Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kebiasaan Kita Menghakimi yang Kaya dan Menilai yang Miskin

12 Mei 2023   08:33 Diperbarui: 18 Mei 2023   23:38 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akan tetapi dengan datang ke ibu kota demi mendapatkan peruntungan adalah sebuah tindakan yang berangkat dari titik kemiskinan. Sepasang suami istri merantau, dan meninggalkan anaknya kepada orang tua mereka sendiri di kampung halaman untuk diurus.

Sementara orang tuanya sepasang suami istri tadi mengajari cucuk mereka dengan cara seperti mengajari ibu bapaknya. Lambat laun, cucuk tersebut akan mengikuti jejak orang tuanya untuk berangkat ke kota, menjadi seorang perantau. Semua perantau berangkat dari apa yang disebut kemiskinan, entah mereka sadar atau tidak jikalau mereka benar-benar miskin atau sebaliknya.

Menjadi perantau seperti menjadi sebuah tradisi. Jika anak tertua dari salah satu keluarga beranak empat telah memberanikan diri untuk merantau, kemungkinan besar anak-anak lain yang lebih muda darinya juga akan menyusul. Ini bukan tanpa alasan, salah satu penyebabnya seperti yang telah disebutkan pada lagu Qosidah Nasida Ria yang berjudul "Tahun 2000." 

Banyak persawahan dan ladang yang sudah tidak bisa ditanami, karena tanah-tanah tersebut telah diakui oleh pihak lain. Kemudian lambat laun, warga yang biasa menggarap tanah yang dulu katanya milik bersama kini mereka bekerja di tanah yang sama tetapi diawasi oleh mandor dan dimiliki oleh seorang pengusaha pertanian yang kaya raya.

Jika keadaan tidak memihak kepada para buruh tani, sawah-sawah yang dahulu digarap bisa jadi sekarang telah berubah menjadi perumahan siap huni. Alhasil mereka tidak punya banyak lapangan pekerjaan di desanya sendiri. Ada beberapa petani yang memutuskan untuk menjual makanan dengan berkeliling dari dusun ke dusun, ada yang menjual sayuran, ada yang menjual hasil kerajinan seperti sapu atau dingklik, dan lain sebagainya.

Namun sayangnya jumlah populasi di desa memang meningkat, akan tetapi mereka tidak hadir di desanya sendiri melainkan di kota orang lain sebagai perantau. Padahal para buruh tani ini adalah orang-orang produktif yang selalu mencari solusi, namun apa jadinya produktifitas tanpa pembeli.

Iya, mereka para perantau adalah orang-orang yang telah digiring untuk dijadikan konsumen. Mudahnya begini, seorang pemuda yang baru saja pindah ke kota untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya setelah mendapatkan ijazah SMA. Seorang pemuda itu pasti akan memilih kos sebagai tempat hunianya. Kemudian karena di kos tidak ada alat-alat yang lengkap untuk memasak, maka Si pemuda tadi akan memilih membeli nasi di warung.

Sementara kebutuhan yang berbeda akan didapatkannya saat memenuhi tugas-tugas perkuliahan, biaya membeli buku, biaya seminar, biaya wifi, biaya nongkrong di warung kopi, dan belum biaya-biaya kecil lainnya. Ini baru anak kosan, belum perantauan lain yang datang ke kota untuk bekerja sebagai kasir, pelayan, tukang bersih-bersih, buruh pabrik, karyawan kantor, dan lain-lain pokoknya. Dan yang pasti, setiap perantau akan menjadi konsumen yang dengan tiba-tiba membutuhkan ini dan itu, tiket mudik, biaya service mobil untuk perisiapan mudik, dan lain sebagainya.

Orang kota memang sangat miskin, apa mereka membutuhkan uang untuk menukar sesuatu. Seperti saat kehabisan air minum misalnya, pasti uang akan berbicara untuk membuat kerongkongannya kembali basah dengan menukarkannya ke warung atau ke mini market terdekat.

Akan tetapi mereka merasa kaya, karena masih ada banyak uang di dalam kartu tabungan mereka yang bisa kapan saja digunakan. Iya, mereka mengandalkan uang disetiap kebutuhan. Mereka adalah orang-orang miskin yang menggantungkan hidupnya pada selembar rupiah.

Namun, mereka yang di kota maupun di desa yang menggantungkan hidupnya dengan uang tidak bisa disalahkan. Itu semua disebabkan oleh zaman dan monopoli kemodernan yang terus berkembang. Jika orang-orang kaya, para pengusaha, juragan, atau bos besar telah menggantikan tenaga mereka dengan mesin seperti yang telah diisu-isukan oleh para pengamat sosial maka malanglah nasib mereka. Yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan binasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun