Mohon tunggu...
Muhamad Aqmal Ramadhan
Muhamad Aqmal Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Jubir Kenangan ===============

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tamparan

30 Mei 2022   14:16 Diperbarui: 30 Mei 2022   14:30 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siluet. Sumber: unsplash.com

Pagi hari.

Waktunya para pemuda bersiap.

Bersiap sebelum menantang matahari.

Entah mengapa aku benar-benar terjaga kala itu.

Di balik bukit ku terpana.

Pada sosok bergemirincing cahaya yang bagiku tak asing rupa nya.

Seketika sukmaku terangkat.

Membara......menggelora.

Mau kemana lagi kita bung?.

Musuh-musuh telah kita habisi.

Serangan balik sudah kita waspadai .

Tak ada lagi yang mengintimidasi.

Mau bagaimanalagi kita bung?

Bangsa telah merdeka.

Negara telah terbentuk.

Kedaulatan sudah di tangan kita.

Lalu....Apa selanjutnya?

Yang kulihat hanya mereka yang tak tau lagi harus kemana.

Yang kuikuti pun tak jelas arah geraknya.

Yang untuk tegak pun tak sanggup katanya.

Aku bingung harus bagaimana.

Beberapa saat setelah itu.

Aku pun tertampar oleh tangan sesosok bercahaya itu.

berbekas dalam... seakan menyentuh sukma.

Lalu sosok itu pun bertanya.

Bukankah kau yang dulu bersumpah atas nama bangsa itu?

Bukankah kau yang dulu menculikku ?

Yang menuntutku menyatakan kemerdekaan kala itu?

Jika benar.

Kau lempar kemana sumpah itu?

Dan sebenarnya apa maksudmu menculikku waktu itu?

Seketika aku pun tersadar dari ratapan itu.

Kudapati tubuhku gemetar tak terkendali.

Entah dalam keadaan sadar atu tidak.

Aku benar-benar tak mengerti anomali kejadian ini.

Terlepas dari semua itu.

Tamparan itu mengingatkanku.

Pada sumpah yang membangkitkan jiwa pemuda kala itu.

Pada jiwa-jiwa yang menuntut kemerdekaan tanpa pemberian.

Dan ternyata....

Sumpah itu masih ada......

Dan kemerdekaan itu masih harus tetap dijaga.

Walau batin dan fisik meronta-ronta.

Wahai pemuda.....

Apakah kau masih ingat?

Apakah kau sudah sadar?

Bahwa bangsa ini bertumpu di pundakmu.

Dan ibu pertiwi memegang erat tali di tanganmu.

Lagi-lagi aku tertampar.

Namun kali ini lewat tangan sendiri.

Membangunkan jiwa yang selama ini ternyata tertidur.

Tak sadar bahwa ada tanggung jawab besar yang bisa saja membuatnya

tersungkur.

Pelan-pelan aku pun terbangun dari tidur panjang itu.

menatap masa depan.

Dengan optimisme di hadapan.

Kali ini aku benar-benar tak ragu.

Bahwa jiwa ini adalah titipan masa lalu.

Yang didalamnya berisikan semangat, harapan, dan doa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun