Menangis sendirian di bawah pohon beringin yang diterpa hujan deras sudah cukup jelas untuk menggambarkan kedalaman depresi saya beberapa tahun yang lalu. Hidup saya dengan cepat berputar menuruni bukit, seolah-olah batu yang sangat besar telah memaksa saya untuk jatuh.
Kala itu kakek saya meninggal dunia karena tabrak lari. Padahal sebelum tragedi itu, saya sudah dalam keadaan lesu karena nyaris semua teman yang begitu akrab dengan saya sudah berbondong-bondong pindah ke kota.
Beberapa kesenangan juga sudah hilang ditelan angin. Dan keadaan yang buruk itu saya bawa hingga ke sekolah dengan berujung kegagalan dalam ujian yang sebelumnya belum pernah terjadi. Depresi saya semakin menjadi-jadi.
Saya merasa sendirian. Tidak seorang pun yang mengerti itu. Di tengah pikiran yang hiruk-pikuk dan mencekik, saya tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk hidup. Setiap langkah yang saya jalani terasa sangat menyakitkan, dan pada puncak nestapa, saya terkapar sakit.
Dalam setiap lamunan yang terlintas lama, saya mundur beberapa bulan dan merasakan hidup yang amat bahagia. Kenangan itu berputar-putar dengan indah seperti kunang-kunang di kala malam, bahkan beberapa kali seperti kupu-kupu Morpho yang terbang menggoda.
Kening saya terus-menerus dikompres dengan kain basah untuk mendinginkan rasa terbakar. Saya merasa kehabisan obat yang mereka sebut dengan gairah hidup. Saya tidak bisa pergi ke mana-mana, dan bayangkan betapa buruknya itu karena umur saya belum mencapai 16 tahun!
Yang saya inginkan kala itu hanyalah hidup saya kembali lagi untuk merasa riang dan bersenang-senang dengan semua orang, untuk menikmati langit jingga bersama capung merah, untuk melihat ke cermin dan mengenali siapa yang sedang menatap saya.
Ketakutan yang sesungguhnya adalah ketika Anda tidak tahu betul apa yang salah. Ketika Anda kehilangan diagnosis yang fundamental itu, semua orang yang Anda kenal terkesan tidak memberikan dukungan apa pun.Â
Kondisi itu adalah tempat yang sangat sepi.
Rasa sakit yang tidak Anda ketahui apa obatnya bisa membuat seluruh dunia terasa remuk, dan tali melingkar yang tergantung di ranting pohon itu terlihat seperti jalan pintas yang amat mudah.Â
Dalam kacamata Anda, semua hanyalah kesuraman dari kabut kehidupan yang egois.
Setelah keadaan mulai membaik, saya sudah terlanjur kehilangan gairah hidup. Rencana besar saya adalah menjatuhkan diri ke kasur yang empuk selama berminggu-minggu sehingga saya bisa tidur dan melarikan diri dari apa yang saya alami.
Kenyataannya, itu tidak terjadi. Dalam satu momen berharga di kelas Sejarah, guru saya menerangkan tentang Abad Pertengahan yang melanda Eropa pada abad ke-5 sampai abad ke-15 Masehi.
Saya yakin Anda juga pernah mendengar ini, bahwa kekuasaan yang absolut dari Gereja telah membuat perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di Eropa mengalami kemunduran dan stagnan setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat.
Beberapa tokoh yang tercatat seperti Galileo Galilei dihukum mati oleh otoritas (hanya) karena mengemukakan gagasan yang bersimpangan dengan doktrin Gereja. Maka tidak heran bahwa Abad Pertengahan ini juga disebut sebagai Zaman Kegelapan.
Waktu berlanjut dan perlahan-lahan muncul gebrakan dari kaum seniman maupun intelektual. Paham humanisme berkembang pesat hingga berhasil memotivasi masyarakat untuk melepaskan diri dari doktrin Gereja.
Dominasi Gereja pun perlahan memudar. Peradaban dan kebudayaan Eropa yang telah lama padam mulai menunjukkan sinarnya kembali, seakan-akan menjadi "big bang-nya" Eropa. Pada masa itulah kita mengenal istilah Renaissance yang berarti kelahiran kembali.
Mungkin guru saya itu merasa biasa saja saat sedang menerangkan materi. Yang beliau tidak tahu adalah, penjelasan singkatnya itu telah membuat saya tergugah untuk bangkit dari keterpurukan.
Sepulang sekolah, saya mulai mendiagnosis masalah diri saya sendiri di tengah-tengah keheningan dan kehampaan. Tiba-tiba sebuah momen "eureka" terbetik gembira.Â
Itulah masalahnya: saya sedang mengalami "Zaman Kegelapan"! Yang saya butuhkan saat itu adalah semangat Renaissance!
Dengan bercermin pada masa Renaissance di Eropa, saya melakukan beberapa hal berikut.
Lahir kembali
Disebut Renaissance karena pada masa itu telah terjadi "kelahiran kembali" dengan membangkitkan semangat peradaban Eropa yang sempat maju di era Yunani Kuno dan Kekaisaran Romawi.
Tetapi merujuk pada pengembangan diri, saya mengalami "kelahiran kembali" dengan membangkitkan potensi-potensi yang waktu itu sempat tertutupi oleh depresi yang luar biasa.
Saya berhasil membangun seluruh fondasi dari permulaan untuk menyandarkan tangga kemenangan pada dinding yang kokoh. Gairah saya bermain sepak bola mulai dibangkitkan kembali untuk mengisi waktu kosong yang biasanya dipenuhi ratapan kesedihan yang malang.
Kebiasaan membaca buku juga turut disulut kembali. Tawa riang yang pernah lama redam telah mengalir kembali dengan deras. Saya mendengarkan setiap orang, berusaha untuk mengerti mereka, dan lalu mereka balik mengerti saya.
Secara jasmani, saya adalah orang yang sama. Namun jika ditilik dari dalam, saya adalah seseorang yang baru! Semangat belajar kembali memuncak, mengalahkan segala bentuk keluhan yang sering kali muncul ke permukaan.
Saya punya semangat dan gairah baru yang biasanya begitu membosankan layaknya seekor ular yang berganti kulit. Dengan pengembangan diri yang lebih intens ini, saya benar-benar mengerti tentang arti bangkit dari keterpurukan.
Ketika saya bertanya apakah saya memiliki kekuatan untuk melewati apa yang saya alami. Jawabannya: iya, saya mengendalikan itu.
Meskipun butuh banyak tenaga untuk bangkit kembali dan terus berjalan, bagaimanapun juga, diri kita punya daya yang lebih besar untuk melakukannya. Barangkali kita dapat menentukan beberapa area yang punya dampak paling signifikan, dan di situlah kita mesti berjuang.
Jika Anda punya pengalaman serupa, Anda dapat meningkatkan efektivitas proses Anda untuk membuatnya sesederhana mungkin, dan ketika Anda menerapkannya secara konsisten, ruang kepala Anda akan berubah secara dramatis.
Membuang seluruh air keruh dalam bak kamar mandi tidaklah mudah. Tetapi akan menjadi lebih sederhana jika Anda membuangnya sedikit demi sedikit dan teratur.
Pada poin ini, saya sarankan Anda untuk membangkitkan kembali gairah yang dulu pernah menyenangkan Anda setiap waktunya. Dan jika tidak ada, selalu ada kesempatan untuk menciptakan kesenangan yang baru tanpa perlu meminta persetujuan orang lain.
Ingat kembali bahwa Renaissance terjadi karena perjuangan para seniman dan kaum intelektual yang berusaha untuk "memberontak" kekuasaan Gereja.
Melepaskan diri dari paradigma yang keliru
Pada Zaman Kegelapan, seluruh doktrin Gereja harus dipatuhi oleh setiap orang meskipun terdengar tidak masuk akal. Mudahnya, mereka menyandarkan doktrin itu pada kitab suci sehingga masyarakat punya ketakutan untuk mengekang karena berhubungan dengan Tuhan.
Tetapi, doktrin itu sebenarnya telah dimanipulasi sedemikian rupa oleh Gereja agar mereka tetap bisa mempertahankan kekuasaannya yang terlanjur merambat ke segala bidang. Dengan demikianlah, masyarakat seperti telah "dicuci otaknya" untuk selalu tunduk pada doktrin mereka.
Pada akhirnya, Renaissance dipicu oleh semangat perlawanan kaum humanis lewat slogan-slogannya yang meluas. Salah satu yang terkenal adalah kutipan dari Marsilio Ficino, "Kenalilah dirimu sendiri, wahai keturunan ilahi dalam samaran sebagai manusia!"
Dengan tersebarnya slogan-slogan humanisme, masyarakat Eropa saat itu mulai menggeser doktrin Gereja menjadi pemahaman-pemahaman antroposentrisme.
Merujuk pada konteks pengembangan diri, kebangkitan dari keterpurukan juga memerlukan semangat baru yang mungkin terkesan radikal. Dan itu tidak apa-apa. Jika seekor tikus telah menguasai gubuk dan tidak bisa diusir dengan cara apa pun, bakarlah gubuk itu.
Pada titik terendah kala itu, saya punya paradigma yang aneh bahwa seluruh pergerakan alam semesta hanya untuk membuat saya semakin terpuruk dan merasa tidak berguna.Â
Akibatnya, depresi tersebut semakin menggila-gila, nyaris seluruh kewarasan saya telah direnggut habis olehnya.
Saya beralih dari berlutut untuk menyembuhkan jiwa saya dan benar-benar mengubah perasaan saya tentang dunia serta bagaimana saya menggunakan pikiran saya. Terlebih lagi, saya telah mencapai cukup banyak hal sebelum itu.
Suatu waktu di bawah langit biru yang cerah, terbetik sebuah kesadaran kosmik bahwa seluruh pergerakan alam semesta ini adalah bagian dari pertunjukan teater akbar yang amat mewah nan megah untuk menghibur saya.
Pergeseran paradigma tersebut telah membuat segala sesuatu yang saya hadapi tampak berbeda. Segalanya terkesan luar biasa. Bahkan dalam kesepian yang biasanya mencekik itu, saya menemukan banyak kesenangan sederhana yang mudah untuk dicari.
Jika Anda bisa mengendalikannya, pikiran Anda akan menjadi sekutu terbesar Anda. Tetapi kalau tidak, pikiran Anda akan menjadi musuh terburuk Anda.
Ketika Anda tahu bagaimana menggunakan pikiran Anda untuk mencapai apa yang Anda inginkan dalam hidup, saya dapat pastikan bahwa Anda akan merasakan kepuasan yang mendalam sebagai pemuas dahaga dari keliaran ego.
Anda mungkin merasa bahwa Anda punya awan hitam di atas Anda sekarang dan itu tidak akan pernah berubah. Saya mengerti. Tetapi dengan paradigma (cara pandang) yang berbeda, Anda dapat berbahagia bersamanya tanpa takut dia menyakiti Anda.
Di saat-saat tergelap Anda, lihatlah bagaimana pengalaman itu dapat meningkatkan kualitas diri Anda sebagai pribadi yang menyukai tantangan. Seperti kata Rumi, "Cahaya adalah tempat luka memasukimu."
Anda mungkin merasa telah berada di ruang kesuraman dalam waktu yang lama, terkesan sudah terlambat untuk berubah. Atau Anda tidak tahu bagaimana Anda akan menemukan waktu untuk melakukan rekonstruksi pikiran.
Tetapi saya serius bahwa tidak ada kata terlambat untuk berubah dan Anda akan terkagum-kagum tentang betapa cepatnya Anda dapat mengubah pola pikir Anda sebagaimana Renaissance telah menggeser Zaman Kegelapan yang mencekik Eropa selama 600 tahun.
Tidak ada kata terlambat untuk menciptakan identitas Anda yang baru. Pada titik tertentu, kita semua dilempar bola kecemasan oleh kehidupan. Itu akan menjadi bagian dari cerita Anda, tetapi bagaimana cerita itu terungkap, tergantung pada diri Anda sendiri.
Bab berikutnya masih kosong dan Andalah yang harus menulisnya. Jika Anda punya kejelian dalam melepaskan paradigma keliru yang selama ini menyetir hidup Anda, percayalah, cahaya tidak akan berkhianat pada mereka yang berusaha terlepas dari kegelapan.
Pengetahuan adalah kekuatan
"Knowledge is power" merupakan salah satu kutipan paling terkenal di masa Renaissance yang datang dari Sir Francis Bacon. Meskipun kutipan itu tidak berarti apa-apa di telinga orang awam, tapi bagi saya itu adalah ungkapan yang sangat jujur.
Pengetahuan adalah kekuatan. Puncak kebangkitan saya dari titik terendah adalah dengan menggebunya semangat belajar. Saya katakan pada diri sendiri bahwa saya manusia dan saya pantas punya pengetahuan melebihi seekor lumba-lumba.
Hidup saja tidaklah cukup! Suka tidak suka, manusia mesti punya keinginan untuk menambah pengetahuannya. Mereka yang sombong adalah mereka yang berhenti belajar karena merasa cukup tahu.
Hal yang ingin saya katakan kepada Anda adalah, pengetahuan yang benar menggiring Anda pada kebahagiaan. Sungguh! Saya telah belajar Filsafat selama dua tahun belakangan ini, dan yang saya dapatkan amat-sangat luar biasa.
Saya menjadi diri saya sendiri. Tidak semua orang mampu menjadi dirinya sendiri. Kebanyakan dari kita sering tidak sadar sedang dikendalikan oleh ucapan orang lain, atau penilaian teman-temannya di pesta ulang tahun.
Dan sebenarnya, begitulah yang akan terjadi ketika Anda membuka pandangan yang lebih luas pada dunia: Anda akan menemukan bahwa satu-satunya jalan terbaik untuk terus menjalani hidup adalah dengan menjadi diri sendiri.
Ketika Anda mampu menjadi diri sendiri, Anda sedang menempati posisi ideal Anda dalam kehidupan. Demikianlah Anda semakin mudah untuk mengendalikan diri Anda, dan semakin besar pula potensi kebahagiaan untuk menimpa Anda.
Kini saya dapat mengagumi titik terendah itu dengan senyuman berterima kasih. Tidak ada keajaiban yang lebih berkilauan bagi saya selain jerih payah saya sendiri ketika bangkit dari keterpurukan.
Mungkin Anda sedang mengalami pengalaman yang sama pahitnya dengan saya. Jadi yang Anda perlukan sekarang adalah, semangat Reinassance yang membara dalam jiwa Anda, membangkitkan segala keriangan yang dulu pernah ada, tidak peduli Anda harus memulainya dari nol kembali.
Pada akhirnya, tidak seorang pun di dunia ini yang bisa menghindari fase terendah dalam hidupnya. Bagaikan roda nasib yang sudah dipastikan akan melindas setiap orang, momen seperti itulah yang justru sering menjadi awal dari kebahagiaan yang baru dan lebih mendalam.
Dalam kata-kata Horatius, "Carpe diem, quam minimum credula postero." (Petiklah hari ini dan percayalah sesedikit mungkin akan hari esok).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H