Sinar matahari terasa semakin menyengat di kulit Hario. Padahal masih belum tengah hari. Mungkinkah matahari di kota dan di kampung halamannya berbeda? Tidak mungkin. Di sistem tata surya ini, matahari adalah satu-satunya bintang sumber panas alami. Ketika memperhatikan sekitarnya, Hario pun menemukan jawaban yang menurutnya masuk akal. Di kampungnya masih banyak pepohonan. Sementara di kota tempat ia berdiri saat itu, hutan beton yang mengelilinginya. Lamunan Hario dihentikan oleh bunyi perutnya. Ia ingat tadi pagi belum sempat sarapan. Ia pun memutuskan untuk mampir ke pasar membeli sayuran.
Sebelum melangkahkan kaki masuk pasar, Hario sempat ragu karena merasa aneh sendiri. Seorang laki-laki muda berbelanja sayur-mayur ke pasar. Tidak ada yang salah sebenarnya, tapi memang tidak begitu umum. Umumnya kegiatan berbelanja sayur memang dilakukan oleh wanita. Meski begitu, Hario memendam keraguan tersebut. Ia sadar di sakunya tidak ada uang melimpah sehingga ia harus benar-benar memperhatikan pengeluarannya. Salah satu caranya adalah dengan memasak sendiri selama tinggal di kota. Beruntung ibunya pernah melibatkannya di dapur. Ya, sebagai anak satu-satunya, ia kerap diminta membantu sang ibu di dapur, khususnya saat musim panen. Jadi, kalau sekadar menumis sayur atau menggoreng lauk, kemampuannya bisa dikatakan lumayan.
Berbelanja ke pasar sebenarnya bukan perkara lazim untuk Hario. Ia memang kerap diminta mengantar ibunya ke pasar. Tapi, hanya sebatas itu. Ia hanya mengantar, menjemput, atau menunggu di tempat parkir. Tidak pernah terlibat dalam aktivitas memilih belanjaan atau menawar. Masuk ke dalam area pasar pun hanya untuk membawakan barang belanjaan ibunya. Kalaupun harus bertransaksi, biasanya hanya di toko-toko kelontong.
Meski tidak pernah terlibat aktivitas jual beli di dalam pasar, Hario memiliki kemampuan untuk membedakan kualitas sayuran yang baik dan sebaliknya. Ya, sebagai anak petani, terlebih yang kerap dilibatkan dalam profesi orang tuanya, Hario telah terbiasa memilah hasil panenan. Jadi, kalau memilih sayuran yang segar, ia jagonya. Yang sulit adalah menawar. Ia menyesal tidak mempelajari jurus mendapatkan harga bagus yang amat dikuasai ibunya.
Selesai belanja. Hario takjub dengan pengalamannya berbelanja sendiri. Meski tidak pandai menawar, tetapi ia mendapatkan sayur yang bagus. Sebenarnya penjual sayur sempat menawarinya sayuran berharga murah. Tetapi, Hario pun paham kualitas yang akan ia dapat sehingga ia menolaknya dan tetap memilih sayuran dengan kualitas bagus. Ia harus menjaga badannya. Entah di buku apa, Hario pernah membaca ungkapan mens sana in corpore sano. Kalau ia tidak keliru, ungkapan itu berarti dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang kuat.
"Jiwaku harus kuat," batin Hario. Pikirannya mulai berkecamuk kembali. Mengundurkan diri bahkan sebelum mulai bekerja membuatnya sadar bahwa ia masih belum memiliki bekal apa pun. Rencana B? Tidak pernah terpikirkan olehnya karena ia hanya fokus pada rencana A, yaitu bekerja sebagai sales marketing yang nyatanya kandas.
Saat ini, tampaknya harapan Hario hanya kembali ke kampung, kembali pada bapak dan ibunya, kembali pada pertanian. Meski pernah menolak bertani, tapi ia sadar bahwa hal yang ia kuasai saat ini baru perkara sayur. Beruntung kontrakannya baru ia bayar untuk sebulan saja. Jadi, tidak terlalu sayang jika ditinggalkan dengan cepat.
"Tuhan..., baiklah, tidak mengapa jika aku harus kembali berurusan dengan dengan sayur-mayur. Semoga nanti jalanku yang lebih lebar tetap Engkau bukakan," gumannya sambil melangkahkan kakinya pulang ke kontrakan.
Dalam perjalanan itulah Hario bertemu Bu Haji. Di mata Hario, perawakan Bu Haji mirip ibunya, tidak terlalu tinggi dan agak berisi layaknya ibu-ibu paruh baya. Baju yang dikenakan pun mirip, gamis bermotif bunga dengan kerudung menutupi dada. Ketika itu, Bu Haji tampak tengah terduduk sendirian di pinggir jalan, tidak jauh dari pasar.
Hario mendekati wanita itu. Ternyata, Bu Haji hendak ke pasar untuk berbelanja. Tetapi, ia merasa tidak enak badan dan memutuskan untuk beristirahat sejenak. Sayangnya, rasa pusing yang dirasakan tidak kunjung hilang. Entah sudah berapa lama ia terduduk di pinggir jalan hingga akhirnya bertemu Hario. Hario pun menawarkan diri untuk mengantarkan Bu Haji pulang.
Kepada Hario, Bu Haji bercerita. Biasanya anak lelakinya yang mengantarnya ke pasar. Tetapi, sejak beberapa hari lalu, anaknya tengah dinas ke luar kota. Sehingga tinggal ia sendiri di rumah.