1. Oral-visual Sign
Penanda (signifier) berupa suara = "sendok" dan petanda (signified) konsep = sendok (pikiran). Â Konsep merujuk pada suatu hal yang telah kita pikirkan atau bayangkan dalam otak kita. Contohnya, ketika kita mendengar kata "sendok", otak kita secara otomatis membayangkan objek tersebut sebagai alat untuk makan atau mengaduk teh dan kopi, Ini disebut sebagai konsep. Perbedaan antara konsep dan objek adalah bahwa konsep mengacu pada fungsinya atau nilainya, sedangkan objek mengacu pada bentuk fisiknya.
2. Written Sign
Kata "kodok" dapat mewakili konsep bahwa kodok adalah binatang amfibi. Namun, ketika kita membaca kata "kodok", kita bisa membayangkan gambar atau bentuk fisik dari kodok itu sendiri, yang disebut sebagai objek. Meskipun tulisan dan konsep dapat membentuk tanda, tidak selalu konsep tersebut merupakan objek.
3. Visual Sign
Sama seperti Oral-visual sign, bedanya penanda pada visual sign berupa gambar. Contoh penanda (signifier) berupa gambar = "macam" dan petanda (signified) konsep = hewan (pikiran).
B. Charles Sanders Pierce
Menurut Peirce, semiotika bergantung pada logika, karena logika mempelajari bagaimana manusia berpikir, dan Peirce berpendapat bahwa pemikiran dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan orang lain, dan berpikir untuk memberi makna pada apa yang ada di alam semesta. Ada banyak jenis tanda-tanda yang beragam, dan tanda - tanda linguistik adalah salah satu jenis yang penting, tetapi bukan satu-satunya jenis.
Peirce memusatkan perhatiannya pada bagaimana tanda berfungsi secara umum dalam mengembangkan semiotika. Ia memberikan perhatian penting pada linguistik, tetapi tidak hanya pada linguistik saja. Prinsip yang berlaku untuk tanda-tanda secara umum juga berlaku untuk tanda-tanda linguistik, tetapi tidak berlaku sebaliknya. Menurut Peirce, tanda-tanda terkait dengan objek-objek yang menyerupainya, dan keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena adanya ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut.
Peirce menciptakan sebuah teori umum untuk segala jenis tanda. Ia memberikan dasar-dasar yang kuat pada teori tersebut dalam berbagai tulisan yang tersebar dan kemudian dikumpulkan dalam karya lengkap, Ouvres Completes, dua puluh lima tahun setelah kematiannya. Tulisan-tulisan tersebut sering kali mengandung pengulangan dan koreksi, sehingga menjadi tugas para penganut semiotika Peirce untuk mencari koherensi dan menemukan hal-hal yang penting. Peirce memiliki keinginan supaya teorinya yang bersifat umum tersebut bisa diterapkan pada segala jenis tanda-tanda yang ada dan untuk mencapai tujuan tersebut, ia menciptakan konsep-konsep baru. Selain itu, ia juga menciptakan kata-kata baru yang ia sendiri buat untuk melengkapi konsep tersebut (Kaelan, 2009).
Peirce membagi tanda menjadi tiga jenis berdasarkan objeknya, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah suatu tanda yang hubungan antara penanda (signifier) dan petandanya (signified) bersifat kemiripan alamiah. Sebagai contoh, potret dan peta adalah jenis ikon. Indeks adalah tanda yang menampilkan hubungan alamiah antara tanda (signifier) dan petanda (signified), yang bersifat kausal atau memiliki hubungan sebab-akibat. Sebagai contoh, asap sebagai tanda adanya api adalah jenis indeks. Sementara itu, simbol adalah tanda konvensional yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya, yang bersifat semena-semantik atau berdasarkan perjanjian masyarakat.
C. Roland Barthes
Roland Barthes melanjutkan pemikiran Saussure dengan menekankan pada interaksi antara teks dengan pengalaman pribadi dan budaya pengguna. Hal ini mencakup interaksi antara konvensi teks dan konvensi yang diharapkan dan dialami oleh pengguna. Konsep ini dikenal sebagai "order of signification" yang mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang muncul dari pengalaman pribadi dan budaya). Meskipun Barthes masih menggunakan istilah signifier-signified yang diperkenalkan oleh Saussure, ini merupakan titik perbedaan antara pemikiran keduanya.
Denotasi biasanya diartikan sebagai makna harfiah atau makna yang sesungguhnya. Terkadang, denotasi juga bisa disalahartikan dengan referensi atau acuan. Secara tradisional, proses signifikasi yang disebut denotasi merujuk pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. (Sobur, 2009)
Dalam studinya tentang tanda, Barthes mengeksplorasi peran pembaca dalam konotasi. Konotasi adalah sifat alami tanda, tetapi memerlukan partisipasi pembaca untuk berfungsi. Para ahli semiotik aliran konotasi tidak memperhatikan makna dasar saat menganalisis sistem tanda, melainkan berusaha untuk mendapatkan makna konotasi. (Sobur, 2009)
Barthes juga memperhatikan aspek lain dari proses pemberian makna, yaitu "mitos" yang menandai suatu masyarakat. Menurut Barthes, "mitos" terletak pada tingkat kedua pemberian makna, setelah sistem sign-signifier-signified terbentuk. Penanda baru yang memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru lagi sampai sebuah tanda dengan makna konotasi berubah menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.