Komunikasi adalah suatu kegiatan yang melakukan proses mengirim dan menerima sebuah informasi berupa pesan bermakna dari sistem saraf yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang untuk bebagai tujuan tertentu.Â
Pada umumnya komunikasi dilakukan dengan tujuan saling bertukar informasi, tapi lain kesempatan terkadang komunikasi bertujuan untuk mengungkapkan emosional pengirim dan memanipulasi perilaku orang lain (penerima).
Hasil interaksi dinamis antara konsep mental, objek, dan tanda atau simbol-simbol yang ada, sangat mempengaruhi pembentukan makna sebuah pesan yang dibentuk dari sistem saraf. Dalam memahami komunikasi, seringkali kita terperangkap pada simbol dan tanda-tanda tertentu.Â
Hal ini disebabkan oleh asumsi sederhana yang cenderung melihat tanda atau simbol memiliki suatu makna. Namun, kita sering lupa bahwa simbol atau tanda memiliki kompleksitas yang terkait dengan banyak faktor, termasuk pengetahuan dan budaya dari pelaku komunikasi yang terlibat.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pendekatan semiotika berusaha untuk menginterpretasi isi pesan dalam komunikasi dan juga media. Artikel ini akan membahas tentang komunikasi dengan pendekatan semiotika.
Pengertian Semiotika
Semiotika sering dipandang oleh para ahli sebagai suatu pendekatan, metode, atau model untuk menganalisis tanda (sign) dan maknanya (signification), bukan sebagai suatu disiplin ilmu, karena semiotika, seperti halnya filsafat dan logika, bersifat interdisipliner. Dengan demikian, disiplin ilmu semiotika bisa dimanfaatkan pada berbagai bidang seperti arsitektur, kedokteran, seni, film, linguistik, komunikasi, agama, hukum, antropologi, dan lain-lain.
Semiotika berasal dari sebuah kata Yunani "semeion", yang memiliki arti tanda. Semiotika adalah suatu pendekatan tentang tanda-tanda. Tanda-tanda ini menyampaikan informasi secara komunikatif. Keberadaannya bisa mengartikan sesuatu yang lain (memiliki makna), bisa dipikirkan atau dibayangkan.
Tujuan dari semiotika adalah untuk menemukan makna-makna yang terdapat dalam sebuah tanda atau menginterpretasikan maknanya supaya dapat mengetahui bagaimana pengirimnya membangun sebuah pesan. Konsep makna tidak bisa dipisahkan dari sudut pandang atau nilai ideologi, serta gagasan budaya tertentu yang menjadi cakupan pemikiran masyarakat dimana simbol tersebut dihasilkan.
Tokoh Semiotika
A. Ferdinand de Saussure (1857-1913)
Ferdinand De Saussure adalah salah satu pakar semiotika. Menurut Ferdinand De Saussure, Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam kehidupan sosial umat manusia, termasuk apa saja tanda dan hukum apa yang mengatur pembentukan tanda - tanda tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa tanda dan makna dibalik tanda itu terbentuk dalam kehidupan sosial dan dipengaruhi oleh sistem (atau hukum) yang ada.
Ferdinand De Saussure dianggap sebagai tokoh sentral dalam semiotika, dialah yang pertama kali menggunakan istilah "semiology" (Eropa) "semantics" (Amerika), yaitu ilmu tentang tanda dan penggunaannya dalam masyarakat.Â
Ferdinand de Saussure lahir di kota Jenewa, Swiss, tepat pada tanggal 26 November 1857. Ayahnya Henri Louis Fredric de Saussure, adalah seorang ahli geologi terkenal, dan ibunya Louise Elisabeth de Pourtals, berasal dari keluarga bangsawan Prancis. Saussure tumbuh di lingkungan akademik dan belajar bahasa dan sastra sejak usia dini.
Menurut Ferdinand De Saussure, tanda berasal dari linguistik atau bahasa atau tanda visual. Saussure juga mengatakan bahwa tanda adalah segala sesuatu yang memiliki arti, hubungan antara "konkret" dan "abstrak", hubungan antara "bentuk" dan "makna", hubungan antara "citra suara" dengan "konsep" dan hubungan arbitrer atau motivated. Semiotika Saussure terkenal dengan konsep dikotomi (tanda terdiri dari dua unsur), sehingga unsur ini memberi tanda atau sesuatu yang memberi makna.
Dalam teori ini, semiotika dibagi menjadi dua bagian (dichtomy), yaitu petanda (signified) dan penanda (signifier). Penanda dilihat sebagai wujud/bentuk fisik yang dapat dikenali dari bentuk karya arsitektur, sedangkan petanda dilihat sebagai makna yang diungkapkan oleh konsep, fungsi dan/atau nilai yang terkandung dalam karya arsitektur.Â
Eksistensi semiotika Saussure adalah hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) berdasarkan kesepakatan (konvensi), yang sering disebut signifikasi.Â
Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari hubungan dari unsur-unsur tanda dalam suatu sistem, berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Untuk dapat menafsirkan suatu tanda, diperlukan suatu konvensi sosial.Â
Menurut Ferdinand De Saussure, tanda (sign) terdiri dari: pertama, Suara dan gambar disebut penanda (signifier). kedua, konsep yang berasal dari suara dan gambar disebut petanda (signified).
Ketika kegiatan berkomunikasi, seseorang akan menggunakan tanda (sign) untuk menyampaikan maksud dari suatu objek, dan kemudian orang lain akan menginterpretasikan (menafsirkan) tanda tersebut.Â
Objek bagi Saussure disebut referent. Sama halnya seperti Peirce, yang menyebut petanda sebagai interpretasi dan penanda sebagai objek, perbedaannya adalah Saussure menafsirkan objek sebagai referensi dan menyebutkannya sebagai elemen tambahan dalam proses pemaknaan.Â
Contoh: Ketika orang mengucapkan "(nama hewan)" (signifier) dengan nada tinggi, itu bisa pertanda kesialan (signified). Menurut Saussure, penanda (signifier) dan petanda (signified) adalah satu kesatuan, hal yang tak terpisahkan, seperti dua sisi dari selembar kertas (Sobur, 2006).
Terdapat tiga pembentukan sign menurut Saussure:
1. Oral-visual Sign
Penanda (signifier) berupa suara = "sendok" dan petanda (signified) konsep = sendok (pikiran). Â Konsep merujuk pada suatu hal yang telah kita pikirkan atau bayangkan dalam otak kita. Contohnya, ketika kita mendengar kata "sendok", otak kita secara otomatis membayangkan objek tersebut sebagai alat untuk makan atau mengaduk teh dan kopi, Ini disebut sebagai konsep. Perbedaan antara konsep dan objek adalah bahwa konsep mengacu pada fungsinya atau nilainya, sedangkan objek mengacu pada bentuk fisiknya.
2. Written Sign
Kata "kodok" dapat mewakili konsep bahwa kodok adalah binatang amfibi. Namun, ketika kita membaca kata "kodok", kita bisa membayangkan gambar atau bentuk fisik dari kodok itu sendiri, yang disebut sebagai objek. Meskipun tulisan dan konsep dapat membentuk tanda, tidak selalu konsep tersebut merupakan objek.
3. Visual Sign
Sama seperti Oral-visual sign, bedanya penanda pada visual sign berupa gambar. Contoh penanda (signifier) berupa gambar = "macam" dan petanda (signified) konsep = hewan (pikiran).
B. Charles Sanders Pierce
Menurut Peirce, semiotika bergantung pada logika, karena logika mempelajari bagaimana manusia berpikir, dan Peirce berpendapat bahwa pemikiran dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan orang lain, dan berpikir untuk memberi makna pada apa yang ada di alam semesta. Ada banyak jenis tanda-tanda yang beragam, dan tanda - tanda linguistik adalah salah satu jenis yang penting, tetapi bukan satu-satunya jenis.
Peirce memusatkan perhatiannya pada bagaimana tanda berfungsi secara umum dalam mengembangkan semiotika. Ia memberikan perhatian penting pada linguistik, tetapi tidak hanya pada linguistik saja. Prinsip yang berlaku untuk tanda-tanda secara umum juga berlaku untuk tanda-tanda linguistik, tetapi tidak berlaku sebaliknya. Menurut Peirce, tanda-tanda terkait dengan objek-objek yang menyerupainya, dan keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena adanya ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut.
Peirce menciptakan sebuah teori umum untuk segala jenis tanda. Ia memberikan dasar-dasar yang kuat pada teori tersebut dalam berbagai tulisan yang tersebar dan kemudian dikumpulkan dalam karya lengkap, Ouvres Completes, dua puluh lima tahun setelah kematiannya. Tulisan-tulisan tersebut sering kali mengandung pengulangan dan koreksi, sehingga menjadi tugas para penganut semiotika Peirce untuk mencari koherensi dan menemukan hal-hal yang penting. Peirce memiliki keinginan supaya teorinya yang bersifat umum tersebut bisa diterapkan pada segala jenis tanda-tanda yang ada dan untuk mencapai tujuan tersebut, ia menciptakan konsep-konsep baru. Selain itu, ia juga menciptakan kata-kata baru yang ia sendiri buat untuk melengkapi konsep tersebut (Kaelan, 2009).
Peirce membagi tanda menjadi tiga jenis berdasarkan objeknya, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah suatu tanda yang hubungan antara penanda (signifier) dan petandanya (signified) bersifat kemiripan alamiah. Sebagai contoh, potret dan peta adalah jenis ikon. Indeks adalah tanda yang menampilkan hubungan alamiah antara tanda (signifier) dan petanda (signified), yang bersifat kausal atau memiliki hubungan sebab-akibat. Sebagai contoh, asap sebagai tanda adanya api adalah jenis indeks. Sementara itu, simbol adalah tanda konvensional yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya, yang bersifat semena-semantik atau berdasarkan perjanjian masyarakat.
C. Roland Barthes
Roland Barthes melanjutkan pemikiran Saussure dengan menekankan pada interaksi antara teks dengan pengalaman pribadi dan budaya pengguna. Hal ini mencakup interaksi antara konvensi teks dan konvensi yang diharapkan dan dialami oleh pengguna. Konsep ini dikenal sebagai "order of signification" yang mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang muncul dari pengalaman pribadi dan budaya). Meskipun Barthes masih menggunakan istilah signifier-signified yang diperkenalkan oleh Saussure, ini merupakan titik perbedaan antara pemikiran keduanya.
Denotasi biasanya diartikan sebagai makna harfiah atau makna yang sesungguhnya. Terkadang, denotasi juga bisa disalahartikan dengan referensi atau acuan. Secara tradisional, proses signifikasi yang disebut denotasi merujuk pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. (Sobur, 2009)
Dalam studinya tentang tanda, Barthes mengeksplorasi peran pembaca dalam konotasi. Konotasi adalah sifat alami tanda, tetapi memerlukan partisipasi pembaca untuk berfungsi. Para ahli semiotik aliran konotasi tidak memperhatikan makna dasar saat menganalisis sistem tanda, melainkan berusaha untuk mendapatkan makna konotasi. (Sobur, 2009)
Barthes juga memperhatikan aspek lain dari proses pemberian makna, yaitu "mitos" yang menandai suatu masyarakat. Menurut Barthes, "mitos" terletak pada tingkat kedua pemberian makna, setelah sistem sign-signifier-signified terbentuk. Penanda baru yang memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru lagi sampai sebuah tanda dengan makna konotasi berubah menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Roland Barthes (1915-1980) mengadopsi teori signifiant-signifi dan memperkenalkan teori tentang konotasi. Perbedaan utamanya adalah Roland Barthes lebih memfokuskan teorinya pada sebuah mitos dan masyarakat budaya tertentu (bukan individu). Menurut Barthes, semua yang dianggap normal di dalam suatu masyarakat adalah hasil dari proses konotasi. Perbedaan lainnya adalah penekanannya pada konteks dalam penandaan. Barthes menggunakan perumpamaan "expression" (ekspresi, untuk penanda) dan "contenu" (isi, untuk petanda). Secara teoritis, bahasa sebagai system memang statis, misalnya "kursi empuk" berarti kursi yang memiliki busa seperti sofa. Ini disebut sebagai bahasa tingkat pertama. Namun, bahasa sebagai tingkat kedua memungkinkan kata "kursi empuk" membawa makna "jabatan yang bagus". Lapisan kedua ini disebut konotasi.
Barthes menjelaskan bagaimana tanda bekerja, sebagai berikut:
Skema di atas menjelaskan bahwa penanda (1) dalam teks akan memunculkan petanda (2) atau makna yang terkait. Namun, makna ini hanya terbatas pada apa yang ditunjukkan oleh penanda (1). Sebagai contoh, jika ada penanda (1) berupa "singa", maka petanda (2) yang muncul hanya sebatas "si raja hutan".
Penanda (1) dan petanda (2) yang telah dijelaskan adalah bagian dari denotasi (3). Artinya, denotasi (makna tingkat pertama) terdiri dari penanda dan petanda. Namun, secara bersamaan, tanda denotatif (3) juga dapat menjadi penanda konotatif (I). Dalam hal ini, ada petanda konotatif yang bersifat interteks, yaitu memiliki makna di luar makna denotatif atau makna tingkat kedua. Makna tingkat kedua (II) dapat berupa hal yang bersifat ideologi dan tidak dapat dirasakan secara langsung karena bersifat laten. Sebagai contoh, "si raja hutan" mengandung makna kegarangan dan keberanian. Ketika ideologi ini diterapkan dalam kehidupan manusia sehari-hari, maka akan muncul makna secara mendalam (III) bahwa seseorang yang memimpin atau cenderung mendominasi, berani dalam mengambil keputusan, dan dihormati.
D. Umberto Eco
Umberto Eco dilahirkan di kota Alessandria, Italia pada tanggal 5 Januari 1932. Dia adalah seorang kritikus sastra, novelis, dan ahli semiotik yang terkenal. Eco dikenal sebagai seorang ahli semiotik karena karyanya yang berjudul "Il Nome della Rosa". Ketika Perang Dunia II pecah, Umberto Eco yang masih muda dan ibunya Giovanna pindah ke sebuah desa di lereng gunung Piedmont.
Nama ECO adalah singkatan dari "Ex Caelis Oblatus", yang berarti "hadiah dari surga". Pada awal studinya, Eco mempelajari bidang estetika dan menerbitkan karya "Opera Aperta". Setelah meraih kesuksesan dalam bidang tersebut, Eco melanjutkan penelitiannya ke bidang semiotika dan komunikasi. Dalam bidang tersebut, ia menciptakan karya-karya seperti "A Theory of Semiotics" dan "Semiotics and the Philosophy of Language". Umberto Eco sangat produktif dalam menciptakan karya-karya terutama dalam bidang semiotika dan komunikasi. Ia menyelidiki hasrat orang Barat dalam kehidupan sehari-hari dan mengumpulkan indeks pola kehidupan.
Menurut Umberto Eco, tanda adalah segala sesuatu dalam realitas yang dapat diinterpretasikan sebagai suatu makna, yang terdiri dari dua komponen penting, yaitu signifier (penanda) dan signified (yang ditandai), yang menghasilkan makna.
Eco menjelaskan bahwa tanda terbentuk dari proses semiosis yang terdiri dari tiga unsur, yaitu objek, interpretant, dan tanda itu sendiri. Objek adalah fokus dari proses semiosis yang diberi makna. Interpretant adalah pemahaman atau penafsiran terhadap objek yang diberikan oleh penerima atau interpreter. Sedangkan tanda adalah segala sesuatu yang memberikan informasi tentang objek dan memfasilitasi proses semiosis antara objek dan interpretant.
Eco mengklasifikasikan tiga jenis tanda, yaitu icon (tanda yang menyerupai objeknya), index (tanda yang memiliki hubungan langsung dengan objeknya), dan symbol (tanda yang memiliki makna karena konvensi atau kesepakatan sosial). Eco menekankan bahwa tanda bukanlah sesuatu yang inheren pada objek, melainkan hasil dari konvensi atau kesepakatan sosial yang memungkinkan suatu tanda dipahami dan diterima oleh masyarakat yang menggunakan tanda tersebut.
Menurut Eco, terdapat tiga ranah dalam kajian semiotika yaitu ranah politis, ranah alam, dan ranah epistemologi.
1. Ranah Politis
Pada ranah politis, semiotika memiliki tiga batasan yaitu batas akademis yang membahas objek material, objek formal, paradigma, dan substansi tanda batas kerjasama interdisiplin, di mana semiotika bekerja sama dengan disiplin ilmu lain dan batas empiris, di mana semiotika mengkaji berbagai fenomena yang relevan dalam bidang semiotika.
2. Ranah Alam
Ranah Alam adalah kajian tentang tanda yang berasal dari peristiwa fisik di alam, baik itu yang disengaja maupun yang tidak disengaja, seperti perilaku manusia yang selalu memberikan isyarat dalam kehidupannya, seperti contohnya orang yang batuk atau bersin.
3. Ranah Epistemologi
Ranah Epistemologi berkaitan dengan cara manusia memahami realitas atau kenyataan yang bersifat simbolik. Dalam ranah ini, definisi objek semiotik tidak tergantung pada objek yang tetap, melainkan pada definisi teoritis dari disiplin semiotika itu sendiri. Oleh karena itu, semiotikawan harus terus mempertanyakan objek atau fenomena sosial yang dapat berubah dan diatur ulang.
Umberto Eco memperkenalkan semiotika yang berada di antara semiotika Saussure dan Pierce. Ia dianggap sebagai semiotikawan kontemporer yang sangat cerdas karena mengembangkan teori posibilitas dan fungsi sosial dengan berbagai pendekatan untuk setiap fenomena semiosis. Eco berhasil menyatukan pemahaman dari Saussure dan Pierce melalui teori simbol dan teori produksi tanda. Ia membuat sebuah pemahaman dalam pendekatan semiotika, yang menjadi penengah pemikiran Saussure dan Pierce dengan teori komunikasinya. Menurut Eco, semiotika komunikasi adalah suatu proses komunikasi yang terdiri dari delapan komponen, yaitu sumber (source), pengirim (transmitter), sinyal pengirim (gel suara), saluran (channel), sinyal penerima (signal), penerima (receiver), pesan (message), dan tujuan (destination).
Menurut Umberto Eco, terdapat 8 komponen dalam semiotika komunikasi, yaitu:
- Sumber (Source): Merupakan orang atau organisasi yang menciptakan pesan atau informasi yang akan disampaikan.
- Pengirim (Transmitter): Orang atau organisasi yang mengirimkan pesan atau informasi dari sumber ke penerima.
- Sinyal Pengirim (Gel Suara): Suara yang dihasilkan oleh pengirim dan dikirimkan melalui saluran atau channel.
- Saluran (Channel): Media atau jalur yang digunakan untuk mengirimkan pesan atau informasi, seperti media cetak, radio, televisi, internet, dan lain-lain.
- Sinyal Penerima (Signal): Suara atau pesan yang diterima oleh penerima.
- Penerima (Receiver): Orang atau organisasi yang menerima pesan atau informasi yang dikirimkan oleh pengirim melalui saluran atau channel.
- Pesan (Message): Informasi atau pesan yang disampaikan oleh pengirim dan diterima oleh penerima.
- Tujuan (Destination): Tujuan atau target dari pesan atau informasi yang dikirimkan oleh pengirim, seperti untuk memberikan informasi, menghibur, meyakinkan, dan lain-lain.
Kelebihan dan Kelemahan Semiotika menurut Umberto Eco
Umberto Eco mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan semiotika sebagai berikut:
Kelebihan Semiotika:
- Semiotika memberikan kontribusi penting dalam memahami proses komunikasi dan tanda - tanda yang terlibat dalam proses ini. Dengan mempelajari tanda-tanda dan proses semiosis, kita dapat memahami bagaimana makna terbentuk dalam komunikasi.
- Semiotika mampu mengeksplorasi perbedaan-perbedaan di antara tanda-tanda yang berbeda dan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana makna terbentuk dalam komunikasi. Semiotika memungkinkan kita untuk menganalisis tanda-tanda dari berbagai konteks dan memahami bagaimana tanda-tanda itu berinteraksi satu sama lain untuk membentuk makna.
- Semiotika dapat mengungkapkan aspek-aspek dalam bahasa dan budaya yang tersembunyi atau tidak tersedia secara eksplisit bagi orang yang tidak terbiasa dengan budaya tersebut. Dengan mempelajari tanda-tanda dalam bahasa dan budaya tertentu, kita dapat memahami nilai-nilai, norma, dan konvensi yang terkandung dalam budaya tersebut.
Kelemahan Semiotika:
- Semiotika cenderung mengabaikan konteks sosial dan politik di mana tanda-tanda dan komunikasi terjadi. Ini dapat menyebabkan ketidaksadaran terhadap factor-factor eksternal yang mempengaruhi proses komunikasi dan makna yang terbentuk.
- Semiotika cenderung terfokus pada tanda-tanda verbal dan visual, dan kurang memperhatikan tanda-tanda nonverbal dan pengaruhnya terhadap proses komunikasi. Tanda-tanda nonverbal seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan intonasi suara juga memiliki peran penting dalam komunikasi dan pembentukan makna.
- Semiotika sering kali mengabaikan aspek emosional dan psikologis dari proses komunikasi dan makna yang terbentuk. Emosi, perasaan, dan pengalaman pribadi juga memainkan peran penting dalam pembentukan makna dan dapat mempengaruhi cara kita memahami tanda-tanda.
Kesimpulan
Semiotika adalah pendekatan tentang tanda, simbol, dan makna di dalam bahasa dan komunikasi. Bahasa dan tanda-tanda yang digunakan dalam komunikasi memegang peran penting dalam membentuk makna. Setiap tanda memiliki makna yang berbeda-beda tergantung pada konteksnya. Kita dapat memahami makna sebuah tanda melalui proses interpretasi yang kompleks, di mana kita menggunakan pengetahuan dan pengalaman kita untuk memahami tanda tersebut. Semiotika dapat diterapkan dalam berbagai bidang, seperti sastra, film, iklan, dan desain grafis. Sebagai pengguna bahasa dan tanda-tanda, kita harus memahami pentingnya konteks dalam membentuk makna dan menyadari bahwa interpretasi kita dapat bervariasi tergantung pada latar belakang, pengalaman, dan budaya yang berbeda-beda.
Referensi:
Sardila, V. (2016). Analisis Semiotika pada Tunjuk Ajar Melayu sebagai Pendekatan Pemahaman Makna dalam Komunikasi. Jurnal Dakwah Risalah, 27(2), 87-96.
Rohim, S. K. (2022). Telaah Hadis Semiotik (Perspektif Teori Semiotika Umberto Eco) (Doctoral dissertation, IAIN KUDUS).
Tinarbuko, S. (2003). Semiotika analisis tanda pada karya desain komunikasi visual. Nirmana, 5(1).
Hendro, E. P. (2020). Simbol: Arti, Fungsi, dan Implikasi Metodologisnya. Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi, 3(2), 158-165.
Eco, U. (1979). A theory of semiotics (Vol. 217). Indiana University Press.
Abdillah, R. (2020). Pemikiran Tokoh Semiotika Modern. TEXTURA, 1(1), 48-62.
Tamara, J. (2020). Kajian Semiotika Roland Barthes pada Poster Unicef. Journal of Education, Humaniora and Social Sciences (JEHSS), 3(2), 726-733.
Nujhan, M. R. (2019). Makna Simbol Panca Jiwa (Analisis Semiotika Roland Barthes). Mediakita, 3(1), 99-106.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H