RESEP SEPENUH HATI
Tidak banyak yang spesial dari keluarga seorang pedagang sate. Usaha terun temurun itu memang memiliki cita rasa yang special. Namun tidak pada setiap generasi yang membuatnya.Â
Warung Sate Pak Mail menjadi sebuah kalimat yang familiar baik secara nama maupun cita rasanya. Entah kenpa warung satenya bernama demikian, bukan karena statistik hitung-hitungan, bukan strategi marketing juga bukan bersal dari prediksi orang pintar. Nama itu terciptakan begitu saja tanpa pemikiran panjang, juga tanpa langkah-langkah pesugihan.Â
Ya, kerap terjadi di mana-mana, tidak terkecuali pada Sate Pak Mail ini. Gosip yang beredar tentang pesugihan selalu saja berbuah dari mulut ke mulut. Tanpa disadari gosip yang demikian justru menguntungkan pedagang. Hari demi hari sate Pak Mail semakin ramai saja membuat pasang mata yang melihat terkejut.Â
Belum lagi bagi calon pembeli yang kepalang kemakan gossip, ada kemungkinan si calon pembeli menggagalkan diri atau mungkin justru semakin curiga dan ingin membuktikannya.Â
Gosip terus menerus merambat dari bibir ke telinga begitu pun sebaliknya dari telinga ke bibir dan kembali ke telinga orang. Sebenarnya Warung Sate Pak Mail memang berada di tempat yang sangat strategis, karena Sate Pak Mail terletak di depan pertigaan jalan.Â
Diameter warungnya hanya berukuran empat kali empat meter saja, namun tempat yang sedemikian sempit tidak menyurutkan pembeli untuk hilir mudik berkunjung.
Cukup strategis sekaligus menyulitkan. Terkadang jalan menjadi ramai, tak jarang juga kemacetan terjadi akibat kendaraan pembeli yang parkir sembarangan di depan warungnya.
Sewaktu masih sekolah Mulyadi dan kedua adiknya selelu meluwangkan waktu untuk menyiapkan bahan mulai dari memotong daging, menusukan daging, hingga meramu bumbu dengan resep rahasia keluarga. Seperti itulah seorang Mulyadi asal Madura itu menggelutinya.Â
Sebenarnya tidak terlalu rahasia resep buatan keluarga Pak Mail itu, mungkin saja pedagang lain juga menggunakan resep yang sama. Atau bisa jadi resep keluarga itu bukan lagi rahasia umum.Â
Siapapun pernah melakukannya saat hari raya, seperti saat Idul Adha di mana semua orang merasakan senang menyantap daging sate buatan sendiri tanpa kalimat menghujat, di mana orang tua, anak muda, bahkah remaja rela membuat bau asap pada tubuhnya setelah berjam-jam atau mungkin bermenit-menit yang lalu. Mereka terbungkam dalam canda dan tawa pesta makan besar. Â Tentunya dengan perasaan sepenuh hati.
Ya, nama resep itu adalah resep memasak sate sepenuh hati. Tapi Mulyadi bukankah sesosok amatiran yang membuat sate hanya dari pengalaman Idul Adha. Dahulu sekali saat ia masih sekolah, ruang dan waktunya tidak hanya tersita pada buku-buku dan alat tulus melulu melainkan juga kepada aktivitas mengolah bahan-bahan sate.Â
Aktivitas yang demikian berkelanjutan itu terjadi bukan karena keterpaksaan melainkan berbuatan budi dari seorang anak yang sepenuh hati meringankan perkerjaan orang tuanya untuk kehidupannya sendiri. Tentu saja Mulyadi kecil sama seperti anak-anak lain seusianya, mempunyai banyak cita-cita dan harapan. Â
Meskipun Mulyadi bangga dengan bapak yang sudah bekerja keras menafkahinya, namun tetap saja pada diri seorang remaja yang kala itu khatam melihat segala profesi terbaik, tidaklah sepesial menjadi anak pedagang sate dengan kesederhanaan demikian.Â
Jauh dalam diri seorang Mulyadi ingin sekali cepat-cepat merubah nasib keluarganya itu dengan profesi baru yang tidak banyak menghabiskan keringat dan waktu.Â
Sebelum Mulyadi benar-benar menjadi tukang sate, ia sudah pernah menjadi pegawai kantor tetapi bukan komputer dan dokumen-dokumen penting yang menjadi kawanannya, melainkan sapu dan rekannya yaitu pengki.Â
Atas ketidak cocokannya itu lantas ia kembali mencari pekerjaan yang sesuai dengan pelajaran di sekolahnya dahulu. Namun ijazah sekolah kejuruan dengan kemampuan akuntan itu tidak dapat memberikan apa-apa selain kembali menjadi seorang pegawai rendahan pada sebuah rumah makan.Â
Dari rumah makan tempatnya bekerja Mulyadi sempat menimbang-nimbang harapan baru dalam bertahan hidup sepanjang sejarah pedagang sate.Â
"Ketimbang memperbesar kantong uang rumah makan yang menjadikanku babu itu, kan lebih baik aku jadi bos sendiri di rumah makan sendiri saja" begitulah kira-kira tuturnya.Â
Tapi ia terus saja meyakinkan diri bahwa seorang Mulyadi tidak akan pernah memasak sate ataupun menjadi tukang sate seperti bapaknya. Sebab Mail sendiri yang mengatakan itu kepada anaknya "Tak pernah aku berharap kelak kau akan merasakan hal yang sama, menjadi tukang sate".
Semakin Mulyadi menolak sebuah bakat semakin sulit ia bertahan hidup dalam keniscayaan abadi. Bocah malang itu diujung kontraknya sebagai seorang pegawai mini market. Terhitung dua hari lagi atau sama dengan mengedipkan mata sebanyak dua kali, waktu yang cepat untuk mencari pekerjaan baru.Â
Soal Mulyadi tidak mendapatkan kontrak kedua dari pihak mini market bukanlah tanpa sebab, semuanya telah tercetak pada catatan kenerja karyawan dan semuanya melulu soal pendapatan mini market yang tak sesuai ekspetasi.Â
Di tengah mendung yang menggerutu di hatinya itu Mulyadi kembali dihadapkan dengan kenyataan baru, laki-laki tua bangka bernama Mail itu tak kuasa lagi menahan rasa sakit yang menderitanya selama ini. Nafasnya sesak tersengal-sengal, suaranya begitu lirih, kian hari semakin parah saja.Â
Penyakit asma yang diderita Mail sebenarnya jenis penyakit lama, bekerja siang dan malam di depan kepulan asap tentu akan memperparah keadaan fisiknya. Tapi itulah sebuah perjuangan sepenuh hati memperoleh rizeki untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. Mail pun memutuskan diri untuk segera pensiun dan itu artinya warung sate akan segera diwariskan.
Ketidakterimaannya kepada keadaan membuat Mulyadi ingin semakin bertegat untuk melepaskan beban. Mulyadi berusaha keras mencari pengharapan baru dengan lembaran kertas di dalam mapnya.Â
Namun semakin iya berusaha lari dari kenyataan semakin terprosok jauh dalam kubangan sampai diri tak dapat melepaskannya lagi. Siang itu Mulyadi sehabis pulang menggelandang di ibu kota, dengan baju kemaja putih itu ia memburu ranjang untuk membenamkan lelahnya. Bagi bocah malang itu pulang menggelandangi ibu kota saat waktu baru menginjak siang adalah sebuah kekalahan.Â
Semua angannya kembali berputar dalam sesak seisi ruangan yang menjadikannya pusing kepala sebelah. Rasa sakit yang tidak bisa sembuh hanya dengan meminum parasetamol. Barang kali semedi dalam kamar untuk beberapa hari kedepan dapat mengobati rasa sakitnya.Â
Di tengah keheningan pukul satu siang Mulyadi menangkap suara-suara dari belakang rumah. Kemudian secara cepat suara-suara itu merambat masuk ke ruangan dapur, juga suara dari laki-laki tua itu. Â
Ia terdengar seperti menahan laju suara-suara dari belakang rumah, nada sura itu terdengar mendesah dan merintih penuh kemalangan. Jelas Mulyadi tahu sura-suara siapa itu.Â
"Siapa itu?" teriak Mail.
"Ini aku Pak. Zarkoni anakmu dan Mahisa?" jawab kedua bocah itu menahan takut.
"Mana ibu kalian? kedua bocah itu hanya saling bertatapan satu sama lain. Tidak berani menjawab pertanyaan dari bapaknya sendiri. Lalu terdengar suara langkah kaki ibunda masuk ke dalam ruangan.Â
Sementara Mulyadi menguping dari dalam kamarnya. Dengan sebuah penangkapan lain yang menganalisa kejadian di dalam pikirannya. Suara-suara itu tidaklah bersahabat pada diri Mulyadi, tentu saja tidak bersahabat dalam artian lain. Pasti adik-adiknya telah melakukan sebuah rencana. Barang kali mereka sengaja tidak berangkat sekolah.Â
Apalagi waktu baru menunjukan pukul satu siang, karena biasanya bocah-bocah ingusan itu pulang pukul dua, pikirnya. Tapi bisa jadi memang mereka pulang lebih cepat hanya saja kemunculan mereka berdua dari belakang rumah cukup membuat pemahaman itu jadi meragukan. Lantas untuk memastikan kecurigaannya itu Mulyadi beranjak dari kamarnya menuju dapur menghampiri suara milik kedua adiknya itu.Â
Terkejutlah Mulyadi melihat kedua adiknya sedang menusuk-nusukan sate kesebuah tusukan berbahan bambu bersama ibunya. Sementara Mail berdiri di depan mereka sambil menahan haru, tak luput juga air menetes dari sela-sela mata si tua Bangka itu.Â
Mulyadi yang muncul dari balik tubuh Mail membuat seisi ruangan menjadi berhenti bekerja. Kedua adiknya yang masih sekolah menatap lirih tubuh kurus milik abangnya itu. Tanpa menoleh kebelakang Mail telah mengetahui sesosok darah dagingnya berdiri dengan arah pandangan yang sama.Â
"Tidak sebenarnya tuduhanmu nyata. Aku tak pernah menginginkan kalian untuk menjadi sepertiku" ucap Mail merintih kepada semua orang di ruangan itu dalam tubuh lemahnya.
"Kenapa kalian tidak sekolah" Tanya Mulyadi kepada adik-adiknya mencari informasi.
"Kita belum membayar  SPP mereka" Jawab Rusmilah kepada anak sulungnya.
"Abang sudah dapet kerjaan baru?" ucap Mahisa dengan wajah penuh senyum menatap. Tentu saja wajah itu hanya dibuat-buat saja, untuk membuat keadaan dalam ruangan itu menjadi cair.Â
Namun ucapan si bungsu tidaklah memberikan apa-apa selain rasa penyesalan sehingga membuat kedua bibir Mulyadi bungkam dan menundukan wajahnya. Lantas si bungsu itu kembali bercelotah.Â
"Nanti sore kami akan berjualan sate jadi abang juga harus semangat cari kerjanya. Kita berjuang sama-sama" kali ini ucapan bungsu cukup berhasil membuat haru.Â
Orang-orang seisi ruangan menatapnya dengan senyum sepenuh hati, namun tidak pada wajah Mulyadi yang masih menunduk. Baginya suasana seperti itu hanyalah guyonan untuk dirinya, tak bisa berbuat banyak untuk melarikan diri dari sebuah bakat yang tak pernah ia inginkan adalah komedi tengah malam yang menjadikan mimpi buruk di atas ranjang.Â
Entah mengapa perasaan batin Mulyadi menjadi begitu panas dan menggelegar. Seperti menyimpan suara aneh dengan kekuatan dahsyat yang siap meledak kapan saja. Listrik di otaknya mulai mengantarkan pesan kepada saraf-sarafnya untuk segera melakukan tindakan. Lantas ia berkata "aku ingin merubah nama warung sate kita menjadi Warung Sate Mulyadi".
Mulyadi tak ingin adik-adiknya secepat itu menjadi tukang sate seperti bapaknya. Melihat adik-adiknya berhenti sekolah lalu berdagang sate bagi Mulyadi bukanlah sebuah takdir yang patut disyukuri.Â
Maka tidaklah adil jikalau hanya Mulyadi seorang yang sempat mencicipi bangku sekolah sampai selesai. Ia memutuskan menggantikan posisi Sang bapak bukan lagi karena ia telah kalah dalam pencarian hidup, tetapi itu semuanya demi membantu adik-adiknya melanjutkan sekolah dan menemukan pengharapan tentang hidup di masa depan dengan harapan bukan lagi menjadi tukang sate.Â
Tentunya semua keputusannya itu berasal dari ketulusan hati sebagai seorang anak tertua di keluarga sekaligus sebagai pemilik bakat kepada sate-satenya yang tak pernah membuatnya kehilangan harapan.Â
Atas resep keluarga bernama sepenuh hati Mulyadi telah memutuskan sendiri disaksikan kedua mata orang tuanya dan kedua mata adik-adiknya. Pikirnya kalaupun suatu saat nanti nasib membawa Zarkoni dan Mahisa dengan sepenuh hati menjadi tukang sate, setidaknya mereka berdua pernah mengalami pengalaman sama yang bernama putus asa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H