Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Krismon: Bagian 3 Cinta Selalu Menuntut Janjinya

5 April 2022   05:15 Diperbarui: 9 Maret 2023   00:46 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cinta Selalu Menuntut Janjinya

Tuhan pencipta segala alam, pemberi apa saja yang semua makhluknya butuhkan kecuali satu, keabadian. Begitulah waktu yang fana ini terus memburu usia setiap manusia menuju kematian. Dukri memang telah tiada, namun semua yang ditinggalkan tidak boleh dilupakan begitu saja. Biarkan saja orang tua keras kepala itu pergi, lalu meninggalkan luka kenangan yang mendalam. Luka itu seperti pisau yang menancap di bagian hulu hati. Semakin lama semakin terasa saja sakitnya. Begitulah Krismon merasakan baik-baik kesendiriannya itu. Luka itu selalu saja terasa di dadanya, semakin ia teringat akan kebenciannya terhadap sikap Dukri maka semakin pula ia kecewa dengan perbuatannya sendiri. Apakah memang harus berlalu, tapi bukan begitu cara menyudahinya. 

Hamparan warna hijau, burung-burung kecil berlarian di udara. Birunya tak menggema, seakan bertanya soal sisa usia. Entah kenapa kali ini pria itu mendapatkan kesialan. Nasib sedang tidak memihak Krismon sore itu. Dari pagi sampai siang tiba, barang dagangannya masih tetap utuh. Entah kenapa para pelanggannya tiba-tiba puasa. Atau mungkin karena pria itu telat bangun lebih awal untuk berjualan. Sebab semalaman Krismon tidak bisa tidur lantaran Ia mempunyai begitu banyak kekhawatiran dalam dirinya. Wajah-wajah keponakannya memberikan rasa iba yang dalam bagi hidupnya. Suatu hari ia harus kembali mengusahakan diri supaya orang tua Ridwan dan Satrio pulang sebagai upaya penebusan janji. 

Tetapi apa boleh dikata, dia sendiri harus segera menyudahi kesendiriannya itu. Bisikan untuk menikah awalnya datang dari mulut Darno Blenduk. Juragan satu ini kini terlihat seperti seorang sahabat. Entah apa yang membuat laki-laki berkepala empat itu begitu simpati terhadapnya. Semenjak Dukri tiada semua hubungan nampak berbeda. Selain Krismon semakin dekat dengan Darno Blenduk dan Ustad Karim, kini ia pun kembali dekat dengan kekasih masa kecilnya. Sebenarnya Krismon tidak mempunyai hubungan apa-apa kepada perempuan itu. Tapi sejak kecil pria lugu itu sudah menyimpan rahasia. Sulit sekali untuk menjelaskan kenapa laki-laki itu suka kepadanya. Perempuan itu memiliki wajah yang sama seperti wanita pada umumnya. Krismon sendiri tidak tahu apa arti cantik. Jelasnya, perempuan yang ia sukai itu sangatlah berbeda dan luar biasa. Inilah yang membuatnya susah tidur sepanjang malam.

Wanita itu bernama Sulis, anak salah seorang pemangku agama di desanya. Hubungan Suli dan Krismon sebenarnya memang sudah terjalin sejak lama. Pria yang tidak banyak bicara itu selalu saja menutup diri. Namun perbuatannya sangat mudah ditebak. Semasa kecil Krismon selalu bersembunyi jika Sulis datang berkunjung ke rumahnya. Tidak hanya di rumah saja, pernah suatu hari saat bermain dengan kawan seusianya, Krismon selalu kabur kalang kabut sesaat setelah Sulis datang dan ikut bergabung. 

Kelakuan bocah itu tentunya mendapat perhatian berbeda dari seorang Sulis. Ia menduga kalau Krismon begitu jijik kepadanya. Beberapa kali gadis itu hendak menemui Krismon dan berusaha bertanya soal kelakuannya itu. Namun berkali-kali pula bocah itu menghindar. Hal ini semakin membuat Sulis bertanya-tanya. Lantas gadis itu pun mendatangi beberapa rekan main Krismon. Salah satu dari mereka justru tertawa saat ditanyai oleh Sulis. Sehingga perempuan itu tidak mendapatkan informasi apa pun. Semua rekan main Krismon telah ditanyai satu persatu, namun tidak semua anak sekolah dasar itu menjawab dengan benar. Hingga keduanya telah tumbuh dewasa seperti saat ini. Krismon masih saja menyimpan wajahnya saat bertemu dengan Sulis.

Hari yang telah lalu telah banyak menentukan keadaan manusia saat ini. Terutama sekali soal perasaan dan janji. Keduanya adalah hal yang harus diakhiri dengan segala perjuangan. Begitulah arti kesadaran oleh seorang Krismon. Dan kesadaran itu telah berakar di dalam benaknya sebagai sebuah beban besar. Garis kemiskinan adalah salah satu sebabnya. Perlu dipercaya atau tidak, kemiskinan sudah begitu merubah watak dan sifat seorang Krismon. Semasa remaja pria itu selalu merendahkan diri jika bertemu dengan kawannya yang berkecukupan. Tidak hanya itu saja, melihat banyak sekali orang kaya yang dihormati dan mendapatkan beberapa tempat terbaik di desanya, membuat ia bercita-cita ingin menjadi pegawai negeri. Sebab dengan menjadi pegawai negeri segala urusan jabatan, kekayaan dan kehormatan bisa sedikit demi sedikit didapatkan.

Masa-masa kecil telah berlalu tanpa sedikit pun kenangan seorang ibu. Seperti pesan Dukri kepadanya, kerja, kerja dan kerja. Selalu menceritakan kemiskinan masa lalu, orang tua itu sudah sedemikian kakunya. Sikap Krismon kepada Sulis dipengaruhi oleh bapaknya sendiri. Dukri menceritakan kisah masa muda dahulu saat pembantaian terhadap orang-orang komunis terjadi. Ustad Karim adalah salah satu pemuda Ansor yang terlatih pada masanya. Selain belajar agama Ia sudah menguasai berbagai macam jurus pencak silat. Salah satu tujuannya adalah untuk melindungi para ulama dan kiyai. Si jagoan pada masanya itu terlibat dalam pembantaian. Ialah yang mengeksekusi beberapa pengikut partai terlarang itu. 

Dukri sendiri ingat betul bagaimana suasana kelam itu terjadi. Ia dan beberapa kawannya menghadapi sebuah peristiwa mengerikan. Di mana orang-orang Ansor memenggal kepala mereka tanpa rasa ngeri. Begitu yakin dan bangga atas perbuatannya. Kejadian itu pula yang membuat Dukri dan Ustad Karim tak pernah bertutur sapa. Entah kenapa keduanya enggan untuk berbicara satu sama lain. Dukri ingat betul detail kejadian itu. Sebuah malam yang panjang dengan wajah tertutup kain hitam. Mata mungkin tidak bisa melihat apa-apa, tetapi telinga mendiang itu telah banyak merekamnya. Suara-suara itu masih terngiang-ngiang menusuk kepala. Di mana suara histeris, tangisan, raungan, rintihan dan teriakan korban bercampur aduk. Membuat perasaan batin meronta-ronta antara ketakutan dan kepercayaan. Orang-orang Ansor melayangkan golok ke leher para pemuda satu persatu. Hingga pada gilirannya tiba, 

Dukri satu-satunya manusia yang keluar dari jurang kematian. Ia lolos dari ancaman golok orang-orang Ansor berkat ayat suci yang dihafalkannya. Di sanalah peran Ustad Karim datang memberikan kesempatan bagi Dukri untuk membuktikan bahwa Dukri muda kala itu hanyalah salah satu korban yang tidak tahu apa-apa. Wajah Dukri memang tertutup kain hitam pada saat itu, namun telinganya sanggup mengingat suara milik Ustad Karim yang berteriak mendesaknya. 

Ustad Karim pula yang menyuruh Dukri untuk membaca surat Yasin sebagai bukti bahwa dia salah sasaran. Karena Dukri sanggup menglafalkan ayat suci tersebut lantas Ustad Karim menyeretnya keluar barisan dan menyuruhnya untuk segera lari. Itulah kenapa kedua orang itu tidak pernah lagi bertutur sapa. Dukri sendiri masih menyimpan dendam pribadi kepada Ustad Karim. Menurut almarhum apapun dasarnya dan apa pun kepercayaannya, orang-orang Ansor telah melanggar hak manusia untuk tetap hidup. Kisah itu berujung dendam yang menyuruh Krismon untuk tidak berhubungan dengan Sulis, puteri Ustad Karim itu. Meskipun begitu Krismon masih dibolehkan untuk belajar agama dengannya.

Dukri atau Ustad Karim bukanlah sebuah pilihan. Mereka hanyalah manusia yang tidak lepas dari salah dan dosa. Krismon memiliki sudut pandang sendiri yang mempengaruhi hubungannya dengan Sulis. Salah satunya karena Ia merasa tidak pantas berteman dengan keluarga orang saleh. Apa lagi nama Ustad Karim dikenal sebagai keluarga terhormat, ulama pula. Sangat jauh berbeda dari sesosok Dukri yang begitu sembrono dan keras. Citra Dukri di mata penduduk desa terbilang cukup rendah. Parahnya beberapa anak muda menyebut Dukri PKI. Lantaran laki-laki kasar itu pernah membacok bola voli hingga meletus. Kejadiannya terjadi cukup cepat dan singkat. Saat itu anak-anak muda tengah bermain voli di depan tanah lapang dekat dengan kediaman Dukri. Tiba pada sebuah giliran memukul bola. Seorang pemuda dengan semangat membara menghentak si kulit bundar tanpa sebuah perhitungan. 

Akhirnya bola itu melayang deras menuju jendela rumah Dukri. Dukri yang tengah memotong kayu bakar di sebelah rumahnya mendadak terkejut mendengar suara dentuman. Ia pun menuju asal suara. Dan didapatinya sebuah bola menggelinding di ruangan depan. Juga banyak pecahan kaca berserakan. Dukri pun naik pitam dan memukul bola voli tersebut dengan golok yang tengah digenggamnya. Seluruh pemuda kalang kabut ketakutan. Tidak ada yang berani bertanggung jawab. Setelah kejadian itu, kesalahan menjadi sebuah kebenaran yang nyata. Para pemuda mulai menyebutnya si PKI yang kejam. Tanpa mereka harus menyadari dosanya sendiri. Peristiwa itu menambah deretan alasan mengapa Krismon tersisih dari pergaulan. Tidak hanya tersisih oleh strata sosial, juga karena ekonomi dan persepsi.

Pemikiran Krismon tentang kekayaan dan kehormatan seketika berubah saat ia bertemu dengan Caeng di ibu kota. Laki-laki betawi pemilik warisan tanah seabrek itu nyatanya hanyalah mantan mahasiswa. Caeng kerap menginap di penjara akibat aksinya membela rakyat miskin atas dasar kemanusiaan. B

eruntung ia punya cukup banyak uang untuk membayar polisi. Sehingga nasibnya tidak seperti mahasiswa lain yang bertahun-tahun hilang dari peradaban dan entah kemana batang hidungnya. Caeng memang berhenti menjadi mahasiswa namun ia masih memendam kebencian pada kekuasaan tirani. Beberapa kali Caeng masih terlibat untuk mempengaruhi mahasiswa lewat cara yang begitu halus, yaitu dengan menulis. Mantan aktivis yang tak pernah tamat diploma itu sering memberikan beberapa lembar bacaan untuk Krismon. Dari situlah Krismon mulai belajar melihat kehidupan di depan matanya.

Pengaruh Caeng telah memberikan pola pikir yang baru. Baginya belajar seharusnya dapat mengurangi beban hidup bukan menambah. Tapi seperti itulah yang terjadi di depan matanya. Ia menemukan pendapatnya sendiri soal pendidikan. Menurutnya pendidikan belum bisa memberikan pemikiran yang merdeka dan bebas seperti di angan-angan negeri ini yang tercantum di dalam undang-undang dasar. Karena menurut kacamatanya pendidikan selama ini hanya dijadikan modal untuk bekal karir, memperebutkan baju coklat dan memperbanyak kekayaan. Meskipun pria itu hanya tamat Sekolah Menengah Pertama, tapi pengetahuan serta cara pandangnya sangat berbeda dari kebanyakan orang di desanya. 

Hal tersebut ia dapatkan karena Krismon suka sekali membaca buku-buku milik Caeng dan rajin mengikuti pengajian. Kemiskinan akal, kemiskinan moral, kemiskinan kepercayaan dan kemiskinan kemanusian adalah hal yang paling sulit untuk diakui oleh kebanyakan orang. Sebagai seseorang yang ditunjuk untuk menjadi ketua karang taruna di desa, Krismon enggan bekerja sama dengan para pejabat desa. Salah satu alasannya karena pria itu tidak mau mengkultuskan manusia. 

Seperti kebanyakan orang terpelajar yang mencari peruntungan di bawah kekuasaan orde baru. Mereka berlomba menjadi abdi negeri, namun enggan melihat kelingking kaki sendiri. Begitulah tanggapan Krismon terhadap kejahatan negeri oleh para kaum terpelajar. Mereka seperti halnya pohon beringin yang berakar lebat dan mencengkeram tanah dengan begitu kuat. Terorganisasi dengan begitu rapi, tapi saling silang-menyilang. Bertubuh besar karena rakus memakan kesuburan tanah tapi berbuah kerdil. Sehingga tidak banyak memberikan manfaat. Kecuali jika pohon itu ditumbangkan. Maka bisa jadi orang-orang akan berlarian membawa golok dan kampak untuk memotongnya menjadi bagian-bagian yang bermanfaat.

Kini sesosok Krismon telah menemukan arti hidup yang berbeda. Kemiskinan dan kekayaan sejatinya hanyalah sehelai rambut yang membelah samudera. Begitu tipis sehingga tidak nampak berbeda. Krismon dewasa telah bertekad untuk menebus janji. Membesarkan kedua keponakannya dan kembali mengumpulkan keluarga yang telah lama terpisah. Tapi bagaimana dengan perasaan cintanya kepada Suli. Akankah dapat tercurahkan. Mengingat umur terus berjalan tanpa seorang pendamping hidup. Dan perasaan kepada Suli yang tak pernah kunjung surut. Saatnya Krismon berjanji untuk kepentingan dirinya sendiri.

Meskipun Krismon tersisih dari orang-orang seumurannya, nyatanya ialah salah satu pemuda yang paling berpengaruh. Dialah sesosok pemuda yang berani mengorganisasi adik-adik di desa untuk mengurus musala dan membuat berbagai kegiatan keagamaan. Meskipun sempat mendapat ketidak percayaan dari generasi orang tua, namun berkat kegigihan serta kerja kerasnya tidak ada yang tidak mungkin bakal terjadi. Ia adalah ciri pemuda yang peka dan terbuka terhadap masalah adik-adiknya di desa. 

Pasalnya banyak oknum pejabat menggunakan organisasi pemuda sebagai alat kampanye. Awalnya mereka datang untuk membantu pendanaan kegiatan. Namun donasi yang diberikan tidaklah sepenuhnya ikhlas. Mereka menginginkan balas budi dari para pemuda. Seperti memasangkan spanduk kampanye, menyebarkan selebaran dari ke rumah-rumah warga hingga melibatkan pemuda ke dalam aksi iring-iringan. Beruntung tidak semua pemuda merasa senang diperlakukan demikian. Mereka bukan lagi seekor sapi perahan. Zaman terlalu cerdas untuk mengkerdilkan pemikiran manusia. Datanglah Krismon menawarkan perubahan. Ia nekat membuat dualisme kelompok pemuda yang tidak menerima bantuan pemangku kekuasaan. 

Program-programnya bukanlah program yang menghabiskan dana iuran warga atau sumbangan dari rumah ke rumah seperti sebelumnya. Hampir para warga menganggap kegiatan yang dikerjakan Krismon bersama para pemuda itu tidak masuk akal. Sebab sama sekali tidak ada pendanaan. Tapi nyatanya memang tidak ada dana yang keluar. Program yang dicetuskan Krismon adalah kegiatan yang sangat sederhana. Seperti mengajarkan anak-anak untuk pandai menulis dan membaca. Media yang digunakan pun hanyalah kertas-kertas bekas. Seperti majalah bekas, koran bekas, dan alat tulis bekas pemberian si mantan mahasiswa bernama Caeng. Lambat hari kegiatan itu pun mendapat dukungan dari para orang tua anak-anak. Mereka pun memberikan usul agar para orang tua buta huruf untuk diberikan pelatihan yang serupa.

Hari demi hari, tahun demi tahun keadaan telah banyak berubah. Krismon kini menjadi pusat perhatian warga. Bahwa Sulis sendiri tengah memperhatikan gerak-geriknya. Ia tidak sadar akan angan-angan masa lalunya yang kini telah tercapai. Seperti keinginan untuk dihormati dan disegani. Memang bukan dengan status pegawai negeri. Tapi inilah sebuah tebusan janji kepada Dukri. Bahwa ia akan segera mungkin terlepas dari kemiskinan. Dan memang bukan kemiskinan uang yang dimaksud. Melainkan kemiskinan moral, kepedulian dan kemanusiaan. Berkat beberapa kegiatannya itu, Krismon diundang untuk berdialog dengan kepala desa. Namun ia menolak karena alasan tanggung jawab. 

Sebab undangan itu ditetapkan pada hari di mana Krismon harus menyelesaikan tugasnya untuk mengenalkan huruf dan kata kepada kaum buta huruf. Sikapnya itu telah mengundang decak kagum pada diri seorang Sulis. Ia pun memutuskan untuk membantu Krismon dalam mencerdaskan warga desa. Lantas gadis matang berusia dua puluh tujuh tahun itu meminta izin Ustad Karim untuk menemuinya. Setelah mendapatkan izin, Sulis langsung berkunjung ke rumah Krismon dengan membawa bingkisan makanan. Tentunya makanan itu Ia sendiri yang memasaknya.

Rantam putih bercorak bunga berwarna merah menebarkan harum warna masakan khas orang jawa. Ongseng-ongseng sayur nangka, ikan asin, lalapan dan sambal pedas manis pembawa selera. Cukup untuk disantap tiga orang sekaligus, Ridwan, Satrio dan Krismon itu sendiri. Awalnya Sulis begitu gugup saat akan hendak mengetuk pintu. Namun debar dalam hatinya harus diredam dengan tujuan awal yang sudah bulat. Yaitu untuk membantu Krismon dalam mengurus kegiatan di desa. 

Tepi entahlah, ketika gadis itu berusaha membulatkan tekat semakin gugup pula suasana hatinya. Ia pun tidak kunjung menyentuh bibir pintu. Malahan Sulis hanya terdiam dalam suasana gemuruh tanpa sebab dan alasan. Laki-laki yang diharapkan Sulis bertemu saat itu juga muncul dari balik tubuhnya. Itulah kali pertama Sulis dan Krismon mulai saling berbicara. Keduanya saling beradu pandang melempar senyum alami. Tiba-tiba saja Sulis meringis melihat perlakuan yang berbeda dari tubuh Krismon. Tidak seperti beberapa tahun silam. Tidak ada lagi wajah malu, tidak ada lagi kabur atau lari terbirit-birit. Laki-laki yang juga berusia dua puluh tujuh tahun itu berusaha menghadapi debar dadanya. Seketika sebuah kalimat beradu memecahkan suasana. Secara bersamaan kedua orang itu menyapa bebarengan dengan kalimat yang sama pula. "Apa kabar," ucap Sulis dan Krismon. Keduanya pun saling terkejut. Dan perjumpaan itu dimulai dengan tawa lucu penuh kerinduan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun