Alam diam, maka ia tidak hidup.
Konyol! Bumi itu hidup! Kitalah yang menghidupkannya. Kita hidup dan bernaung di planet ini bersama alam, maka Bumi adalah kita.
Ulangi sekali lagi, Tuan dan Nyonya, Bumi adalah kita. Artinya, merusak planet ini sama saja dengan menghancurkan diri sendiri bagaikan rokok yang tersulut habis oleh api.
Jika alam bisa berbicara pada manusia, tentu telinga kita akan begitu benci untuk mendengarnya. Dua kata yang terlontar saja bisa merobek gendang telinga kita. Dan satu kalimat adalah penusukan oleh pisau alam.
Para ilmuwan berlomba-lomba untuk membuat katalog keanekaragaman hayati di Bumi, bekerja melawan waktu karena kepunahan terus terjadi.
Laporan utama yang dibuat oleh WWF dan melibatkan 59 ilmuwan dari seluruh dunia menemukan bahwa konsumsi makanan dan sumber daya yang terus meningkat oleh populasi global menghancurkan jaringan kehidupan.
Padahal, butuh milyaran tahun untuk alam memproduksi semua itu. Ini lebih dari sekadar kehilangan keajaiban alam, meskipun itu sudah sangat menyedihkan.
Ini sebenarnya adalah bunyi alarm bagi peradaban manusia. Alam bukanlah sesuatu yang tersedia untuk dieksploitasi dengan rakus. Ia tersedia untuk dimanfaatkan secukupnya.
Apakah hamparan samudera masih kurang cukup untuk menjadi cermin raksasa bagi umat manusia? Lihat diri kita. Apakah kita benar-benar manusia?
Jangan-jangan kita ini adalah umat materialis yang gila, penuh ambisi kosong, mengutamakan nafsu, hilang kesadaran diri. Lantas apa yang membedakan kita dengan hewan?
Jangan-jangan manusia inilah si monster yang sesungguhnya (?)