Mohon tunggu...
Mufi Dini
Mufi Dini Mohon Tunggu... Jurnalis - Rasa Aksara

Rasa aksara untuk wawasan kita semua

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kue Perantara

20 November 2020   05:55 Diperbarui: 21 November 2020   08:11 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia tak suka dengan sikap kakaknya yang selalu menggurui dirinya. Romi merasa sudah besar. Tidak semua apa yang ia lakukan harus diatur oleh kakaknya. Ya, meski pada kenyataannya, Romi tak jauh berbeda dengan kawan-kawan seumurannya. Terkadang ia hiperaktif dan usil di sembarang tempat.

"Rek udah bilang nggih itu jangan diulangi lagi. Nggah nggih ra kepanggih, " ucap Rani sambil melepas sandal jepitnya yang berwarna hitam. Kemudian, berlalu mendahului Romi yang masih sibuk dengan sandal jepit barunya. Bagaimana bisa sandal jepitnya akan awet kalau setiap hari ia blasakan di kebun.

Ya, meskipun tak terlalu hiper seperti kawan-kawannya, dengan banyak sandal jepit yang sudah ia rusak, tentunya itu membuat geram Rani dan sang ibu. Bahkan hampir setiap pulang bermain, tangan mungilnya pasti sudah menenteng sandalnya yang sudah berwarna coklat berlumur lumpur. Tak jarang,  bagian sandalnya juga sudah lepas dari tempat semulanya.

"Bawa apa Rom?," ucap salah satu kawannya begitu Romi melangkah masuk menuju tempat ia biasanya mengaji. Beberapa kawannya telah duduk bersila sambil menyedekapkan tangannya pada meja panjang tempat mereka menimba ilmu agama. 

"Hehe... jajanan ibuk. Ditumbas yok. Asli enak lho," ucap Romi dengan mata berbinar. Ia pun dengan sigap duduk disamping kawannya. Meletakkan buku tipis dengan sampul coklat yang selalu ia bubuhi rangkaian kata berisi ilmu baru dari sang guru.

Kemudian, ia membuka keranjang bambunya. Berbagai makanan warna-warni kentara sekali memenuhi penglihatannya. Baunya yang harum, membuat beberapa anak mulai mengendus mencari muasal bau itu.

"Ora gratis Rom? Kan aku kancamu Rom," ucap salah satu temannya. Wajah berbinar Romi seketika memudar. Entah apa yang berkecamuk mengelilingi kepalanya. Seketika, sesuatu menyeruak di dalam hatinya. Romi dirundung perasaan tidak enak. Meskipun sedikit keras kepala, ia selalu merasa tidak enak terhadap temannya. Apalagi ini seorang Dimas yang bertanya. Dimas tak pernah sungkan mengulurkan tangannya pada Romi. Selalu mau membantu Romi saat ia terpuruk. 

" Maap Dim, ra iso. Ibukku juga lagi krisis banda. Hehe... ," ucapnya dengan nada ceria yang kentara sekali cukup dipaksakan. Semenjak ibunya diberhentikan dari rumah makan itu, tak berselang lama, keluarganya dihadapkan pada krisis ekonomi.

Sungguh perpaduan yang sangat lengkap. Namun, ibu Rani dan Romi bukanlah orang yang menyerah begitu saja dengan keadaan. Bermodalkan uang pesangon serta keterampilan yang dimiliki, sang ibu mencoba berusaha membuat kue-kue kecil.

"Nggak Rom. Guyon aku tuh. Berapaan to Rom?," ucap Dimas dengan wajah lebih bersahabat dari sebelumnya. Romi menampakkan senyumnya kembali. Alhamdulillah kemungkinan Dimas mau beli, sesuatu bergerak ria di dalam dadanya. Membuat Romi tak bisa menahan ekspresi sumringahnya.

"Lima ribu dapat tiga Dim," ucap Romi sambil menatap Dimas dengan sorot mata harap-harap cemas. Dimas, dengan tubuh gempal dan paling tinggi dari kawan-kawannya, selalu berhasil menciutkan nyali Romi. Setelah beberapa kali bertanya tentang komposisi kue yang Romi jajakan, akhirnya Dimas memutuskan untuk membeli dua bungkus klepon dan satu buah getuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun