Mohon tunggu...
Mufi Dini
Mufi Dini Mohon Tunggu... Jurnalis - Rasa Aksara

Rasa aksara untuk wawasan kita semua

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kue Perantara

20 November 2020   05:55 Diperbarui: 21 November 2020   08:11 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Udah, udah... besok ibuk tak jual sendiri di depan rumah. Sebenarnya ini salah ibuk juga. Ibuk minta maaf ya... Udah sekarang saling minta maaf ya, "ucap sang ibu dengan nada yang begitu teduh. Tangan Rani terulur pada adiknya namun Romi tak mau menanggapi. Hanya pelengosan tak suka pada kakaknya.

Ia sakit hati. Hatinya terluka. Sungguh sesak rasanya harus disalahkan berkali-kali. Usapan lembut mengenai lengan kanannya. Tangan seseorang mengangkat tangan mungilnya untuk menerima uluran tangan Rani. Tangannya bersentuhan dengan telapak tangan sang kakak.  Buru-buru ia menarik tangan mungilnya dan kembali memeluk ibunya.

Tak seberapa lama, kantuk menyerangnya. Ia pun terlelap sambil memeluk ibunya. Tak mau ditinggal. Tanpa Romi sadari, orang yang kini ia peluk tengah meneteskan air matanya. Rindu pada sang suami. Serta iba pada nasib anak-anaknya.

Hari pun berganti. Kini ibu Rani dan Romi mulai membuka warung di depan rumah. Tak jarang Romi membantu sang ibu. Semua Romi jalani dengan senang hati. Beruntungnya, tempat tinggal mereka berada di pinggir jalan raya. Cukup strategis tentunya.

Jajanan yang di jual sudah laris begitu matahari mulai menampakkan raganya. Romi sangat bahagia. Kini, ia juga pindah mengaji di rumah salah satu Pak Ustadz yang lain. Pak Badru namanya. Ia lebih nyaman mengaji disana. Temannya juga banyak.

Ya, Romi sadar beberapa kali Romi memang usil saat mengaji di rumah Pak Alwan. Ia pun berusaha untuk menahan keusilannya saat mengaji di rumah Pak Badru. Ia tidak mau menjadi anak yang selalu dicap nakal dan usil oleh teman-temannya. 

Suatu hari, Pak Alwan datang menuju warung sederhananya.  Kebetulan Romi pula yang sedang menjaga warung. 

"Assalamualaikum," ucapan salam Pak Alwan yang malah dibalas seringai sengit dari Romi. Romi tak akan pernah lupa tindakan orang lain kepadanya. Seketika rasa sakit hati kembali menyeruak di dalam hatinya. Pak Alwan mendekati Romi dan membeli kue yang Romi jajakan. Beberapa kali Pak Alwan mengajak Romi berbicara. Romi hanya mengangguk. Menggeleng. Diam saja. Menatap tajam dan kemudian diam.

"Ibu ada Rom?," ucap Pak Alwan dengan ekspresi tak bisa diartikan. Romi hanya mengedikkan bahu. Romi berlalu menuju dapur dan memberitahukan pada ibunya perihal kedatangan Pak Alwan. Ibunya dengan sigap melepas celemek yang masih menempel pada tubuhnya.  Sang ibu langsung menemui tamu terhormatnya itu. Tak lupa dengan seduhan teh yang mengepul di tangannya. Jarang sekali Pak Alwan datang menuju rumahnya. Bahkan sepertinya tidak pernah.

Ternyata beliau datang untuk sekedar mengucap maaf pada Romi. Mata cokelat indah milik Romi terbelalak mengetahui hal itu. Entah rasa tidak enakannya muncul kembali. Ia memang tak seharusnya bersikap seperti itu pada orang yang lebih tua.

Jika ia terus saja memendam rasa benci pada Pak Alwan  sama saja hidupnya tidak akan pernah tenang. Rasa-rasanya juga tidak patut menolak permintaan maaf orang tua. Padahal seharusnya yang muda yang lebih dahulu mengucapkan minta maaf pada yang lebih tua. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun