Mohon tunggu...
Muhajir Arrosyid
Muhajir Arrosyid Mohon Tunggu... dosen -

Warga Demak, mengelola tunu.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tadabbur Rindu (1)

11 April 2017   08:33 Diperbarui: 11 April 2017   08:52 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sekolah atau lebih tepatnya belajar itu perbuatan lho Nu.” Sambung bapaknya seperti mendengar suara batinnya.

Ibunya ada dalam pihaknya. Ibunya mendukung sepenuhnya langkah Tunu yang akan berangkat ke Jakarta. Ia banggga punya anak yang pemberani, memiliki tekad yang kuat. Ibunya telah menyumbangkan kain putih untuk dijahitkan menjadi baju. Kain putih itu akan menjadi bagaian dari lautan putih yang insyaallah akan menenggelamkan kezaliman. Jika sampai batas waktunya bapaknya tidak memberikan uang saku, ibunya siap mengikhlaskan celengan.

Mengapa Tunu bersikeras berangkat ke Jakarta? Semua itu atas banyak pertimbangan. Katanya orang Islam mayoritas, tetapi pada kenyataannya mereka kalah. Mereka menjadi buruh-buruh yang digaji rendah. Mereka menjadi minoritas atas penguasaan sumber daya alam negeri ini. Lihatlah-lihatlah dengan mata telanjang dan mata batinmu sendiri. Pantai-pantai dibeli, didirikan bangunan-bangunan, nanti pada saatnya jika kita ingin melihat matahari di pantai terpaksa harus bayar.

Tidakkah matamu melihat wahai Ibtisam dan Mazin, saudaraku yang sesat? Sumber air yang harusnya untuk keperluan orang banyak dan khalayak sekarang dibeli oleh pihak tertentu, dibungkusi kemudian dijual. Kita membeli air putih bening dari sumber tanah negeri kita sendiri. Kamu saksikan dengan mata akalmu hai Ibtisam, akses ekonomi sudah direbut sampai kepelosok desa. Dulu bapakmu jualan, buka toko klontong untuk menghidupimu dan keluarga. Sekarang bapakmu harus bersaing dengan toko-toko moderen bermodal besar. Bagaimana nasib toko Bapakmu sekarang, apakabarnya? Apakah tambah rame? Para petani ini diruntuhkan keparcayaan dirinya, dilemahkan pengetahuan dan kemampuannya untuk mengolah tanah. Mereka didoktrin bahwa bertani tidak lagi mampu menghidupi. Kemana mereka setelah mentas dari lumpur sawah? Mereka menjadi kuli panggul, menjadi tukang bangunan, yang perempuan jadi pembantu rumahtangga, pergi keluar negeri menjadi TKW.

Kamu tahukan nasib tukang bangunan? Mereka bukan buruh yang bisa dilindungi undang-undang. Jika mereka mati di saat bekerja tidak ada asuransi segala. Bekerjanya tidak menentu bergantung adanya proyek. Setahuku belum ada serikat buruh yang mengurusi nasib buruh bangunan ini.

Menjadi buruh pabrik tidak kalah nelongsonya. Sekolah sampai SMA, mumet mikir Ujian Nasional, lulus hanya jadi buruh pabrik, itupun masuknya masih nyogok, seragam beli sendiri. Menjadi buruh dengan hidup dengan ketidak pastian, kontrak diperbarui sebulan sekali.

Perempuan-perempuan yang masih muda yang masih punya tenaga pergi ke kota menjadi pembantu rumah tangga. Ada juga yang ke luar negeri menjadi pembantu rumah tangga juga. Akibatnya kampung sepi, hanya dihuni oleh orang-orang renta dan hanya ramai saat lebaran tiba.

Anak-anak sama siapa saat orang tua pergi ke kota? Mereka ditinggal di rumah bersama nenek-nenek mereka. Nenek-nenek karena terlalu sayang atau karena tidak berani sama cucunya yang makin gagah membiarkan cucunya berbuat sesukanya. Main motor kebut-kebutan, mabuk-amabukan.

Mereka semua orang Islam. Kita menjadi budak di negeri sendiri. Tunu galau segalau-agalanya. Ia sedih karena tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya ingin bergabung ke kerumunan. Ia memang kecil. Ia adalah butiran debu di negeri yang besar ini. Tetapi jika dia menggambungkan diri dalam kerumumanan maka ia menjadi bagian dari yang besar.

Tunu sadar nasibnya akan sama dengan Bapaknya, ibunya, teman-temannya yang lain. Menjadi debu, menjadi buruh, tepatnya budak yang dibentak-bentak, disuruh-suruh, melakukan segala hal yang yang diinginkan oleh ndoro, oleh bos, oleh cukong. Siapakah bos, cukong, ndoro itu? Mereka datang dari tempat entah berantah.

Memang mereka senagaja didatangkan, diundang kemari untuk menjadi bos. Menjadi tuan bagi rakyat yang (katanya) memang belum mampu menjadi bos. Belum terbiasa mengelola sumber daya alamnya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun