Kita memang diajarkan untuk kembali fitri tetapi bukan kembali menyibukan diri di supermarket ketimbang di dalam masjid, bukan kembali mengotori jalan saat kemacetan terjadi, bukan juga kembali membiarkan penduduk desa mewujudkan impiannya sendiri dengan bergotong royong oleh warganya tanpa bantuan iuran pajak. Dan kita dengan congkaknya mengunggah foto atau video ucapan hari raya, seolah-olah semuanya biasa.
Mudik dan hari raya, memang waktu yang spesial untuk berjumpa dengan kerabat di kampung halaman, akan tetapi tidak hanya berjumpa dengan wajah ketemu wajah, tanpa sadar kita juga berjumpa dengan kemalangan yang mereka rasakan, kemalangan yang tergambar disetiap garis kulit mereka yang terbakar matahari.Â
Kemalangan yang tidak pernah berujung meski anak-anak mereka berilmu dan bekerja di kota, tanpa tahu untuk apa ilmunya dan kekuasaannya untuk kampung halaman tercinta.Â
Sayangnya kita tidak sanggup untuk melihat hal demikian, karena lebaran yang kita anut hanyalah sekadar salam-salaman. Selama ini kemenangan yang agama maksud hanya kita pahami sebatas pencapaian akhir ritual keagamaan, tidak ada yang benar-benar untuk diterapkan dalam kehidupan mendatang.
Mudik adalah sebuah analogi budaya yang tergambarkan dari sebuah tindakan, kebiasaan setiap tahun jelang lebaran, atau hal yang akhirnya menjadi kewajiban bagi umat untuk melakukannya.Â
Mudik selama ini kita anggap sebatas tradisi, bukan untuk melihat analogi yang terkandung di dalamnya. Sama artinya dengan berpulang, mudik membawa kita kembali menuju kampung halaman dan mengulang keharmonisan. Sama artinya dengan pulang ke jalan Tuhan, Sang Maha pemberi perhatian. Tapi untuk pulang pun kita masih melakukan hal-hal buruk yang sama.Â
Jika kita merindukan surga tempat di mana Nabi Adam dahulu berada, seharusnya kita juga menjaga apa-apa yang ada di dalamnya. Termasuk untuk tidak mengulangi lagi kesalahan Adam memakan buah Khuldi. Tetapi setiap kita pulang ke kampung halaman, justru kita membiarkan apa-apa yang buruk terjadi.Â
Sarjana yang sibuk di kota, bagaikan seonggok biji jagung di kampung halamannya sendiri. Tidak ada yang bisa Ia perbuat untuk tanah kelahirannya sendiri, selain menghabiskan waktu cuti lalu kembali menjaring cuan di tanah lapas yang disebut perkotaan.Â
Mudik terasa sebagai sebuah pengulangan, tanpa ada rasa bertanggung jawab bagi mereka yang katanya berilmu di dalam ijazahnya.
Pada tulisan ini saya ingin menyampaikan, bahwa pemudik yang sejati adalah mereka yang benar-benar kembali ke kampung halamannya bukan hanya untuk sementara waktu, dan bukan hanya sekadar memenuhi tradisi, akan tetapi mendalami maksud dan tujuannya merantau.Â
Saya analogikan seperti seorang petani yang hendak memetik buah kelapa, untuk naik ke atas pohon dan memetik buahnya, seorang petani membutuhkan persiapan, kita katakan saja modal, dan modal itu berupa keberanian juga alat bantu seperti tangga atau golok.Â