Shira Aksara terbangun tiba-tiba dengan suara jam weker yang bising. Tepat pukul 4 subuh. Sejenak ia duduk di atas ranjang, memandang kosong jendela yang tertutup, perasaannya cukup kacau. Mimpinya tadi begitu indah, pikir Shira. Namun sayang, ia harus terbangun karena suara jam weker yang menjengkelkan. Ini untuk pertama kalinya Shira benar-benar mengingat setiap detail dari mimpinya. Biasanya, tak peduli mimpi indah atau buruk, Shira segera lupa dengan mimpinya sendiri.
Perlahan Shira bangkit dari duduknya, sesekali mengusap mata dan menguap. Ia melihat sekeliling kamar, tampak seperti kapal pecah. Baju-baju berserakan di lantai, buku-buku terbuka di meja belajar, potongan-potongan balok lego tak kalah berserakan.Â
Shira sangat suka bermain lego, merangkainya menjadi sesuatu yang baru, bereksperimen layaknya seorang ilmuwan. Dan ia sering membiarkan potongan-potongan itu berceceran di lantai. Entah karena malas atau lupa, itu sering terjadi.
Shira menghampiri kalender yang tergantung tepat di sebelah kiri jendela. Tertanggal 15 April 2005. Segera ia menyobeknya dan tanggal itu berubah menjadi 16 April. Gema azan mulai terdengar. Shira berjalan menuju kamar mandi, mengambil wudu untuk salat subuh. Selesai salat, ia tetap duduk manis di sajadahnya, memikirkan mimpi tadi, coba meramalkan apa arti mimpi itu.Â
Masyarakat Yunani dan Mesir kuno percaya bahwa mimpi merupakan media komunikasi supranatural dari intervensi Ilahi, yang pesannya dapat ditafsirkan oleh orang-orang dengan kemampuan spiritual terkait. Mungkinkah Shira bisa menafsirkan mimpinya sendiri?
Setelah lama merenung, ia bangkit dari sajadahnya dan kemudian melipatnya untuk disimpan di lemari khusus. Segera ia duduk di kursi belajarnya. Shira membuka laci di meja belajarnya dan mengeluarkan sebuah buku catatan kecil berjilid kain biru muda yang khusus untuk mencatat curahan hatinya. Ia juga mengeluarkan sebuah pena dan mulai menulis di lembar ke-21 buku catatannya.
Aneh, pikirku. Pertama kalinya aku bisa mengingat sebuah mimpi dengan rinci. Dan itu benar-benar mimpi indah! Sungguh menyedihkan, bahwa aku harus terbangun darinya hanya karena jam weker yang bising. Aku ingin mimpi itu sekali lagi! Atau setidaknya, biarkan aku hidup dalam mimpi. Dengannya aku bisa menjadi "dalang" dari kehidupanku sendiri.
Shira menutup buku catatannya. Lalu menyimpannya kembali ke dalam laci. Ia membatu sejenak dengan pikirannya yang kacau.
"Rasanya sangat tak rela untuk meninggalkan mimpi itu," desah Shira dengan putus asa. Ia melamun beberapa saat hingga tak sadar tertidur dengan kepala jatuh ke meja belajarnya. Barangkali Shira berharap bisa melanjutkan mimpinya tadi. Andaikan itu mudah!
Terdengar suara halus langkah kaki dari tangga menuju kamar. Itu Ares, kucing kesayangan Shira. Dia berlari dengan gesit menghampiri Shira, kebetulan pintu kamar sedang terbuka.
"Eh, Ares. Aku kira kamu iblis yang ingin merenggut keindahan mimpiku," ujar Shira setengah sadar. Ia melanjutkan, "Aku bermimpi indah sekali! Apakah kamu pun bermimpi, Ares?"