Mungkin kita memang tidak mengabaikan kondisi alam kampung halaman yang tidak jauh berbeda perubahaannya dari tahun-tahun sebelumnya, selain ada banyak anak kecil yang tidak kita kenal, atau tetangga kita yang tahu-tahu sudah menikah atau tahu-tahu sudah mempunyai satu dua orang cucu, orang tua yang kita kenal sudah tidak ada lagi, bocah yang dahulu kita kenal masih ingusan kini sudah menjadi perantau, dan sumber mata pencarian yang sudah bergesar dari petani menjadi serabutan di kota.Â
Tapi komentar kita tentang kampung halaman hanyalah sebuah kesan, atau selesai pada sebuah obrolan kerinduan dengan keluarga, dan kerabat di kampung halaman. Tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Mudik seharusnya selaras dengan Idul Fitri itu sendiri, atau apa yang disebut dengan hari kemenangan.Â
Tetapi kita kerap mengabaikan hal-hal yang sama, hal-hal yang terus berulang setiap tahunnya tanpa ada perubahan.Â
Sekelompok bapak-bapak masih harus bekerja bakti untuk membuat gorong-gorong di desa mereka, sementara ibu-ibu bekerja suka rela menyiapkan makan dan minum, para warga yang masih harus melakukan iuran untuk mendukung program organisasi pemuda membuat penerangan jalan yang padahal pajak dibayar setiap hari dari kendaraan pemudik atau dari hal lain, belum lagi acara halal bihalal yang membutuhkan tenaga, dana, dan waktu.Â
Alhasil semuanya menjadi kepuasan masyarakat sendiri, kepuasan yang mungkin berbeda dari tahun sebelumnya atau barangkali memang sebuah kepuasan yang terulang, sama seperti tahun sebelumnya. Hanya waktu saja yang membuat semua itu terlihat berbeda.
Apakah kita hanya memahami mudik sebagai sebuah budaya yang muncul oleh karena adanya kebutuhan beragama? Kembali suci, kembali ke kampung halaman, meraih kemenangan, akan tetapi apa yang kembali suci? Apa yang kembali ke kampung halaman? Kemenangan apa yang diraih?Â
Ramadhan tidak hanya mengajarkan kita kepada ketaatan beragama, melawan hawa nafsu, dan memperbanyak pahala dengan bersedekah, dan membaca ayat suci.Â
Ramadhan juga mengajari kita berbagi kepada sesama manusia, dan juga melatih diri kita menjadi penghuni surga. Akan tetapi penghuni surga macam apa yang membiarkan semua keburukan terulang kembali.Â
Penghuni surga macam apa yang membiarkan tetangga kita kekurangan. Penghuni surga macam apa yang memakan takjil sewaktu buka dengan sepiring nasi penuh, tanpa tahu ada saudara kita yang kelaparan.Â
Penghuni surga macam apa yang menghias diri dengan pakaian dan pernah pernik perhiasan secara berlebihan, tanpa tahu apa faedahnya. Penghuni surga macam apa yang membeli banyak makanan tanpa tahu tersisa atau tidak.Â