Kenapa ada istilah miskin?
Apa itu miskin dan kemiskinan dalam kacamata yang lain?
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan keterbatasan?
Lalu apa keterbatasan itu?
Kenpa kita bisa dengan mudah mengatakan Si A memiliki keterbatasan?
Jika keterbatasan adalah sebuah kekurangan, lalu dimana tolak ukurnya?
Kita kerap melihat sebuah kota melalui siaran televisi, gedung-gedung yang menjulang tinggi, jalanan yang terlihat rapih, taman-taman dengan rumput yang hijau, dan invastruktur lainnya.
Di balik semua yang terlihat meggah, lantas dengan sekonyong-konyongnya kita menilai bahwa kota tersebut memiliki banyak sumber yang dibutuhkan oleh banyak orang. Sumber yang dimaksud adalah uang, pekerjaan, dan hal penunjangn kehidupan lainnya.
Kota seperti Jakarta misalnya, Ia membawa fatamorgana bagi siapa saja yang berada di desa. Ia serupa harapan dan impian siapa saja yang tidak lagi ingin hidup miskin. Tentunya bagi siapa saja yang memiliki pikiran tersebut, pastilah dia seseorang yang membedakan antara miskin dan kaya melalui cuan.
Selama ini kita mengartikan sebuah kemiskinan adalah mereka yang kesulitan mencari sandang, pangan, pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan.
Dengan era zaman yang terus berkembang, memungkinkan setiap individu memiliki masalah kebutuhan yang terus meningkat, sementara kemiskinan dianggap oleh sebagian besar orang sebagai suatu masalah gelobal. Padahal zamanlah yang terus membuat kita terlihat semakin miskin.
Jika kita melihat suku pedalaman di Banten misalnya, suku yang terkenal dengan nama Badui ini cendrung menutup diri dengan dunia luar, dunia yang dianggapnya tidak dinikmati oleh kehidupan mereka.
Suku ini hidup bersama alam, tanpa membutuhkan sandang, dan tanpa bingung memikirkan pangan karena dari alam mereka menapatkan segalanya. Mereka tidak membutuhkan ketrampilan membaca dan menulis, tetapi mereka merupkan salah satu dari keberagaman suku di negeri ini. Bahkan keberadaan mereka menjadi sebuah daya tarik oleh orang luar untuk dijadikan bahan penelitian.
Suku yang berdiam diri di provinsi Banten pulau Jawa ini memberikan warna yang berbeda, jarak yang tidak terlalu jauh dengan kota Tangerang dan Jakarta menambahkan keunikan tersendiri untuk suku ini. Mereka tidak terletak di bagian Timur negeri ini, seperti yang selama ini kerap kita dengar bahwa kehidupan timur jauh dari barat, dan jauh dari barat artinya terbelakang.
Akan tetapi suku Badui adalah suku penyeimbang alam, suku yang berdiam diri di antara banyak suku yang merusak alam. Dari hasil penjelajahan kaum peneliti untuk mencari tahu keberadaan mereka, dan dari hasil pengamatan tentang aktivitas suku Badui banyak dari para peneliti yang menyimpulkan bahwa mereka adalah sebuah kekayaan.
Berbeda dengan suku pedalama seperti Badui, ada sebuah desa kecil berama Waerebo yang terletak di Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Desa ini teletak sangat jauh dari peradaban kota. Di desa ini kita bisa menyaksikan hamparan hijau tanaman kopi, dan aneka sayur mayur.Â
Desa yang berada di ketinggian seribu seratus meter dari air laut ini memiliki sebutan lain, yaitu negeri di atas awan. Desa tertinggi di negeri ini dengan keindahan kabut dan pegunungan yang melindungi kearifannya.
Melihat Waerebo kita akan menyaksikan kebalikan dari kota Jakarta, Surabaya, atau kota besar lainnya di negeri ini. Di desa ini segalanya ada, semua yang menunjang kehidupan. Bahkan mereka semakin terlihat kaya dengan artistektur rumah adat Mbaru Niang yang kokoh, penuh filosofi, dan tanpa menggunakan paku dan semen. Sebuah pemukiman yang berbeda dengan pemukiman kita di kota.
Keunikan akan desa ini tidak hanya berada pada kondisi wilayahnya yang terpencil dan berada di pegunungan, sumber alam yang melimpah, rumah tradisionalnya yang bernama Mbaru Niang, dan juga tradisi adatnya, tetapi juga dengan kesediaan penduduknya untuk mengikuti kearifan leluhur mereka. Jauh dari pusat peradaban, jauh dari pusat pendidikan, dan kesehatan tidak membuat desa Waerebo tenggelam melainkan semakin dikenal hingga manca negara.
Sementara kita yang berada di kota, yang setiap hari mengonsumsi pengetahuan dari barat, yang hampir setiap hari tidak melepaskan smartphone dari gengaman tangan, yang setiap malam tidur didalam rumah hasil kerja seorang insinyur, yang setiap hari menggunakan rupiah untuk mengobati rasa lapar, bisa jadi tidak lebih kaya dari desa Waerebo. Boleh jadi kita yang hidup di kota lebih miskin dari mereka yang hidup langsung dengan alam.
Selain kekayaan alam yang sudah disebutkan di atas, dari struktur tingkatan rumah Mbaru Niang saja, sudah menunjukan bahwa desa ini sangat kaya dengan nilai filosofisnya di mana tingkatan paling atas pada rumah adat tersebut merupakan simbol hubungan anatara manusia dengan Tuhan.
Kita harus tahu, bahwa Tuhan kita maha baik. Tertara pada sila pertama di idiologi bangsa kita, yaitu Pancasila. Ketuhanan adalah pondasi pertama kita dalam menentukan antara miskin dan kaya, selain sebagai pijakan berbangsa dan bernegara.
Akan tetapi masyarakat kita masih tidak bisa mencerna sila pertama ini secara mendalam dalam kehidupan sehari-hari sebagai orang Indonesia. Padahal ideologi ini sudah kita pelajari sejak sekolah dasar dengan nama mata pelajaran PKN.
Melanjutkan soal sila pertama, umumnya waraga negara kita belajar agamanya masing-masing, tertera pada kurikulum sebagai salah satu mata pelajaran yang harus ada di sekolah. Kenapa memahami sila pertama dan keagamaan begitu penting dalam menentukan miskin dan kaya. Bagi mereka yang dekat dengan Tuhan di manapun meraka berada, tentunya pemahaman ajaran agama sangatlah penting. Dengan mempelajari ajaran agama kita masing-masing, kita tidak akan pernah merasa miskin karena ada Tuhan bersama kita. Tuhan menciptakan rizkinya dan mengeluarkannya dari berbagai sumber.
Bahkan dalam ajaran Islam pun, Allah telah menjanjikan dan memastikan rizki bagi setiap bayi yang telah dilahirkan ke dunia. Rizki tersebut dapat keluar dari bumi dan langit. Ajaran yang lain selain Islam pun membahas tetang rezki, yang artinya Tuhan mereka tidak mengizinkan kita untuk merasa miskin karena ada berbagai cara untuk mendapatkan rizki meskpun pengantarnya dalam bentuk mantra atau doa sebelum benar-benar melakukan atau setelah berusaha.
Akan tetapi, sayangnya manusia tidak lebih percaya kepada Tuhan. Mereka yakin bahwa harta benda akan mengentarkan mereka kepada kebahagiaan. Mereka pula yakin, kota adalah sebuah tempat yang dapat memenuhi kebutuhan itu. Mereka para perantau atau kaum urban yang tidak ingin miskin, mereka pula dari golongan para pekerja keras, dan mereka juga tidak mau disebut bodoh walaupun mereka mengaku kaum awam.
Akan tetapi dengan datang ke ibu kota demi mendapatkan peruntungan adalah sebuah tindakan yang berangkat dari titik kemiskinan. Sepasang suami istri merantau, dan meninggalkan anaknya kepada orang tua mereka sendiri di kampung halaman untuk diurus.
Sementara orang tuanya sepasang suami istri tadi mengajari cucuk mereka dengan cara seperti mengajari ibu bapaknya. Lambat laun, cucuk tersebut akan mengikuti jejak orang tuanya untuk berangkat ke kota, menjadi seorang perantau. Semua perantau berangkat dari apa yang disebut kemiskinan, entah mereka sadar atau tidak jikalau mereka benar-benar miskin atau sebaliknya.
Menjadi perantau seperti menjadi sebuah tradisi. Jika anak tertua dari salah satu keluarga beranak empat telah memberanikan diri untuk merantau, kemungkinan besar anak-anak lain yang lebih muda darinya juga akan menyusul. Ini bukan tanpa alasan, salah satu penyebabnya seperti yang telah disebutkan pada lagu Qosidah Nasida Ria yang berjudul "Tahun 2000."Â
Banyak persawahan dan ladang yang sudah tidak bisa ditanami, karena tanah-tanah tersebut telah diakui oleh pihak lain. Kemudian lambat laun, warga yang biasa menggarap tanah yang dulu katanya milik bersama kini mereka bekerja di tanah yang sama tetapi diawasi oleh mandor dan dimiliki oleh seorang pengusaha pertanian yang kaya raya.
Jika keadaan tidak memihak kepada para buruh tani, sawah-sawah yang dahulu digarap bisa jadi sekarang telah berubah menjadi perumahan siap huni. Alhasil mereka tidak punya banyak lapangan pekerjaan di desanya sendiri. Ada beberapa petani yang memutuskan untuk menjual makanan dengan berkeliling dari dusun ke dusun, ada yang menjual sayuran, ada yang menjual hasil kerajinan seperti sapu atau dingklik, dan lain sebagainya.
Namun sayangnya jumlah populasi di desa memang meningkat, akan tetapi mereka tidak hadir di desanya sendiri melainkan di kota orang lain sebagai perantau. Padahal para buruh tani ini adalah orang-orang produktif yang selalu mencari solusi, namun apa jadinya produktifitas tanpa pembeli.
Iya, mereka para perantau adalah orang-orang yang telah digiring untuk dijadikan konsumen. Mudahnya begini, seorang pemuda yang baru saja pindah ke kota untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya setelah mendapatkan ijazah SMA. Seorang pemuda itu pasti akan memilih kos sebagai tempat hunianya. Kemudian karena di kos tidak ada alat-alat yang lengkap untuk memasak, maka Si pemuda tadi akan memilih membeli nasi di warung.
Sementara kebutuhan yang berbeda akan didapatkannya saat memenuhi tugas-tugas perkuliahan, biaya membeli buku, biaya seminar, biaya wifi, biaya nongkrong di warung kopi, dan belum biaya-biaya kecil lainnya. Ini baru anak kosan, belum perantauan lain yang datang ke kota untuk bekerja sebagai kasir, pelayan, tukang bersih-bersih, buruh pabrik, karyawan kantor, dan lain-lain pokoknya. Dan yang pasti, setiap perantau akan menjadi konsumen yang dengan tiba-tiba membutuhkan ini dan itu, tiket mudik, biaya service mobil untuk perisiapan mudik, dan lain sebagainya.
Orang kota memang sangat miskin, apa mereka membutuhkan uang untuk menukar sesuatu. Seperti saat kehabisan air minum misalnya, pasti uang akan berbicara untuk membuat kerongkongannya kembali basah dengan menukarkannya ke warung atau ke mini market terdekat.
Akan tetapi mereka merasa kaya, karena masih ada banyak uang di dalam kartu tabungan mereka yang bisa kapan saja digunakan. Iya, mereka mengandalkan uang disetiap kebutuhan. Mereka adalah orang-orang miskin yang menggantungkan hidupnya pada selembar rupiah.
Namun, mereka yang di kota maupun di desa yang menggantungkan hidupnya dengan uang tidak bisa disalahkan. Itu semua disebabkan oleh zaman dan monopoli kemodernan yang terus berkembang. Jika orang-orang kaya, para pengusaha, juragan, atau bos besar telah menggantikan tenaga mereka dengan mesin seperti yang telah diisu-isukan oleh para pengamat sosial maka malanglah nasib mereka. Yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan binasa.
Padahal jika kita mengembalikan diri pada zaman yang telah lalu, orang-orang yang hidup bergentung dengan alam seumur hidupnya tidak akan pernah miskin, dengan catatan monopoli uang tidak masuk ke wilayah mereka.Â
Seorang petani tidak akan takut kelaparan jikalau sawah mereka gagal panen, karena tanah mereka masih bisa ditumbuhi ubi-ubian. Mereka juga tidak memperlukan gas dan kompor, karena pawon mereka akan membakar kayu kering dari hutan-hutan yang lebat.
Mereka juga bisa ngembala kambing atau sapi untuk dimanfaatkan dagingnya. Juga mereka tidak membutuhkan minyak fosil untuk menjalankan telaktor, karena mereka punya kerbau yang sangat bertenaga. Sebelum uang masuk kedalam kehidupan mereka, kemiskinan hanya sebuah mitos yang tidak pernah mereka pikirkan.
Alangkah lucunya kita yang tinggal di perkotaan ketika melihat seorang anak kecil menangkap belut lalu kita menganggap bocah itu bertahan hidup di tengah keterbatasan. Betapa telah tercucinya akal kita, ketika melihat seorang bapak memikul kayu bakar menuruni bukit lalu kita menilai Si Bapak itu berjuang keras di tengah keterbatasan.
Sungguh dungunya kita, ketika melihat seorang ibu-ibu memanen genjer di rawa-rawa kemudian kita mengganggap Si Ibu-ibu tersebut mencari peruntungan di tengah keterbatasan. Padahal hidup mereka sangatlah kaya karena langsung mempelajari, dan mengambil apa-apa yang mereka butuhkan dari alam.
Sekali lagi, jika saja mereka tidak termonopoli dengan uang, sungguh sangat berharganya hidup dengan alam. Karena dari alam pula mereka dekat dengan Tuhan. Seperti yang sering kita saksikan pada acara-cara tradisi sedekah bumi yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu kita di seluruh penjuru nusantara ini. Mereka membuat hajatan besar untuk memberikan rasa syukur mereka kepada Sang Pemberi rizki.
Sedangkan kita yang hidup di perkotaan, yang telah menggantungkan hdiup pada selembar rupiah, yang bekerja dengan berkas cetak, digital, dan komputerisasi, tidak pernah memberikan bentuk syukur apa-apa kepada Tuhan. Malah terkadang untuk mengisi kotak amal sewaktu salat Jumat di masjid saja kita lebih memilih mengeluarkan uang yang nominalnya lebih kecil.
Alangkah miskinnya kita, untuk menunjukan diri kita terhormat saja kita kerap memilih busana, mengenakan gaun, dan jas yang indah dihiasin gelang, kalung, dan jam tangan emas yang dibeli dengan uang. Tuhan kita tidak pernah pilih-pilih umat untuk memberikan rizki-Nya, tetapi kita kerap pilih-pilih dengan titipan-Nya itu.
Dengan nalar yang miskin, terkadang kita kerap lupa diri dan menganggap Tuhan tidak adil, padahal kemiskinan tidak pernah ada dan begitu pula sebaliknya dengan istilah kaya, jika kita manusia yang bertuhan. Analoginya seperti ini, jika kita memberikan pinjaman kepada kerabat kita, suatu saat kita berhak untuk memintanya kembali.
Dan seseorang yang meminjam uang tersebut, wajib mengembalikannya. Akan tetapi ketika seseorang mengalami kebangkrutan, mereka sering mengganggap Tuhan tidak memihak dirinya karena telah mengambil harta yang mereka miliki. Sungguh kita mahluk miskin yang tidak pernah bersyukur atas semua titipannya.
Uraian yang panjang di atas ingin menyampaikan bahwa persoalan miskin dan apa yang disebut kemiskinan adalah suatu efek dari rencana manusia menuju beradaban yang melampaui batas. Kebahagiaan dengan fasilitas eletronik, uang dan berbegai kemampuan manusia dalam merekayasa teknologi, atau dengan jabatan tinggi adalah kebahagiaan yang tidak terbaatas, sehingga mereka tidak memiliki titik temu untuk menemukan kebahagiaan sejati. Malahan jika kita terus mencari kebahagiaan dengan uang, emas, atau harta fisik yang lain maka kita terlihat semakin miskin.
Seperti dahulu saat ponsel dengan merek Nokia menjadi barang yang sangat ajaib, tidak menunggu waktu terlalu lama muncul Blackberry dengan fitur bertukar pesan yang lebih canggih dan menarik. Atau dahulu orang memasak dengan minyak tanah, tahu-tahu minyak tanah susah ditemukan dan menjadi barang langka, setelah Yusuf Kala membagikan gas dan kompor secara masal dan gratis kemudian orang-oang banyak memasak menggunakan gas sebagai solusi atas permasalahan minyak bumi, akan tetapi memasak dengan alat yang menggunakan tenaga listrik saat ini dianggap sebagai suatu temuan mahal, praktis, elegan, dan mudah digunakan.
Namun untuk menggunakan fasilitas super canggih, manusia membutuhkan biaya super banyak untuk membelinya, padahal Tuhan telah menyediakan media memasak dengan cara yang lebih praktis lagi yaitu membakar kayu kering. Sungguh rumit kebahagiaan yang diharapkan manusia, dan sungguh miskinnya kita sebagai mahluk yang bertuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H