Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sirene Kematian: Sebuah Imbauan Kedaruratan Pandemi

18 Juni 2021   10:22 Diperbarui: 18 Juni 2021   10:35 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabarnya, virus itu sudah merenggut lebih dari 600 nyawa anak-anak di negeri ini. Kini spekulasi orang-orang telah digugah, sebab statistik telah mencatat bahwa penyakit yang dimaksud tidak pandai memilih korban.

Separuh dari jumlah tersebut merupakan para balita yang belum tertimpa dosa sama sekali. Mereka adalah penduduk baru yang melakukan kunjungan singkat ke sebuah drama akbar. Mereka seperti para aktor yang dinarasikan sebagai kupu-kupu penggaris luka!

Mendadak sayap itu patah seiring jeritan yang amat pedih. Tetapi jeritan itu tidak datang dari mereka yang pergi, melainkan dari mereka yang bertahan. Justru rasa sakit tak terperi malah menggerogoti mereka yang ditinggal dan bukannya mereka yang meninggal.

Tidak begitu penting bagaimana raut wajah mereka saat tercerabut dari waktu. Tidak seorang pun yang bisa mengerti bagaimana rasa sakitnya. Satu-satunya yang menarik bagi Penulis adalah, apa makna kunjungan mereka?

Grafik kembali melonjak, tetapi data-data itu seperti bola mutiara yang kehilangan kilauannya. Mayoritas orang tidak lagi peduli. Mata dan telinga cepat-cepat dialihkan, sekonyong-konyong membuang muka dari apa yang dipedulikannya kala itu.

Karena alasan yang jelas, grafik dan statistik tersebut tidak memberikan kebahagiaan sedikit pun. Tetapi demikianlah adanya, bahwa hal-hal semacam itu tidak diciptakan untuk membawa kabar gembira, melainkan bentuk sederhana dari imbauan yang semu.

Angka-angka itu tidak mengobati apa pun. Mereka sering menipu dan berbohong! Sekali-dua kali mengabarkan fakta, orang-orang terlanjur kecewa padanya. Mereka lebih mirip seperti burung gagak yang kedatangannya (hanya) mewartakan kabar duka.

Siapa yang bisa memastikan kebenaran angka-angka itu? Tidak seorang pun, karena bukan perkara demikian yang mesti kita pedulikan. Apa yang jelas tersingkap di depan kita adalah, kedaruratan pandemi yang belum usai.

Pandemi datang seperti seruan perang yang tidak dipersiapkan. Dia berdiri di depan pintu sebagai tamu tak dikenal. Justru karena dia hanya berdiri, kita menjadi lengah. Tetapi hal yang terlambat disadari adalah, dia menyebarkan paku tak kasat mata di sepanjang lantai.

Tamu itu datang untuk menggeser posisi kita sebagai majikan; suatu kenyataan yang teramat pelik di mana manusia begitu kewalahan oleh tamu kecil setelah sekian kalinya. Bahkan segala peralatan modern tidak begitu berdaya, dan tidak ada yang tahu sejauh mana semua itu akan membantu.

Tidak ada yang mengira bahwa kasus virus di satu wilayah akan menjadi bencana global. Ketika wabah terjadi di sana, orang-orang hanya menganggapnya sebagai balutan permen kapas yang akan segera larut bersama samudra kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun