hatiku.
Kami terlambat, kau tahu.Â
Pada dasarnya, perlu 15 menit untuk sampai ke dokter hewan terdekat. Tetapi karena aku sendiri adalah seorang majikan bodoh yang terlambat menanggapi tragedi itu, aku kehilangan satu lagi teman setiaku dalam mengobrol.Â
Kini tidak akan ada lagi makhluk yang mendengarkan ocehanku setulus dia. Sejauh kedekatan kami, dia amat rendah hati, bahkan ketika aku lupa memberinya makan.
Tapi sekali lagi, kami terlambat. Atau lebih tepatnya, aku terlambat.Â
Di bawah kehangatan mentari yang hampir tenggelam ini, aku merasakan kekecewaan yang amat mendalam tentang betapa khianatnya keindahan langit yang cerah. Mereka menipu!Â
Mereka tidak mengungkapkan kegelapan sehingga aku tidak mempersiapkan diri untuk apa pun yang berbau semacam tragedi mengenaskan! Mereka licik! Mereka pesulap yang keji!
Ada satu hal yang lebih buruk bagi akalku: mengapa dia harus mengalami sekarat yang lama? Jika pada akhirnya harus mati, mengapa rasa sakitnya berlangsung lama? Jika pada akhirnya tidak ada yang bisa diperjuangkan, mengapa penderitaannya begitu panjang?Â
Maksudku, sungguh? Apa yang kau bisa katakan tentang itu?
Aku mengerti bahwa perkara seperti ini tampak sepele bagi beberapa orang. Tetapi yang tidak mereka mengerti adalah, kedalaman hubunganku dengan seekor kucing.Â