Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Manusia adalah Monster yang Nyata

4 April 2021   08:39 Diperbarui: 4 April 2021   08:39 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alam telah berbicara pada kita | Ilustrasi oleh Stefan Keller via Pixabay

Maaf merusak akhir pekan Anda, tapi tragedi ini jauh lebih penting ketimbang kencan Anda yang besar kemungkinan berujung kegagalan.

Sampai batas tertentu, kepunahan itu wajar. Perubahan habitat dan kemampuan reproduksi yang buruk merupakan salah satu faktor yang dapat memicu kepunahan.

Hal tersebut membuat suatu spesies memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi ketimbang angka kelahirannya dalam jangka panjang sehingga akhirnya tidak ada yang tersisa.

Fosil yang ada menunjukkan bahwa bumi telah mengalami lima periode kepunahan massal dalam jumlah yang luar biasa tinggi.

Bisa dibilang, bumi telah mengalami lima kali kiamat kepunahan.

Para ilmuwan bertanya-tanya, apakah sekarang bumi sedang berada di tengah-tengah kepunahan massal yang keenam.

Karena yang terjadi sungguh mengerikan. Satu hingga lima spesies per tahun mengalami kepunahan. Itu berarti, biodiversitas bumi mengalami kepunahan 1.000 kali lebih cepat dari kecepatan kepunahan alami.

Manusia sebagian besar bertanggung jawab atas tragedi yang mencolok ini.

Program Lingkungan PBB yang mencakup perwakilan dari 132 negara melaporkan bahwa 25% mamalia, lebih dari 40% spesies amfibi, hampir 33% hiu, 10% spesies serangga, dan 25% kelompok tumbuhan terancam punah.

Berdasarkan proporsi tersebut, para peneliti memperkirakan bahwa sekitar 1 juta spesies hewan dan tumbuhan bisa punah dalam "beberapa dekade".

Tidak ada jawaban pasti untuk penyebabnya. Ini adalah kematian karena seribu luka.

Tampaknya manusia tidak selalu hebat dalam mengatur diri sendiri, terutama ketika segala sesuatunya tampak melimpah dan enak.

Lihat populasi burung dodo yang dulunya melimpah di pulau Mauritius. Para penjelajah samudera menghancurkan populasi burung dodo sebagai sumber daging segar yang mudah untuk bekal perjalanan mereka.

Atau kepunahan mammoth berbulu yang menjadi imbas dari kombinasi mematikan antara perubahan iklim dan nafsu makan manusia yang ganas.

Memang, kita tidak terlibat apa pun dalam kepunahan dua spesies tersebut. Tapi, kita melakukannya dengan lebih buruk.

Jangan pura-pura tidak tahu dengan "kerajaan plastik" yang kita ciptakan. Kemudian limbah rumah tangga yang justru lebih mengerikan ketimbang limbah pabrik.

Kita dengan mudah mengatakan, "Sepele." Dan jika 7,4 miliar orang berpandangan seperti itu, alasan apa lagi yang ingin kita berikan pada alam?

Alam telah berbicara pada kita.

Menurut laporan IPBES, sekitar 75% daratan dan 66% lautan telah diubah secara signifikan oleh manusia, sebagian besar didorong oleh produksi pangan.

Kita berusaha menyingkirkan kerajaan alam untuk mendirikan kerajaan kita sendiri. Padahal, apa jadinya manusia tanpa kerajaan alam?

Operasi tanaman dan peternakan saat ini menguasai lebih dari 33% permukaan tanah Bumi dan 75% sumber daya air tawar.

Laporan yang sama juga menemukan bahwa kelimpahan rata-rata tumbuhan, hewan, dan serangga asli telah turun di sebagian besar ekosistem utama setidaknya 20% sejak tahun 1900 karena spesies invasif.

Para ilmuwan percaya bahwa polusi, pembukaan lahan, dan penangkapan ikan berlebihan dapat menyebabkan kepunahan setengah dari spesies darat dan laut yang ada di planet ini pada tahun 2100.

Kita tidak bisa lagi mengatakan bahwa kita tidak tahu. Kita tidak pernah memiliki satu pun pernyataan lugas dari pemerintah dunia yang menjelaskan krisis biodiversitas secara tegas.

Apalagi kurikulum nasional yang memperingatkan bahwa Bumi sedang berada di ujung tanduk; tidak, tidak ada. Karenanya jangan heran kalau generasi muda kita tidak tahu apa-apa soal itu. Mereka lebih suka bermain video game yang pada dasarnya disajikan oleh peradabannya.

Tragedi ini seperti menjadi fenomena baru yang kita lihat di sini. Padahal, kitalah para pelakunya. Kita sedang berjalan menuju tepi jurang dengan mata terpejam.

Kita memperjuangkan segala kebutuhan dan kepentingan kita. Perhatikan dua pilihan berikut: mempertimbangkan kelestarian alam atau mengabaikan kelestarian alam.

Mayoritas orang akan menjatuhkan pilihan bukan berdasar pada kelestarian alamnya, tapi tentang seberapa menguntungkannya pilihan itu bagi mereka.

Jika merusak alam berarti memenuhi segala kebutuhannya, maka itulah yang mereka pilih. Penutup mata itu semakin lekat menggelapkan pandangan dan pikiran.

Padahal, merusak kerajaan alam sama dengan mengikis fondasi ekonomi, mata pencaharian, ketahanan pangan, kesehatan, dan kualitas hidup kita di seluruh dunia.

Karena pada dasarnya, alam bukan sekadar pelayan manusia. Alam adalah bagian dari manusia itu sendiri. Kita sedang merusak peradaban kita sendiri.

Kita menjadi buta dan tuli hanya karena alam tidak melayangkan protes dan keluhan atas eksploitasi manusia terhadapnya. Bumi dipandang seperti sebongkah batu raksasa yang (sekadar) mewadahi kehidupan akbar.

Alam diam, maka ia tidak hidup.

Konyol! Bumi itu hidup! Kitalah yang menghidupkannya. Kita hidup dan bernaung di planet ini bersama alam, maka Bumi adalah kita.

Ulangi sekali lagi, Tuan dan Nyonya, Bumi adalah kita. Artinya, merusak planet ini sama saja dengan menghancurkan diri sendiri bagaikan rokok yang tersulut habis oleh api.

Jika alam bisa berbicara pada manusia, tentu telinga kita akan begitu benci untuk mendengarnya. Dua kata yang terlontar saja bisa merobek gendang telinga kita. Dan satu kalimat adalah penusukan oleh pisau alam.

Para ilmuwan berlomba-lomba untuk membuat katalog keanekaragaman hayati di Bumi, bekerja melawan waktu karena kepunahan terus terjadi.

Laporan utama yang dibuat oleh WWF dan melibatkan 59 ilmuwan dari seluruh dunia menemukan bahwa konsumsi makanan dan sumber daya yang terus meningkat oleh populasi global menghancurkan jaringan kehidupan.

Padahal, butuh milyaran tahun untuk alam memproduksi semua itu. Ini lebih dari sekadar kehilangan keajaiban alam, meskipun itu sudah sangat menyedihkan.

Ini sebenarnya adalah bunyi alarm bagi peradaban manusia. Alam bukanlah sesuatu yang tersedia untuk dieksploitasi dengan rakus. Ia tersedia untuk dimanfaatkan secukupnya.

Apakah hamparan samudera masih kurang cukup untuk menjadi cermin raksasa bagi umat manusia? Lihat diri kita. Apakah kita benar-benar manusia?

Jangan-jangan kita ini adalah umat materialis yang gila, penuh ambisi kosong, mengutamakan nafsu, hilang kesadaran diri. Lantas apa yang membedakan kita dengan hewan?

Jangan-jangan manusia inilah si monster yang sesungguhnya (?)

Kita mereka-reka monster yang mengerikan di dalam dunia dongeng. Tapi lihatlah kita! Tidakkah kita lebih menyeramkan ketimbang monster-monster yang kita buat-buat sendiri itu?

Jika Anda masih duduk diam seolah-olah sedang tak terjadi apa-apa, bergegaslah menuju cermin dan tatap dalam-dalam diri Anda.

Ada monster yang bersembunyi di balik mata Anda. Dan kalau Anda masih tidak merasakan apa-apa, monster itu akan semakin menguasai diri Anda.

Dan lihat sekarang, monster itu adalah Anda.

Manusia adalah monster yang nyata.

Kita dengan cepat kehabisan waktu. Hanya dengan menangani ekosistem dan iklim, umat manusia memiliki peluang untuk melindungi kestabilan planet ini demi anak-cucunya.

Ya, saya adalah salah satunya.

Tragedi ini begitu akbar dan mengerikan. Memang tidak ada usaha "sempurna" dan instan yang bisa mengatasinya. Tapi, usaha kolektif bisa menjadi jawaban.

Usaha kolektif adalah usaha kita bersama untuk menjaga Bumi dengan masing-masing individu memiliki kesadaran terhadap apa peranannya.

Jangan pura-pura tidak tahu; mengurangi penggunaan plastik apalagi yang sekali pakai, meminimalisir limbah rumah tangga dengan memilih hal-hal yang alamiah, atau mengurangi penggunaan kendaraan pribadi bisa menjadi usaha kolektif kita untuk Bumi ini.

Jika sebagian individu masih saja menunda-nunda, maka umat manusia akan terbelah. Kita bagaikan para monster yang sedang berperang melawan kawanannya sendiri. Tidakkah kita merasa malu?

Tuan dan Nyonya, ada satu hukum mutlak yang alam tentukan, "Perlakukanlah orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan."

Ingatlah, akan tiba hari di mana Tuan dan Nyonya berdiri tertegun di hadapan kami selaku generasi penerus. Salah seorang dari kami atau bahkan seluruhnya akan berteriak menggugat Tuan dan Nyonya di hadapan persidangan Kerajaan Alam.

Di waktu nanti, mungkin kebun binatang dipenuhi oleh hewan-hewan hasil hologram yang menjadi teknologi paling mutakhir.

Generasi kami bisa melihat badak jawa, harimau sumatera, cendrawasih, atau komodo; tapi dari foto-foto yang terkenang.

Pasti masih ada yang tersisa di alam bebas, tapi itu hanya sekelumit dari keanekaragaman masa lalu, sekadar remah-remah dari sajian hidangan kerajaan alam.

Jika orang telah melakukan sebuah kebodohan, maka jangan sekadar berdiam diri menyesali perbuatan itu. Tidak, tapi bangkitlah dan perbaiki segala yang telah dirusak.

Kami mohon, kembalikan semua tanaman dan hewan itu pada kami! Jangan habiskan sumber daya tak terbarukan itu!

Kami ingin dunia tempat hidup kami nanti seindah dunia yang Tuan dan Nyonya nikmati sekarang. Tahu 'kan mengapa? Karena itu utang kalian pada generasi kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun