Sementara Mulyadi menguping dari dalam kamarnya. Dengan sebuah penangkapan lain yang menganalisa kejadian di dalam pikirannya. Suara-suara itu tidaklah bersahabat pada diri Mulyadi, tentu saja tidak bersahabat dalam artian lain. Pasti adik-adiknya telah melakukan sebuah rencana. Barang kali mereka sengaja tidak berangkat sekolah.Â
Apalagi waktu baru menunjukan pukul satu siang, karena biasanya bocah-bocah ingusan itu pulang pukul dua, pikirnya. Tapi bisa jadi memang mereka pulang lebih cepat hanya saja kemunculan mereka berdua dari belakang rumah cukup membuat pemahaman itu jadi meragukan. Lantas untuk memastikan kecurigaannya itu Mulyadi beranjak dari kamarnya menuju dapur menghampiri suara milik kedua adiknya itu.Â
Terkejutlah Mulyadi melihat kedua adiknya sedang menusuk-nusukan sate kesebuah tusukan berbahan bambu bersama ibunya. Sementara Mail berdiri di depan mereka sambil menahan haru, tak luput juga air menetes dari sela-sela mata si tua Bangka itu.Â
Mulyadi yang muncul dari balik tubuh Mail membuat seisi ruangan menjadi berhenti bekerja. Kedua adiknya yang masih sekolah menatap lirih tubuh kurus milik abangnya itu. Tanpa menoleh kebelakang Mail telah mengetahui sesosok darah dagingnya berdiri dengan arah pandangan yang sama.Â
"Tidak sebenarnya tuduhanmu nyata. Aku tak pernah menginginkan kalian untuk menjadi sepertiku" ucap Mail merintih kepada semua orang di ruangan itu dalam tubuh lemahnya.
"Kenapa kalian tidak sekolah" Tanya Mulyadi kepada adik-adiknya mencari informasi.
"Kita belum membayar  SPP mereka" Jawab Rusmilah kepada anak sulungnya.
"Abang sudah dapet kerjaan baru?" ucap Mahisa dengan wajah penuh senyum menatap. Tentu saja wajah itu hanya dibuat-buat saja, untuk membuat keadaan dalam ruangan itu menjadi cair.Â
Namun ucapan si bungsu tidaklah memberikan apa-apa selain rasa penyesalan sehingga membuat kedua bibir Mulyadi bungkam dan menundukan wajahnya. Lantas si bungsu itu kembali bercelotah.Â
"Nanti sore kami akan berjualan sate jadi abang juga harus semangat cari kerjanya. Kita berjuang sama-sama" kali ini ucapan bungsu cukup berhasil membuat haru.Â
Orang-orang seisi ruangan menatapnya dengan senyum sepenuh hati, namun tidak pada wajah Mulyadi yang masih menunduk. Baginya suasana seperti itu hanyalah guyonan untuk dirinya, tak bisa berbuat banyak untuk melarikan diri dari sebuah bakat yang tak pernah ia inginkan adalah komedi tengah malam yang menjadikan mimpi buruk di atas ranjang.Â