Program-programnya bukanlah program yang menghabiskan dana iuran warga atau sumbangan dari rumah ke rumah seperti sebelumnya. Hampir para warga menganggap kegiatan yang dikerjakan Krismon bersama para pemuda itu tidak masuk akal. Sebab sama sekali tidak ada pendanaan. Tapi nyatanya memang tidak ada dana yang keluar. Program yang dicetuskan Krismon adalah kegiatan yang sangat sederhana. Seperti mengajarkan anak-anak untuk pandai menulis dan membaca. Media yang digunakan pun hanyalah kertas-kertas bekas. Seperti majalah bekas, koran bekas, dan alat tulis bekas pemberian si mantan mahasiswa bernama Caeng. Lambat hari kegiatan itu pun mendapat dukungan dari para orang tua anak-anak. Mereka pun memberikan usul agar para orang tua buta huruf untuk diberikan pelatihan yang serupa.
Hari demi hari, tahun demi tahun keadaan telah banyak berubah. Krismon kini menjadi pusat perhatian warga. Bahwa Sulis sendiri tengah memperhatikan gerak-geriknya. Ia tidak sadar akan angan-angan masa lalunya yang kini telah tercapai. Seperti keinginan untuk dihormati dan disegani. Memang bukan dengan status pegawai negeri. Tapi inilah sebuah tebusan janji kepada Dukri. Bahwa ia akan segera mungkin terlepas dari kemiskinan. Dan memang bukan kemiskinan uang yang dimaksud. Melainkan kemiskinan moral, kepedulian dan kemanusiaan. Berkat beberapa kegiatannya itu, Krismon diundang untuk berdialog dengan kepala desa. Namun ia menolak karena alasan tanggung jawab.Â
Sebab undangan itu ditetapkan pada hari di mana Krismon harus menyelesaikan tugasnya untuk mengenalkan huruf dan kata kepada kaum buta huruf. Sikapnya itu telah mengundang decak kagum pada diri seorang Sulis. Ia pun memutuskan untuk membantu Krismon dalam mencerdaskan warga desa. Lantas gadis matang berusia dua puluh tujuh tahun itu meminta izin Ustad Karim untuk menemuinya. Setelah mendapatkan izin, Sulis langsung berkunjung ke rumah Krismon dengan membawa bingkisan makanan. Tentunya makanan itu Ia sendiri yang memasaknya.
Rantam putih bercorak bunga berwarna merah menebarkan harum warna masakan khas orang jawa. Ongseng-ongseng sayur nangka, ikan asin, lalapan dan sambal pedas manis pembawa selera. Cukup untuk disantap tiga orang sekaligus, Ridwan, Satrio dan Krismon itu sendiri. Awalnya Sulis begitu gugup saat akan hendak mengetuk pintu. Namun debar dalam hatinya harus diredam dengan tujuan awal yang sudah bulat. Yaitu untuk membantu Krismon dalam mengurus kegiatan di desa.Â
Tepi entahlah, ketika gadis itu berusaha membulatkan tekat semakin gugup pula suasana hatinya. Ia pun tidak kunjung menyentuh bibir pintu. Malahan Sulis hanya terdiam dalam suasana gemuruh tanpa sebab dan alasan. Laki-laki yang diharapkan Sulis bertemu saat itu juga muncul dari balik tubuhnya. Itulah kali pertama Sulis dan Krismon mulai saling berbicara. Keduanya saling beradu pandang melempar senyum alami. Tiba-tiba saja Sulis meringis melihat perlakuan yang berbeda dari tubuh Krismon. Tidak seperti beberapa tahun silam. Tidak ada lagi wajah malu, tidak ada lagi kabur atau lari terbirit-birit. Laki-laki yang juga berusia dua puluh tujuh tahun itu berusaha menghadapi debar dadanya. Seketika sebuah kalimat beradu memecahkan suasana. Secara bersamaan kedua orang itu menyapa bebarengan dengan kalimat yang sama pula. "Apa kabar," ucap Sulis dan Krismon. Keduanya pun saling terkejut. Dan perjumpaan itu dimulai dengan tawa lucu penuh kerinduan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H