Tunu berpikir ini semacam perampokan. Tapi bukan, jika perampokan itu jelas mana yang merampok dan mana yang dirampok. Kalau ini yang dirampok tidak sadar jika dirinya dirampok.
Entahlah-etahlah. Hati Tunu judeg. Sekarang Tunu hanya ingin jumatan di Jakarta. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk agamanya. Itulah jihat nyata untuk membela tuhannya. Pasti ada jalan, pasti ada yang bantu kalau niatnya tulus.
Ia yakin seyakinnya jika dia tidak bergerak keadaan menjadi lebih berbahaya. Sekali lagi dia mendekati Bapaknya, intuk minta izin dan uang saku. Ia datang ke warung Bapaknya. Ia sudah kenakan baju serba putih dan kupluk juga warna putih. Bekal pakian ganti, sedikit uang dari ibunya, dan nasi bungkus sudah masuk dalam ransel.
“Bapak, aku mau pamit bergabung menjadi lautan putih. Aku minta izin berangkat. Besok saksikan aku di TV ya?”
Bapaknya yang baru meracik bakso mendesak menyaksikan anak laki-lakinya. “Sudah sholat asar?” katanya.
Tunu menggeleng. Kemudian Bapaknya berbicara. “Sholat asar dulu sana di masjid, nanti ke sini lagi.”
Tunu melangkah menuju masjid. Ia melaksanakan sholat. Berdoa seperti biasa. Kemudian kembali lagi ke warung bapaknya.
“Di tasmu itu isinya apa?” tanya Bapaknya.
“Pakian ganti dan bekal dari Ibu.”
“Sabun, sikat gigi, handuk?”
“Tidak bawa.”