Padahal jika kita mengembalikan diri pada zaman yang telah lalu, orang-orang yang hidup bergentung dengan alam seumur hidupnya tidak akan pernah miskin, dengan catatan monopoli uang tidak masuk ke wilayah mereka.Â
Seorang petani tidak akan takut kelaparan jikalau sawah mereka gagal panen, karena tanah mereka masih bisa ditumbuhi ubi-ubian. Mereka juga tidak memperlukan gas dan kompor, karena pawon mereka akan membakar kayu kering dari hutan-hutan yang lebat.
Mereka juga bisa ngembala kambing atau sapi untuk dimanfaatkan dagingnya. Juga mereka tidak membutuhkan minyak fosil untuk menjalankan telaktor, karena mereka punya kerbau yang sangat bertenaga. Sebelum uang masuk kedalam kehidupan mereka, kemiskinan hanya sebuah mitos yang tidak pernah mereka pikirkan.
Alangkah lucunya kita yang tinggal di perkotaan ketika melihat seorang anak kecil menangkap belut lalu kita menganggap bocah itu bertahan hidup di tengah keterbatasan. Betapa telah tercucinya akal kita, ketika melihat seorang bapak memikul kayu bakar menuruni bukit lalu kita menilai Si Bapak itu berjuang keras di tengah keterbatasan.
Sungguh dungunya kita, ketika melihat seorang ibu-ibu memanen genjer di rawa-rawa kemudian kita mengganggap Si Ibu-ibu tersebut mencari peruntungan di tengah keterbatasan. Padahal hidup mereka sangatlah kaya karena langsung mempelajari, dan mengambil apa-apa yang mereka butuhkan dari alam.
Sekali lagi, jika saja mereka tidak termonopoli dengan uang, sungguh sangat berharganya hidup dengan alam. Karena dari alam pula mereka dekat dengan Tuhan. Seperti yang sering kita saksikan pada acara-cara tradisi sedekah bumi yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu kita di seluruh penjuru nusantara ini. Mereka membuat hajatan besar untuk memberikan rasa syukur mereka kepada Sang Pemberi rizki.
Sedangkan kita yang hidup di perkotaan, yang telah menggantungkan hdiup pada selembar rupiah, yang bekerja dengan berkas cetak, digital, dan komputerisasi, tidak pernah memberikan bentuk syukur apa-apa kepada Tuhan. Malah terkadang untuk mengisi kotak amal sewaktu salat Jumat di masjid saja kita lebih memilih mengeluarkan uang yang nominalnya lebih kecil.
Alangkah miskinnya kita, untuk menunjukan diri kita terhormat saja kita kerap memilih busana, mengenakan gaun, dan jas yang indah dihiasin gelang, kalung, dan jam tangan emas yang dibeli dengan uang. Tuhan kita tidak pernah pilih-pilih umat untuk memberikan rizki-Nya, tetapi kita kerap pilih-pilih dengan titipan-Nya itu.
Dengan nalar yang miskin, terkadang kita kerap lupa diri dan menganggap Tuhan tidak adil, padahal kemiskinan tidak pernah ada dan begitu pula sebaliknya dengan istilah kaya, jika kita manusia yang bertuhan. Analoginya seperti ini, jika kita memberikan pinjaman kepada kerabat kita, suatu saat kita berhak untuk memintanya kembali.
Dan seseorang yang meminjam uang tersebut, wajib mengembalikannya. Akan tetapi ketika seseorang mengalami kebangkrutan, mereka sering mengganggap Tuhan tidak memihak dirinya karena telah mengambil harta yang mereka miliki. Sungguh kita mahluk miskin yang tidak pernah bersyukur atas semua titipannya.
Uraian yang panjang di atas ingin menyampaikan bahwa persoalan miskin dan apa yang disebut kemiskinan adalah suatu efek dari rencana manusia menuju beradaban yang melampaui batas. Kebahagiaan dengan fasilitas eletronik, uang dan berbegai kemampuan manusia dalam merekayasa teknologi, atau dengan jabatan tinggi adalah kebahagiaan yang tidak terbaatas, sehingga mereka tidak memiliki titik temu untuk menemukan kebahagiaan sejati. Malahan jika kita terus mencari kebahagiaan dengan uang, emas, atau harta fisik yang lain maka kita terlihat semakin miskin.