Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Selama Ini Pemudik Tidak Pernah Benar-Benar Mudik

21 April 2023   06:50 Diperbarui: 8 Mei 2023   00:12 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Dokumentasi Penulis

Bagaimana kita memaknai mudik selama ini?
Apa arti mudik untuk menjemput fitri?
Apakah mudik hanya sekadar bermaaf-maafan?
Apa arti mudik jika akhirnya kita akan kembali lagi ke rimba perkotaan?

Setelah melakukan ibadah puasa kurang dari sebulan, di sepuluh terakhir bulan suci itu biasanya kita mulai gelisah menunggu tunjangan hari raya, atau kita mulai sibuk menghitung angka pada kalender Hijrian untuk menentukan waktu kepulangan ke kampung halaman yang tepat. Tapi mungkin waktu kita tidak banyak untuk melaksanakan rencana yang telah berhari-hari dibuat. 

Di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, aktivitas lain menjadi jadwal yang padat. Datang ke supermarket jauh atau terdekat, membeli ini dan itu untuk kebutuhan hajat, baju baru selama di kampung halaman, atau hanya sekadar melengkapi hari raya dengan barang-barang yang konon katanya wajib ada.

Apa yang disebut dengan hari baru pakaian baru yang entah dari mana hari baru ditandai dengan pakaian baru bukan iklim alam, apa yang disebut dengan busana muslim yang entah sejak kapan selembar kain punya agama, dan apa yang disebut silaturahmi yang entah bagaimana mereka mengucapkan kalimat yang sama di setiap rumah dan kepada siapa saja yang datang atau mereka datangi.

Inilah mudik tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya. Jalanan tol dipadati pengendara, kendaraan pribadi atau kendaraan massal lainnya.

Sementara kendaraan umum roda empat besar banyak disewa mereka yang tengah melakukan kampanye terselubung dengan mudik gratis. Yang konon katanya ingin membantu pemerintah dalam menyukseskan misi mudik tahun ini, atau apalah itu. 

Mereka ingin pemudik senang dan sampai ke kampung halaman dengan selamat, ya meskipun akhirnya harus bermacet-macetan di jalan juga. Lambat tahun jalanan tol seperti hilang kelebihannya, karena sama padatnya dan macet seperti jalanan umum lainnya. 

Pedagang kaki lima menerobos masuk di tengah-tengah kerumunan mobil yang bergerak persekian meter dalam beberapa detik, di waktu yang sama para musafir membatalkan puasa dan meninggalkan banyak sampah di jalanan yang telah dilaluinya. 

Di waktu yang sama pula, pemulung mendapatkan rezeki yang turun dari tangan-tangan pemudik yang membuang botol di tepi jalan. Mudik yang sama seperti di tahun-tahun sebelumnya. Yang berbeda hanyalah tahun Masehi dan Hijriah-nya saja, atau model busana yang mereka kenakan.

Saat sampai di pelataran rumah tempat dahulu kecil bermain, suasana haru muncul dari balik wajah kita. Rumah yang sama dengan masa yang berbeda, memecahkan kerinduan yang telah lama terkumpul saat jauh darinya. 

Mungkin kita memang tidak mengabaikan kondisi alam kampung halaman yang tidak jauh berbeda perubahaannya dari tahun-tahun sebelumnya, selain ada banyak anak kecil yang tidak kita kenal, atau tetangga kita yang tahu-tahu sudah menikah atau tahu-tahu sudah mempunyai satu dua orang cucu, orang tua yang kita kenal sudah tidak ada lagi, bocah yang dahulu kita kenal masih ingusan kini sudah menjadi perantau, dan sumber mata pencarian yang sudah bergesar dari petani menjadi serabutan di kota. 

Tapi komentar kita tentang kampung halaman hanyalah sebuah kesan, atau selesai pada sebuah obrolan kerinduan dengan keluarga, dan kerabat di kampung halaman. Tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Mudik seharusnya selaras dengan Idul Fitri itu sendiri, atau apa yang disebut dengan hari kemenangan. 

Tetapi kita kerap mengabaikan hal-hal yang sama, hal-hal yang terus berulang setiap tahunnya tanpa ada perubahan. 

Sekelompok bapak-bapak masih harus bekerja bakti untuk membuat gorong-gorong di desa mereka, sementara ibu-ibu bekerja suka rela menyiapkan makan dan minum, para warga yang masih harus melakukan iuran untuk mendukung program organisasi pemuda membuat penerangan jalan yang padahal pajak dibayar setiap hari dari kendaraan pemudik atau dari hal lain, belum lagi acara halal bihalal yang membutuhkan tenaga, dana, dan waktu. 

Alhasil semuanya menjadi kepuasan masyarakat sendiri, kepuasan yang mungkin berbeda dari tahun sebelumnya atau barangkali memang sebuah kepuasan yang terulang, sama seperti tahun sebelumnya. Hanya waktu saja yang membuat semua itu terlihat berbeda.

Apakah kita hanya memahami mudik sebagai sebuah budaya yang muncul oleh karena adanya kebutuhan beragama? Kembali suci, kembali ke kampung halaman, meraih kemenangan, akan tetapi apa yang kembali suci? Apa yang kembali ke kampung halaman? Kemenangan apa yang diraih? 

Ramadhan tidak hanya mengajarkan kita kepada ketaatan beragama, melawan hawa nafsu, dan memperbanyak pahala dengan bersedekah, dan membaca ayat suci. 

Ramadhan juga mengajari kita berbagi kepada sesama manusia, dan juga melatih diri kita menjadi penghuni surga. Akan tetapi penghuni surga macam apa yang membiarkan semua keburukan terulang kembali. 

Penghuni surga macam apa yang membiarkan tetangga kita kekurangan. Penghuni surga macam apa yang memakan takjil sewaktu buka dengan sepiring nasi penuh, tanpa tahu ada saudara kita yang kelaparan. 

Penghuni surga macam apa yang menghias diri dengan pakaian dan pernah pernik perhiasan secara berlebihan, tanpa tahu apa faedahnya. Penghuni surga macam apa yang membeli banyak makanan tanpa tahu tersisa atau tidak. 

Kita memang diajarkan untuk kembali fitri tetapi bukan kembali menyibukan diri di supermarket ketimbang di dalam masjid, bukan kembali mengotori jalan saat kemacetan terjadi, bukan juga kembali membiarkan penduduk desa mewujudkan impiannya sendiri dengan bergotong royong oleh warganya tanpa bantuan iuran pajak. Dan kita dengan congkaknya mengunggah foto atau video ucapan hari raya, seolah-olah semuanya biasa.

Mudik dan hari raya, memang waktu yang spesial untuk berjumpa dengan kerabat di kampung halaman, akan tetapi tidak hanya berjumpa dengan wajah ketemu wajah, tanpa sadar kita juga berjumpa dengan kemalangan yang mereka rasakan, kemalangan yang tergambar disetiap garis kulit mereka yang terbakar matahari. 

Kemalangan yang tidak pernah berujung meski anak-anak mereka berilmu dan bekerja di kota, tanpa tahu untuk apa ilmunya dan kekuasaannya untuk kampung halaman tercinta. 

Sayangnya kita tidak sanggup untuk melihat hal demikian, karena lebaran yang kita anut hanyalah sekadar salam-salaman. Selama ini kemenangan yang agama maksud hanya kita pahami sebatas pencapaian akhir ritual keagamaan, tidak ada yang benar-benar untuk diterapkan dalam kehidupan mendatang.

Mudik adalah sebuah analogi budaya yang tergambarkan dari sebuah tindakan, kebiasaan setiap tahun jelang lebaran, atau hal yang akhirnya menjadi kewajiban bagi umat untuk melakukannya. 

Mudik selama ini kita anggap sebatas tradisi, bukan untuk melihat analogi yang terkandung di dalamnya. Sama artinya dengan berpulang, mudik membawa kita kembali menuju kampung halaman dan mengulang keharmonisan. Sama artinya dengan pulang ke jalan Tuhan, Sang Maha pemberi perhatian. Tapi untuk pulang pun kita masih melakukan hal-hal buruk yang sama. 

Jika kita merindukan surga tempat di mana Nabi Adam dahulu berada, seharusnya kita juga menjaga apa-apa yang ada di dalamnya. Termasuk untuk tidak mengulangi lagi kesalahan Adam memakan buah Khuldi. Tetapi setiap kita pulang ke kampung halaman, justru kita membiarkan apa-apa yang buruk terjadi. 

Sarjana yang sibuk di kota, bagaikan seonggok biji jagung di kampung halamannya sendiri. Tidak ada yang bisa Ia perbuat untuk tanah kelahirannya sendiri, selain menghabiskan waktu cuti lalu kembali menjaring cuan di tanah lapas yang disebut perkotaan. 

Mudik terasa sebagai sebuah pengulangan, tanpa ada rasa bertanggung jawab bagi mereka yang katanya berilmu di dalam ijazahnya.

Pada tulisan ini saya ingin menyampaikan, bahwa pemudik yang sejati adalah mereka yang benar-benar kembali ke kampung halamannya bukan hanya untuk sementara waktu, dan bukan hanya sekadar memenuhi tradisi, akan tetapi mendalami maksud dan tujuannya merantau. 

Saya analogikan seperti seorang petani yang hendak memetik buah kelapa, untuk naik ke atas pohon dan memetik buahnya, seorang petani membutuhkan persiapan, kita katakan saja modal, dan modal itu berupa keberanian juga alat bantu seperti tangga atau golok. 

Sesampainya di atas pohon kelapa, petani tersebut akan mempelajari buah mana yang layak untuk dipetik dan buah mana yang harus dibiarkan ranum. 

Setelah berhasil memetiknya, buah itu akan dijatuhkan atau akan dibawanya turun. Dan setelah petani itu berhasil turun, Ia telah menyelesaikan perjuangan pertamanya, tinggal menyiapkan strategi perjuangan baru yaitu menjual buah kelapa tersebut. 

Setelah mendapatkan pembeli, hasilnya akan diberikan kepada istri dan anaknya yang menunggu di rumah. Kelapa yang telah terjual tentu saja bermanfaat bagi pembeli. Si petani sekaligus memenuhi kebutuhan warga sekitar untuk mengkonsumsi kelapa yang oleh pembeli akan diolah menjadi barang lain.

Satu kebaikan akan menjadi banyak kebaikan jika seseorang yang melakukan kebaikan itu benar-benar kembali pada tujuannya. Bukan karena memenuhi kebutuhan saja, tetapi juga karena adanya telat yang kuat untuk kembali memenuhi visi dan misi lain di dalamnya. 

Apa jadinya jika seorang petani tadi memetik kelapa tetapi Ia tidak pernah turun dari pohon tersebut, dan tidak pernah menjatuhkan buah kelapanya? Tentunya kebaikan yang digambarkan di atas tidak jadi ia perbuat.

Sebagai gambaran, pemudik sejati ialah mereka yang merantau mencari sesuatu di rimba peradaban dan kembali membawa hasilnya untuk tanah kelahiran. Pemudik sejati ada pada diri seorang teknokrat yang belajar 8 semester kemudian kembali membawa ilmunya untuk membangun rekayasa teknologi di kampung halamannya. 

Pemudik sejati ada pada diri seorang sarjana pendidikan yang kembali ke kampung halamannya setelah mempelajari filfasat pendidikan ala Ki Hajar Dewantara dan menerapkannya kepada anak-anak pedesaan untuk hidup berilmu dan merdeka. 

Pemudik sejati ada pada diri seorang dokter yang kembali ke kampung halamannya dan membantu banyak orang sakit untuk kembali mendapatkan kesembuhan. 

Pemudik sejati ada pada diri mereka yang seorang entrepreneurship, yang menemukan banyak penemuan produk dari hasil bumi warga sekitar dan menciptakan lapangan pekerjaan bagi penduduk di kampung halamannya. 

Tentunya masih banyak gelar dan profesi lain yang dapat digambarkan sebagai pemudik yang bener-beneran mudik, bukan kembali lagi ke tanah perantauan untuk menggantungkan nasib. 

Dan sekali lagi pemudik sejati adalah mereka yang kembali ke kampung halamannya bukan untuk bersinggah sementara, kemudian akan diulangi lagi pada tahun berikutnya untuk memenuhi kebutuhan tradisi melainkan mereka yang siap membangun, memberikan perubahan, dan menjemput kemenangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun