"Kalau begitu, apakah ada kehendak bebas?" Shira melanjutkan, "Apakah kita seperti wayang yang dimainkan oleh seorang dalang?"
"Tuhan bukan seorang dalang."
Shira menatap Ares penuh kebingungan. Rasanya cukup berat untuk dipikirkan oleh seorang gadis yang baru tumbuh remaja.
"Seiring waktu, kamu akan mempelajarinya, Shira," tutup Ares. Ia menjilati bulu-bulunya yang lembut, perlahan mulai membaringkan diri di meja belajar. Shira masih membatu tanpa kata.
Shira merasakan sentuhan yang kasar pada pinggangnya. Itu cukup membuatnya merasa geli.
"Kak, bangun! Umma akan marah kalau Kakak masih tidur di Minggu pagi," ungkap si kecil Darsa, adik satu-satunya Shira.
"Ah, iya. Kakak barusan sedang tidur?" tanya Shira setengah sadar dengan mata separuh terbuka; Darsa terlihat samar-samar. Ia mengenal itu Darsa karena suaranya yang khas seorang anak. Tak ada anak kecil di rumah selain Darsa.
"Kakak kira bagaimana?"
"Ya, Kakak baru saja terbangun."
"Kakak berkata seperti seseorang dari planet asing."
"Sudah kuduga, tidak mungkin seekor kucing bisa berbicara."